Kerusuhan Mei 1998 menyisakan penggalan-penggalan kisah dan pengalaman hidup yang membekas di hati. Jakarta mendadak dilanda kepanikan dan amuk massa yang diikuti pembakaran dan penjarahan toko. Inilah bagian dari kisah-kisah yang tercecer saat itu yang disusun oleh Tim Intisari.
Intisari-Online.com -Kalau menurut perhitungan Cap Ji Shio, tahun 1998 ini disebut "Tahun Macan Melintas Gunung". Gambaran peristiwanya menjadi begitu menyeramkan karena diberi makna sebagai tahun penuh bahaya!
Seperti dikutip Intisah Desember 1997, dalam tulisan berjudul "Tahun 1998 Makin Memprihatinkan", sejumlah paranormal menguraikan berbagai ramalannya tentang situasi dan peristiwa yang mungkin terjadi pada Tahun Macan ini. Di antaranya ada yang menyinggung kondisi politik di tanah air yang makin berat dan panas.
Betul! (Atau kebetulan?) Tak sampai lima bulan sejak diterbitkan, ramalan sejumlah paranormal itu menjadi kenyataan. Situasi politik yang terus memanas akibat krisis moneter sejak Juli 1997 mencapai puncaknya setelah kasus penembakan yang menewaskan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta pada 12 Mei 1998.
Dua hari setelah tragedi berdarah itu meledaklah berbagai kerusuhan dan penjarahan yang diikuti pembakaran oleh massa terhadap bangunan pertokoan dan fasilitas umum lainnya di berbagai sudut ibu kota. Mimpi buruk yang berlangsung selama dua hari itu tak pelak membuat kegiatan sebagian besar warga ibu kota dan sekitarnya praktis terhenti.
Angkutan umum nyaris tak ada yang beroperasi. Para pekerja maupun karyawan mengalami kesulitan mencapai rumah masing-masing. Begitu pun yang menggunakan kendaraan pribadi mengingat kerusuhan di titik-titik tertentu masih berlangsung, termasuk di beberapa ruas jalan tol. Kepanikan merambat ke mana-mana.
Cerita sejumlah karyawan yang berusaha pulang ke rumah dari tempat kerjanya pada Kamis, 14 Mei 1998, ketika terjadinya berbagai kerusuhan di Jakarta, mungkin memperkaya gambaran betapa tindakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu menyengsarakan banyak orang.
Bau tikus
"Pulang dari kantor pada hari Kamis itu saya dihadang beberapa kali oleh anak-anak muda yang memberi isyarat agar saya tidak meneruskan perjalanan, tapi kembali dan memilih jalan lain. 'Ada demo!' kata salah seorang," cerita Slamet yang hendak pulang ke rumahnya di kawasan Jakarta Selatan.
Selama menuju ke kompleks perumahan Pertanian melalui "jalan tikus", Slamet "kagum" betapa banyak orang turun ke jalan yang sepi. Mereka berkerumun di mulut-mulut gang seperti sedang menunggu sesuatu. Di pertigaan Jl. Gatot Subroto dan Jl. Rasamala, dia dimintai uang.
Caranya meminta dengan bahasa Tarzan, hanya dengan melambaikan tangan yang menggenggam segepok uang. "Karena saya tidak mau merugi kalau mobil dirusak, saya relakan Rp1.000 untuk pungli," katanya sambil menambahkan, sebelumnya dia mendengar ada mobil yang dirusak hanya karena penumpangnya tidak mau memberi pungli cepekan.
Yang bikin dia makin terheran-heran, setiba di rumahnya di belakang pasar swalayan Hero itu, dia melihat banyak orang yang mendorong trolley lewat di jalan depan rumahnya. Isinya barang jarahan dari Hero.
Pasar swalayan itu tidak hanya dijarah isinya, tapi juga dibakar sesudahnya. Asap hitam yang tebal mengepul dari tempat gedung Hero yang sudah dijarah. "Ketika api semakin membesar, penghuni kompleks yang paling dekat rumahnya dengan Hero panik dan mengungsi karena khawatir kalau api menjalar ke rumah mereka," cerita Slamet.
Api ternyata dapat dikuasai dan dipadamkan. Para penghuni malam itu kembali ke rumah masing-masing, tetapi esok malamnya disiksa bau tikus yang merajalela. "Ini bukan tikus!" komentar salah seorang penghuni. "Masak Hero ada tikusnya. Mungkin itu bau mayat yang terbakar dan tidak ada yang mengurus!"
Sampai tiga hari lamanya bau tikus, atau bangkai, atau mungkin juga bangkai tikus, itu meneror penghuni kompleks belakang Hero. Sesudah itu tidak berbau lagi.
