WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Sejak Pegiat media sosial serta alumni Universitas Gajah Mada (UGM), Tifauzia Tyassuma atau Dr Tifa mempertanyakan keaslian Ijazah Presiden Republik Indonesia Ketujuh, Joko Widodo, lini media sosialnya menjadi sorotan publik.
Tak hanya masyarakat umum, tetapi juga sosok 'buzzer' yang menyerangnya.
Hal itu terlihat dari beragam komentar negatif hingga cacian yang mengisi kolom komentar sejumlah postingan twitternya @DokterTifa.
Dalam setiap postingan, banyak akun yang dinilainya sebagai 'buzzer' itu berargumentasi, mulai dari menegaskan dirinya bukan peneliti hingga membela Jokowi.
Jengah dengan kelakuan para buzzer, Dr Tifa pun mennyebutkan ada istilah lebih hina dari seorang buzzer.
Istilah tersebut adalah Termul.
Dijelaskannya dalam postingannya pada Senin (18/5/2025), Termul adalah akronim dari Ternakan Si Mul.
Meski begitu, dirinya tidak menjelaskan lebih lanjut siapa sosok 'Mul' yang dimaksud.
Termul disebutkannya adalah hina dibandingkan dengan buzzer.
Sebab, Termul katanya diternak oleh seorang pembohong, perampok, dan pengecut.
"10 tahun ada julukan Buzzer, artinya Lalat pendengung. Kita tahu lalat itu makhluk penyantap sampah. Suka sekali hinggap di kotoran hewan dan menyantap apa yang ada di depannya. Jadi julukan itu sangat hina. Sangat menjijikkan," tulis Dr Tifa.
"Sekarang ada lagi yang lebih hina: TERMUL. Ternakan si Mul. Sudahlah hewan ternak. Diternak oleh seorang Pembohong, Perampok, dan Pengecut. Sudah mentok ini, tidak ada yang lebih hina dan lebih rendah dari julukan ini," bebernya.
Pernyataan Dr Tifa pun disambut beragam komentar.
Pro dan kontra pun dituliskan terkait Termul yang kini mulai dikenalkannya.
@ViryaArkan: Orang berpendidikan tinggi tapi tidak menghormati pemimpin nya malah selalu buat hasutan ke pemimpin nya setiap update status, semua manusia punya kekurangan dan kelebihan jangan karena anda lebih merasa berilmu tapi selalu menghakimi orang lain
@kuku711840: Kasihan betina satu ini...otaknya sudah busuk jadi bicaranya jg kotor...seolah2 dia manusia paling suci pada hal najisnya dibawa kemana2
@carukwaluyo: Terserah kau bilang apa, nekek lampir, tetapi mulai sekarang saya nyatakan PERANG. buat kalian yg sudah bikin gaduh masyarakat, saya tidak membabi buta belain Jokowi, ttpi gegara kau 'Indonesia gaduh'
@WalkingIndo: Sebelum kami percaya trio Doktor, Tunjukkan ijazah Doktor kalian (roy, rismon, tifa) klo gak berani kalian Doktor abal2. Klo belum lulus S3 jangan ngaku2 Doktor lah, menyesatkan bukan ahlinya main tuding.
@YosepMr5: Lha Dokter dibayar brp sampe segitu bencinya sama Jokowi wkwkkwkkwkwkkwkw
@Masa9u5: Jokowi hanya Boneka. Tak punya Malu, bertindak hanya berdasarkan program Tuannya. Tuan yg ingin menguasai, merampok SDA bangsa ini. Tugas yg berat bagi para Ilmuwan dan Ulama melawan Pembodohan dan Penjajahan. Sejarah berulang, kebangkitan itu NYATA.
@GaluhG31684: @DokterTifa anda sehat? saya justru berpikir terbalik,anda koar koar ijasah palsu mantan presiden ke 7 bapak jokowi,takutnya ijasah anda aspal,dan maling teriak maling,ini hanya argumen fans bapak jokowi yg anda bilang ternak mulyono,saya berdiri diatas kaki sendiri,paham?
