Melihat Ormas di Indonesia Sebagai Wadah Partisipasi Bukan Beban
GH News May 19, 2025 07:05 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Isu premanisme dan organisasi massa (ormas) kembali mencuat ke permukaan setelah beberapa tahun terakhir muncul berbagai kasus yang melibatkan kelompok-kelompok ini dalam tindakan intimidasi, kekerasan, bahkan pemerasan.

Padahal, secara ideal, ormas seharusnya menjadi wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan, penjaga nilai-nilai sosial, dan perekat persatuan bangsa. Namun, realitanya, tidak sedikit ormas yang justru menjadi sumber masalah—baik karena oknum anggota yang bertindak di luar koridor hukum maupun karena lemahnya pengawasan dari negara.

Latar belakang mengapa isu ini kembali hangat tidak lepas dari beberapa faktor, mulai dari ketidakjelasan regulasi, tumpang tindihnya kewenangan pengawasan, hingga politisasi ormas yang membuat mereka sering kali bertindak seolah berada di atas hukum.

Premanisme sendiri bukanlah fenomena baru di Indonesia. Sejak era Orde Baru, keberadaan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan ormas tetapi bertindak di luar hukum sudah menjadi persoalan kronis. Namun, belakangan ini, aksi mereka semakin terang-terangan dan terstruktur. Mulai dari pemerasan pedagang kecil, penguasaan lahan, hingga intervensi dalam urusan bisnis dan politik lokal.

Yang lebih memprihatinkan, tidak jarang oknum-oknum ini berlindung di balik nama besar ormas tertentu, seolah-olah tindakan mereka memiliki legitimasi sosial. Hal ini diperparah oleh sikap aparat yang kadang tegas, kadang pula membiarkan, tergantung pada kepentingan dan tekanan politik yang ada.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Di tengah kompleksnya persoalan ini, pro dan kontra terhadap keberadaan ormas pun terus bergulir. Di satu sisi, banyak pihak yang tetap melihat ormas sebagai elemen penting dalam masyarakat. Mereka berargumen bahwa ormas memiliki peran besar dalam pemberdayaan masyarakat, pendidikan kebangsaan, dan bahkan penanganan konflik sosial.

Beberapa ormas juga aktif dalam kegiatan kemanusiaan, seperti bantuan bencana, pembangunan infrastruktur kecil, atau pendampingan hukum bagi warga miskin. Tanpa peran mereka, negara mungkin akan kesulitan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil.

Namun, di sisi lain, kritik terhadap ormas semakin keras, terutama karena banyaknya kasus premanisme yang melibatkan anggota ormas tertentu. Kelompok-kelompok ini sering kali menggunakan cara-cara kekerasan untuk memaksakan kehendak, baik dalam urusan bisnis, politik, maupun sosial. Yang lebih ironis, tidak jarang mereka justru menjadi "penjaga ketertiban" versi mereka sendiri—sesuatu yang seharusnya menjadi tugas aparat hukum.

Alih-alih membantu masyarakat, keberadaan mereka justru menciptakan ketakutan dan ketidakpastian. Masyarakat kecil, seperti pedagang kaki lima atau pengusaha mikro, sering kali menjadi korban pemerasan dengan dalih "uang keamanan" atau "iuran wajib" yang tidak jelas dasar hukumnya.

Dari sudut pandang penulis, ormas seharusnya menjadi mitra strategis pemerintah dan masyarakat dalam membangun negeri, bukan beban yang justru meresahkan. Idealnya, ormas harus berfungsi sebagai wadah partisipasi warga dalam pembangunan, penyedia layanan sosial, dan penjaga nilai-nilai kebangsaan.

Namun, untuk mencapai itu, diperlukan reformasi besar-besaran dalam pengelolaan ormas. Pertama, negara harus tegas dalam menindak ormas yang melanggar hukum, tanpa pandang bulu. Tidak boleh ada lagi kebijakan setengah hati dalam membubarkan ormas yang terbukti melakukan tindakan premanisme. Kedua, perlu ada mekanisme pengawasan yang lebih ketat terhadap pendanaan dan aktivitas ormas untuk mencegah penyalahgunaan kekuatan massa.

Ketiga, ormas harus didorong untuk lebih berperan dalam kegiatan produktif, seperti pelatihan keterampilan, advokasi hukum, atau program pemberdayaan ekonomi, bukan sekadar menjadi alat politik atau bisnis segelintir elite.

Jika ormas bisa dikembalikan kepada khittah-nya sebagai organisasi yang melayani masyarakat, bukan hanya sebagai kendaraan kekuasaan atau sumber pemerasan, maka keberadaan mereka akan menjadi berkah, bukan kutukan. Namun, jika pemerintah dan masyarakat diam saja melihat penyimpangan yang terjadi, bukan tidak mungkin premanisme yang mengatasnamakan ormas akan semakin merajalela. Indonesia membutuhkan ormas yang kuat dalam nilai kebangsaan, bukan dalam tindakan kekerasan. Sudah saatnya ormas menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.