Lembaga pemerhati anak mendesak kepolisian segera menangkap pelaku pembuat akun grup Facebook bernama 'Fantasi Sedarah' yang memuat konten berisi ketertarikan seksual dengan anggota keluarga atau inses—terutama terhadap anak di bawah umur.
Grup yang memiliki puluhan ribu anggota itu telah dihapus oleh META, termasuk 30 situs serupa lainnya.
Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPA), Kawiyan, menyebut konten-konten tersebut telah melakukan pelanggaran serius pada hak anak serta melanggar kesusilaan seperti yang termuat dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dengan menangkap pelakunya, polisi bersama Kementerian Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) diharapkan bisa melacak "korban anak" untuk secepatnya dipisahkan dari orang tua yang merupakan pelaku.
Hingga Minggu (18/05) Direktorat Siber Polda Metro Jaya menyebut masih melakukan investigasi admin hingga anggota grup itu.
Grup Facebook bernama 'Fantasi Sedarah' ramai diperbincangkan warganet gara-gara memuat beragam unggahan pesan anggota grup yang mengarah pada ketertarikan seksual dengan anggota keluarga sendiri atau inses.
Unggahan yang disebut tidak pantas itu, juga mencantumkan foto korban yang beberapa di antaranya masih di bawah umur.
Setelah menjadi viral dan menuai kecaman publik, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta polisi bertindak.
Komdigi bersama META—perusahaan induk Facebook—telah memblokir 30 situs dengan konten serupa.
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi, Alexander Sabar, mengatakan pemblokiran tersebut sebagai upaya tegas negara dalam melindungi anak-anak dari konten digital yang merusak mental dan emosional.
Ia bilang tindakan pemutusan akses ini bagian dari implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Beleid itu mengatur kewajiban setiap platform digital untuk melindungi anak dari paparan konten berbahaya serta menjamin hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan digital yang aman dan sehat.
Meskipun telah memblokir puluhan situs, dia menegaskan pihaknya bakal terus memperkuat pengawasan terhadap aktivitas digital yang disebutnya menyimpang.
Dia juga meminta masyarakat untuk melapor jika menemukan konten sejenis.
Di sisi lain, Direktorat Siber Polda Metro Jaya masih melakukan penyelidikan terhadap akun Facebook tersebut sejak pekan lalu, termasuk melacak admin hingga anggota grup itu.
Pengamat teknologi informasi (IT) dan keamanan siber, Alfons Tanujaya, menjelaskan masing-masing platform media sosial seperti X, TikTok, dan Facebook, punya kebijakan yang melarang adanya konten pornografi.
Facebook, misalnya, sebetulnya memiliki aturan yang lebih ketat dalam hal konten pornografi dibanding media sosial lainnya.
Bahkan konten audio yang mengandung aktivitas seksual juga dilarang.
"Kami membatasi tampilan ketelanjangan atau aktivitas seksual karena beberapa orang di komunitas kami mungkin sensitif terhadap jenis konten ini," tulis pernyataan di pusat transparansi META.
META melarang pengguna media sosial miliknya mengunggah konten telanjang yang menggambarkan secara jelas alat kelamin, anus, bokong, dan payudara. Namun, mereka mengizinkan hal ini dalam konteks menggambarkan potret kelaparan, genosida, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan.
META juga melarang konten aktivitas seksual, baik yang ditampilkan secara eksplisit seperti seks vagina, oral seks, anal seks, maupun yang tersirat. Platform ini juga melarang konten-konten perumpamaan yang menggambarkan berbagai macam jenis fetis.
Sama seperti media sosial lain, META mengizinkan menampilkan ketelanjangan dalam konteks medis, kesehatan, atau edukasi.
Masalahnya, menurut Alfons, penerapan kebijakan itu kadang tak cermat sehingga grup-grup seperti 'Fantasi Sedarah' dan bahkan judi online bertebaran di sana.
"Dan grup-grup begitu biasanya tertutup. Jadi orang enggak bisa mencari grup di Facebook tanpa persetujuan dari Facebook. Karena itu sistem bisnis mereka," ujar Alfons kepada BBC News Indonesia, Minggu (18/05).
"Jadi memang si platform yang membatasi, beda dengan Google misalnya yang kalau kita mencari sesuatu, bisa langsung dapat."
Bahkan, menurut Alfons, meskipun sudah ketahuan bahwa grup tersebut melakukan pelanggaran, Facebook baru bisa bertindak ketika mendapat pengaduan.
"Bukan otomatis [ditutup]. Facebook itu pasif."
Kata Alfons, sumber daya di Komdigi terbatas untuk memelototi grup-grup yang ada di media sosial.
