Mahasiswa Batam Siap Paparkan Pokok Permohonan Uji MAteri UU TNI di Sidang Kedua MK
Prawira Maulana May 18, 2025 08:32 PM

Laporan Wartawan Tribun Batam, Ucik Suwaibah 

TRIBUNBATAM.id, BATAM - Enam mahasiswa asal Batam dijadwalkan menghadiri sidang kedua di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). 

Sidang lanjutan ini akan digelar dalam pekan ini, setelah sebelumnya MK menggelar sidang perdana pada 9 Mei 2025 lalu.

Mahasiswa yng tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Hukum Kota Batam ini telah menerima panggilan resmi sidang perkara nomor 58/PUU-XXIII/2025 dari MK pada (14/5) lalu.

Mereka menyatakan siap hadir langsung ke Jakarta untuk memaparkan keterangan lebih rinci terkait pokok perkara.

"Sidang pertama saya tidak bisa hadir karena keterbatasan anggaran. Tapi sidang kedua saya akan hadir," ujar Jamaluddin Lobang, mahasiswa Fakultas Hukum UNRIKA Batam yang juga menjadi kuasa hukum pemohon, Minggu (18/5/2025).

Menurutnya, sidang kedua sangat krusial karena akan membahas substansi pokok permohonan.

Termasuk soal potensi pelanggaran hak sipil yang mereka nilai terkandung dalam UU TNI.

"Dalam sidang kedua saya akan menyampaikan keterangan lebih rinci dan saya akan memaparkan keterangan krusial tersebut, khususnya mengenai konflik komunal dan pemogokan," tambahnya.

Sementara itu, Hidayatuddin selaku pemohon menuturka bahwa kehadiran mereka adalah bentuk perlawanan terhadap potensi penyimpangan kekuasaan negara.

"Ini menyangkut kontrol sipil. Kami perlu bertarung habis-habisan untuk Indonesia yang demokratis," kata Hidayat.

Otniel Situmorang, salah satu kuasa hukum, juga mengatakan sidang kedua penting untuk pengesahan alat bukti dan penyempurnaan permohonan. 

Namun ia masih menunggu keputusan MK terkait teknis sidang, apakah akan digelar secara daring atau luring.

Sebelumnya, keenam mahasiswa ini mengambil langkah berani mengajukan judicial review terhadap UU TNI. 

Mereka menganggap pasal-pasal tertentu dalam undang-undang tersebut membuka peluang keterlibatan militer dalam urusan sipil, termasuk konflik komunal dan aksi mogok, yang dinilai bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Tak hanya mengajukan permohonan pembatalan pasal, mereka juga menuntut ganti rugi senilai Rp 80 miliar yang diarahkan ke Presiden, DPR, dan Baleg DPR RI. 

Seluruh uang itu direncanakan akan disetor ke kas negara jika dikabulkan. 

Mereka bahkan meminta MK menjatuhkan dwangsom (uang paksa) harian senilai miliaran rupiah jika putusan tidak dijalankan.

Langkah hukum ini diajukan oleh Hidayatuddin (Universitas Putra Batam), bersama Respati Hadinata (Polibatam), dan empat kuasa hukum dari kampus berbeda di Batam. 

Mereka menyatakan langkah ini murni perjuangan sipil tanpa bantuan dana dari kampus maupun pemerintah. (cik)

 

(Tribunbatam.id/Ucik Suwaibah)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.