@Bliriyan180924: Mantap p dokter pencerahan nya sangat mewakili bgt @jokowi itu manusia paling hina dan jahat di muka bumi ini gys
@MalogaWatch: Kemungkinan Jokowi pernah kuliah di UGM tetapi tidak tamat! Yg ngaku2 teman kuliah Jokowi track record serta skripsi dan ijazahnya harus diuji dan diperbandingkan dengan skripsi dan ijazah Jokowi!
@hidhid2024: CIRI CIRI TERMUL
1. PENGANGGURAN , HARGA DIRINYA RELA DIBAYAR 500/1000 PERKOMENTAR DI MEDSOS
2. JARANG/HAMPIR TIDAK ADA YANG BERPENDIDIKAN BAGUS
3. TIDAK BISA MEMBEDAKAN ANTARA DIBOHONGI DENGAN DIBERI JANJI
4. TIDAK BISA MENERIMA REALITA KALAU MUL ADALAH PEMBOHONG DAN PENIPU
@IpunkAF: ketua lalat sudah banyak yang jadi menteri hingga komisaris, lalat tetaplah lalat
Mengenal Istilah Buzzer
Buzzer dalam bahasa Indonesia berarti pendengung.
Sebutan ini disematkan kepada seseorang yang bekerja untuk mendengungkan (buzz) pesan atau pandangan tertentu mengenai persoalan, gagasan, atau merek, agar terlihat sealami mungkin.
Buzzer berupaya memengaruhi opini publik agar sejalan dengan pandangan yang ingin mereka lumrahkan.
Pengamat sosial berbeda pandangan mengenai penggunaan akun: beberapa berpandangan bahwa seorang buzzer adalah seseorang yang secara khusus menggunakan akun-akun bodong atau siluman (sockpuppet)
Sedangkan yang lain berpandangan bahwa seorang buzzer bisa juga menggunakan akun-akun pemengaruh (influencer), bahkan keduanya.
Terdapat perbedaan pandangan pula di antara pengamat sosial mengenai kompensasi atau upah atas 'kerjanya'.
Beberapa menganggap seseorang hanya bisa dikatakan buzzer jika mereka menerima imbalan berupa uang.
Pengamat sosial yang lain beranggapan bahwa imbalan bisa berupa dalam bentuk lain seperti jabatan, jejaring sosial dan lainnya.
Umumnya Buzzer yang terlibat dalam penyebaran pandangan yang menyangkut pemilu, partai politik, serta kebijakan pemerintah dan perusahaan yang berdampak pada publik.
Dikutip dari Jurnal Universitas Chicago yang disusun Tony Rudyansjah and Pradipa P. Rasidi, istilah Buzzer di Indonesia muncul ketika Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinyatakan bersalah atas penistaan agama dan dihukum dua tahun penjara pada 9 Mei 2017.
Berita vonisnya muncul di salah satu stasiun televisi nasional.
Dalam hitungan menit, linimasa Twitter dipenuhi retweet dan tanggapan dari para informan kami.
Ekspresi sedih, marah, dan campuran keduanya membanjiri platform.
Sebagian menyalahkan pemerintah karena menggunakan hukum kolonial yang ketinggalan zaman, sebagian lagi menuding rival politik Ahok yang mendorong vonis ini.
Meskipun kebijakannya kerap keras terhadap kaum miskin perkotaan, Ahok dihormati kelas menengah Jakarta sebagai birokrat yang cemerlang.
Keriuhan dalam lini masa Twitter terasa nyata.
Beragam komentar saling serang dituliskan dalam topik 'Vonis Ahok'.
"Melalui kasus buzzer, kami meneliti bagaimana tubuh dikonstitusikan di dunia virtual, sekaligus menunjukkan bahwa praktik ngebuzz berakar pada bentuk budaya Indonesia yang telah ada. Teori awal tentang tubuh dan dunia virtual sering memisahkan secara tegas antara virtual dan fisik (contoh di Richardson & Harper 2002). Misalnya, Michael Heim (dalam Richardson & Harper 2002) menggambarkan dunia virtual sebagai ruang di mana 'pikiran terhubung dengan pikiran, tanpa keterbatasan tubuh fisik'," tulis jurnal.