Hal lain, pemerintah juga disebut tidak bisa daya tawar yang kuat "menghukum" META karena dianggap membiarkan platformnya jadi sarang konten negatif seperti 'Fantasi Sedarah' dan sejenisnya.
Karenanya dia menilai salah satu jalan untuk mencegah menjamurnya muatan serupa di media sosial adalah penegakan hukum.
"Supaya ada efek jera. Jadi orang akan mikir-mikir lagi kalau mau berbuat hal yang sama," ujarnya.
"Jangan cuma diblokir terus selesai, karena kalau hanya menutup akun, akan gampang bikin lagi."
Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPA), Kawiyan, sependapat. Ia bilang polisi harus melacak siapa pembuat grup itu beserta anggota di dalamnya.
Kalau sudah ketahuan, para pelaku bisa dijerat Undang-Undang Perlindungan Anak serta Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dengan penindakan hukum, menurutnya, bakal menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan berkontribusi signifikan sebagai upaya pencegahan berulangnya kasus serupa di kemudian hari.
"Penegakan hukum juga mestinya diterapkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). PSE tidak boleh lalai atau membiarkan penggunanya menggunakan platform media sosial untuk mengunggah konten yang melanggar hukum," jelas Kawiyan kepada BBC News Indonesia, Minggu (18/05).
Pasal 76D UU Perlindungan Anak menyebutkan: "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain."
Dan Pasal 76E menyatakan: "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, dan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabut."
Ancaman atas perbuatan dalam pasal itu adalah pidana minimal lima tahun atau maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Namun jika pelaku perbuatan tersebut adalah orangtua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan hukumannya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidananya.
Adapun yang menyangkut UU ITE bisa dikenakan pasal 27 berisi: "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum."
Ancaman pidana atas perbuatan itu adalah penjara 10 tahun dengan denda Rp10 miliar.
Selain menindak secara hukum, Kawiyan juga berharap polisi dan Komdigi bisa bergerak cepat melacak dan mendata anggota-anggota dalam grup tersebut.
Selanjutnya, polisi diharapkan bisa memisahkan anak-anak dari orang tua yang diduga pelaku inses.
"Sebuah grup Facebook dengan anggota mencapai 32.000 orang lebih, jumlah anak yang menjadi korban kemungkinan sangat besar."
"Dan anak-anak yang menjadi korban tindakan inses tersebut adalah anak yang membutuhkan perlindungan khusus," jelasnya.
Perlindungan khusus yang dimaksud yaitu sebuah bentuk perlindungan yang diterima oleh anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.
Perlindungan khusus terhadap anak, sebagaimana tercantum dalam Pasal 59A UU Perlindungan Anak, harus dilakukan melalui upaya:
Hal senada juga dikatakan Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KemenPPPA, Ciput Eka Purwianti.
"Kami harap dari kepolisian untuk menginformasikan kepada kami jika sudah ketemu identitas pelaku dan titik lokasinya. Concern kami tentunya pendampingan pada para istri dan anak-anaknya."
Komnas Perempuan mendefinisikan inses sebagai hubungan seksual antara orang-orang yang memiliki hubungan darah atau hubungan bersaudara dekat yang dianggap melanggar norma adat, hukum, dan agama.
Ruang lingkupnya ada tiga:
Inses, menurut Komnas Perempuan, disebut pelanggaran hak asasi manusia yang berat, karena korban mengalami ketidakberdayaan lantaran harus berhadapan dengan ayah atau keluarga sendiri, kekhawatiran menyebabkan perpecahan perkawinan atau konflik sehingga umumnya baru diketahui setelah inses berlangsung lama.
Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2022 menunjukkan dari 2.363 kasus kekerasan terhadap perempuan, inses menduduki posisi ketiga dengan 433 kasus atau setara 18?ri total kasus kekerasan seksual dalam ranah personal.
Laporan tersebut juga mengungkap pelaku kekerasan seksual termasuk inses yang paling banyak adalah figur ayah dan paman.
Melansir cptsdfoundation.org, perbuatan inses memiliki dampak bahaya dalam banyak hal, termasuk secara genetik.
Bayi yang dikandung hasil inses berpotensi terjadi peningkatan risiko kelainan gen resesif.
Hal itu terjadi karena anak menerima satu salinan gen dari setiap orang tua.
Biasanya, gen untuk pembentukan sistem autoimun diwariskan dari masing-masing orang tua dengan materi genetik yang berbahaya digantikan oleh materi dominan.
Ketika individu tersebut hamil, mereka menurunkan variasi genetik dan gen resesif yang mereka miliki bergabung menjadi dominan pada anak. Hasilnya akan menyebabkan banyak jenis cacat bawaan.
Penyimpangan ini dinilai tidak etis dan berpotensi membahayakan kesehatan manusia.
Beberapa masalah kesehatan pada bayi yang lahir dari hubungan inses di antaranya: