Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap kebijakan fiskal dan postur awal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Hal itu disampaikan menanggapi paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
Dalam paparannya, Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,25,8 persen, inflasi 1,53,5 persen, nilai tukar rupiah Rp 16.500Rp 16.900 per dollar AS, dan defisit APBN 2,482,53 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sementara untuk pendapatan negara ditargetkan sebesar 11,712,2 persen PDB dan belanja negara sebesar 14,1914,75 persen PDB.
Namun, Said menyoroti meningkatnya proteksionisme global akibat perang tarif, yang menurutnya perlu direspons dengan diplomasi ekonomi yang aktif dan penguatan komitmen perdagangan internasional yang adil.
"Pemerintah perlu mengajak dunia membangun komitmen baru dalam perdagangan, dan memastikan di masa depan tidak ada negara yang berlaku sewenangwenang secara sepihak, dan semua patuh pada hukum hukum perdagangan internasional," kata Said kepada wartawan, Selasa.
Said juga mengingatkan potensi shortfall penerimaan negara karena melemahnya harga komoditas dan konsumsi domestik.
Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah menyusun target pendapatan yang realistisoptimistis dan memperluas basis pajak, termasuk dari sektor digital, minerba, dan cukai.
"Ada pun pemberlakuan core tax system sebagai strategi untuk membangun administrasi perpajakan yang handal di tahun depan harus mempertimbangkan kesiapan literasi wajib pajak, dan memastikan kesiapan dan keamanan sistem," ujar Said.
Di sektor pangan dan energi, Said menilai bahwa program ketahanan belum menunjukkan hasil signifikan.
"Alihalih menyudahi impor pangan, sektor pertanian kita malah terdisrupsi dari sisi lahan dan tenaga kerja, serta adaptasi teknologi yang terlambat," ucapnya.
Karenanya, dia meminta pemerintah melanjutkan program redistribusi lahan 4,5 juta hektar, pelatihan tenaga kerja pertanian, serta dukungan teknologi terapan pada sektor pertanian yang termutakhir.
"Nasib yang sama juga terjadi pada program ketahanan energi. Program pembangunan lima kilang minyak bumi perlu dilanjutkan, termasuk kilang petrokimia di Tuban yang tersendat, sebagai strategi untuk menambah kapasitas pengolahan minyak nasional agar tidak bergantung pada impor," tutur Said.
Demikian pula pada sektor industri dinilai mengalami pelemahan, ditandai dengan menurunnya jumlah kelas menengah sejak 2019.
Said menekankan pentingnya membangun ekosistem industri yang kuat dan mencegah hengkangnya industri ke luar negeri.
Pemerintah perlu merevitalisasi sektor industri dengan menyiapkan ekosistem industri yang menopangnya seperti tenaga kerja, dukungan pendanaan, riset dan pengembangan teknologi, serta dukungan fiskal," ungkapnya.
Dia juga mengkritisi target pengangguran dan gini rasio dalam RAPBN 2026 yang dianggap kurang progresif.
"Pada akhir tahun 2024 tingkat pengangguran 4,76 persen, sedangkan gini ratio 0,381. Sedangkan target RAPBN 2026 tingkat pengangguran 4,44 4,96 persen, dan gini ratio 0,3770,380."
"Angka ini menunjukkan tidak ada target yang baik bagi menambah lapangan kerja bagi para pengangguran dan pengurangan kesenjangan sosial," imbuh Said.