"Namun, gagasan 'pemisahan tubuh' (disembodiment) ini justru berakar pada dualisme pikiran-tubuh ala Cartesian. Bagi Descartes, diri terwujud melalui pengakuan atas pikiran rasional, sementara tubuh hanyalah wadah. Teknologi digital kemudian memperkenalkan gagasan bahwa 'diri tidak hanya terpisah dari tubuh, tetapi juga tidak terbatas pada pikiran yang terkurung dalam tubuh' (Richardson & Harper 2002)," bebernya.
Pandangan Pengamat Media Sosial
Dikutip dari Kompas.com, Pengamat media sosial Enda Nasution mengungkapkan bahwa buzzer merupakan akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan.
"Buzzer lebih ke kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya, dan kemudian menyebarkan informasi," ujar Enda.
"Kan tidak ada konsekuensi hukum juga menurut saya, ketika ada orang yg mau mem-bully atau menyerang atau dianggap melanggar hukum, dia tinggal tutup aja akunnya atau menghapus akunnya atau dibiarkan saja hingga tidak aktif lagi," lanjut dia.
Selain itu, menurut Enda, bila ada akun yang memiliki nama yang jelas dan latar belakang yang jelas, ia menyebutnya dengan influencer.
"Jadi kalo misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya, contohnya Denny Siregar, atau selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu," kata Enda.
Menurutnya, dengan begitu akun tersebut tidak bisa seenaknya mengunggah sesuatu, karena bila salah atau terdapat orang yang tidak suka, dapat menimbulkan risiko terhadap pemilik akun tersebut.
"Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai, politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik, kita tidak bisa menyebut mereka sebagai buzzer, mereka adalah influencer yang punya preferensi dukung mendukung sesuatu isu atau orang," ungkap dia.
Menurut dia, fenomena buzzer sebenarnya sama seperti ketika media sosial pertama kali dijadikan ajang untuk perang opini dan berusaha memenangkan opini publik.
"Nah, dalam alam demokratis yang sifatnya kontestasi seperti ini, maka kemudian siapa yang menang secara opini, maka dia juga yg dianggap lebih populer, akhirnya kehadiran buzzer mulai muncul di situ," terang dia.
Hal itu dikarenakan ruang-ruang publik sekarang tidak lagi dipenuhi media mainstream, tetapi juga media sosial yang sama-sama mempengaruhi dan berusaha meyakinkan publik terhadap satu atau lain isu.
"Jadi sebenarnya konsekuensi real dari kehadiran ruang publik dan juga sistem demokrasi, makanya muncul lah buzzer-buzzer ini, kelompok-kelompok yang berusaha untuk berperang atau memenangkan opini di ruang publik," kata dia lagi.
Enda juga mengatakan, buzzer ada yang dibayar dan ada juga yang hanya sukarelawan.
Bila dia (sukarelawan), biasanya karena motif ideologis, karena memang dia setuju dengan isu ini.
Sedangkan buzzer yang dibayar biasanya memiliki motif ekonomi, artinya mungkin selain mendukung, ia juga profesional di bidang tersebut sehingga mendapat bayaran.
Menurut Enda, kehadiran buzzer memiliki dampak di masyarakat.
"Dampaknya yakni kebingungan dari masyarakat, siapa yang harus dia percaya, walaupun ada sumber-sumber yg kredibel misal media yang kredibel, pemerintah juga masih sebagai sumber yang kredibel," jelas dia.
"Tapi di zaman media sosial seperti sekarang, informasi tidak dilihat dari sumbernya yang mana, bahkan seringkali enggak tahu sumbernya dari mana karena merupakan hasil copy paste dari WhatsApp, atau status Facebook dan sebagainya," lanjut dia.
Sehingga, yang terjadi adalah masyarakat harus menentukan sendiri harus percaya dengan siapa.
Kebanyakan masyarakat mempercayai sesuatu melalui referensi yang telah ia miliki sebelumnya.
"Bila dia merasa kelompok A itu jahat, maka informasi yang mendukung referensi itu, akan ia percaya dan akhirnya ia sebarkan, begitu juga sebaliknya," kata Enda.
Jadi, menurut Enda banyak informasi yang sering kali membuat kita hidup dalam ketidakpastian.
"Bila akan terus begini, kita akan terjebak dalam popularism artinya seolah-olah yang paling populer itu yang benar, padahal kebenaran itu bukan masalah populer atau tidak," tutup dia.