Dua hari sesudah kerusuhan, bertiup kabar bahwa perusuh atau penjarah akan mengalihkan operasinya ke perumahan penduduk. Kepanikan pun mulai merasuki segenap penghuni kompleks-kompleks perumahan.
"Pada 16 Mei saya mendapat telepon dari keponakan bahwa malam itu Jakarta Selatan akan kedatangan gerombolan perusuh atau penjarah dari Bogor melalui Depok dan mereka dikerahkan dengan tiga truk. Dia menambahkan, saat itu rumah-rumah di Lenteng Agung sudah dilempari batu dan meminta kami bersiap-siap, termasuk mengumpulkan surat-surat berharga, apa saja, untuk diamankan," tambah Slamet.
Tak pelak seluruh keluarganya jadi panik. Pintu pagar halaman depan rumahnya lantas digembok sore-sore, garasi ditutup rapat, dan pintu rumah selain dikunci dan digembok juga diganjal kursi. Di tembok belakang rumah istrinya memasang tangga. Kalau sampai perusuh memasuki halaman, mereka akan mengungsi ke rumah tetangga di belakang melalui pagar tembok.
Surat-surat penting sudah dimasukkan ke dalam map dan siap dibawa kabur. Tapi malam itu tidak terjadi apa-apa. "Kedatangan perusuh yang dikerahkan dengan tiga truk itu hanya rumor yang ditiupkan oleh pihak tertentu," tutur Slamet.
Paspornya ketinggalan
"Hari Kamis itu saya dan suami memutuskan tidak ke kantor setelah dua hari sebelumnya lalu lintas di beberapa ruas jalan kacau dan keamanan pengguna jalan tidak terjamin akibat kerusuhan," kata Lilian (41) yang tinggal di kompleks perumahan Kelapa Gading, Jakarta Timur.
Namun dia terus mengikuti perkembangan situasi ibu kota lewat siaran radio. Beritanya tidak makin menenteramkan tapi justru membuat mereka tegang. Apalagi sekitar pukul 10.00 tersiar kabar penjarah dari arah Tanjungpriok, Jakarta Utara, sudah masuk ke kompleks Perumahan Kelapa Gading lewat pintu Sunter.
"Saya diberitahu oleh tetangga depan rumah agar berhati-hati karena ada beberapa mobil terparkir di depan rumah mereka," tutur ibu yang berputra dua ini. Tak beberapa lama terpampang papan darurat bertuliskan cat putih yang dibuat tergesa-gesa. "Pri-bu-mi, begitu anak saya yang baru bisa membaca mengejanya. 'Apa sih pribumi itu? Apa kalau pribumi tidak akan diserang?' tanya anak saya. 'Mungkin,' jawab saya meski dalam hati mencuat kegetiran: di mana pembenarannya andaikan rumah kami hancur hanya karena tidak terpampang papan semacam itu sementara rumah tetangga kami itu utuh?" ucap Lilian.
Kaum pria penghuni kompleks yang tadinya tidak saling kenal, sejak itu tampak menyatu lewat kegiatan siskamling. "Tiba-tiba saja suami saya jadi lebih akrab dengan tongkat besi daripada dengan istrinya sendiri karena ke mana pun selalu ditenteng," kata Lilian.
Warga kompleks tempat tinggal Lilian diserang kepanikan lagi ketika Kamis malam pukul 22.00 terjadi serangan massa dari arah Pulogadung di pintu gerbang Jl. Perintis Kemerdekaan, hanya beberapa kilometer dari kompleks perumahannya. "Syukurlah serangan itu dapat dipatahkan oleh pasukan keamanan. Konon ketika itu tertangkap sekitar 40-an pelaku yang rata-rata masih amat muda, berikut barang bukti sebuah truk yang esok paginya tampak nongkrong di halaman kantor Polsek di seberang rumah."
Namun kepanikan kembali menyergap ketika koran nasional terbesar menurunkan berita bahwa kawasan Kelapa Gading merupakan satu-satunya sentral ekonomi yang tidak tertembus perusuh. Sebab, para penghuni kompleks perumahan itu lebih suka berita itu menyatakan kalau wilayah mereka telah "kena", agar tidak membangkitkan rasa penasaran di pihak perusuh.
Suasana ketakutan memang lahan yang subur bagi berkembangnya isu, yang pada gilirannya semakin meningkatkan kadar ketakutan warga. "Di puncak ketegangan, untuk menjaga segela kemungkinan saya mempersiapkan diri dan seluruh 'staf rumah tangga' untuk kabur. Berulang-ulang saya beritahukan prosedur yang dilakukan anak saya seandainya keadaan memaksa kami kabur," kisah Lilian.
Dia juga berprinsip, betapapun indahnya, mahalnya, langkanya, atau saratnya kenangan, harta benda yang mereka miliki tak seberapa nilainya dibandingkan dengan nyawa orang-orang yang mereka kasihi. "Saat itu saya dihadapkan pada cermin yang jujur tentang diri sendiri. Di dalam tas darurat itu terdapat Kitab Suci, kamera foto dan video, kaset-kaset rekaman pertumbuhan kedua anak kami, di samping dua setel pakaian ala kadarnya," ungkap Lilian.
Setelah krisis berlalu, dia baru menyadari, paspornya masih tersimpan rapi di lemari.
Istrinya tak pulang
"Kamis kelabu itu saya tetap masuk kantor. Dari lantai lima gedung kantor, saya bisa melihat asap hitam mengepul dari sejumlah titik pusat kerusuhan di Jakarta Barat. Dari laporan radio swasta saya tahu, massa yang berkerumun di sekitar kampus Universitas Trisakti yang sedang berkabung mulai membakar kantor stasiun pompa bensin di seberang kampus itu, dan bergerak ke arah barat sambil merusak sejumlah deretan pertokoan di Jl. Daan Mogot," tutur Suyanto (34).
Tampaknya pengaruh kerusuhan di kawasan itu mulai berdampak terhadap situasi lalu lintas jalan yang berasal atau menuju kawasan yang dilanda kerusuhan itu. Berangsur-angsur jalanan di seputar kantor tempatnya bekerja jadi lengang. Apalagi ketika deretan pertokoan di dekat kantornya yang berjarak sekitar 2 km dari kerusuhan itu mulai dilanda kerusuhan dan penjarahan pula.
"Melihat perkembangan situasi yang semakin mengkhawatirkan itu, saya memutuskan pulang lebih awal," kata Yanto
Saat dalam perjalanan pulang ke kawasan Jatiasih, Bekasi (sekitar 35 km dari Jakarta), menurut Yanto, pengaruh itu semakin tampak. Ribuan calon penumpang berderet di tepi-tepi jalan menunggu angkutan umum yang saat itu menjadi barang langka. Suasana jalan tol yang biasanya padat, siang itu sepi dan terasa mencekam. Bahkan pengguna jalan tol dalam kota tidak ditarik bayaran karena pintu gerbangnya sudah ditinggalkan para petugas. "Jalanan benar-benar sepi sehingga saya tiba di rumah satu jam lebih. awal dari biasanya," katanya.
"Bekasi seperti mau kiamat," kata istrinya, yang masih berada di tempat kerjanya di Cikarang, lewat telepon. Dari Cikarang menuju Jatiasih memang harus melewati Bekasi yang ketika itu sudah dilanda kerusuhan. Situasi itu menyebabkan istrinya terpaksa menginap di rumah seorang teman kerjanya. Padahal di rumah dia ditunggu bayinya yang masih menyusu. "Keruan saja saya jadi khawatir apakah anak saya nanti tidak rewel?" kata Yanto sembari menambahkan, semula dia bermaksud mau menjemput istrinya dengan sepeda motor namun urung mengingat situasi jalan menuju ke tempat kerja istrinya, menurut laporan, sudah sangat gawat.
Wajar kalau pria ini tak bisa tidur dengan tenang. Ketika rumahnya diketuk-ketuk orang sekitar pukul 02.00 dini hari, kontan saja jantungnya berdebar-debar. Rupanya yang datang ketua RT. Dia mengajak warganya untuk berjaga-jaga sembari membekali diri dengan “senjata" apa saja mengingat keadaan di sekitar perumahan semakin gawat. "Kabarnya ada perusuh yang sudah mendekati perumahan kami. Sembari berjaga-jaga, kami mendengarkan siaran radio yang terus mengabarkan kerusuhan. Penjarahan sudah berlangsung di banyak tempat. Malam itu rasanya merambat sangat pelan. Untunglah perusuh yang dikabarkan mau menyerang itu tidak datang, tapi saya berharap malam kelabu itu tidak terulang lagi,” kata pria asal Yogya ini.
Terkurung di gedung
Kalau di hari biasa perjalanan dari kantornya di bilangan Senayan menuju tempat tinggalnya di Bogor paling lama dua jam, pada Kamis, 14 Mei 1998, itu "ditempuh" hampir delapan jam. "Itu pengalaman pahit saya dan beberapa teman yang kebetulan tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta," tutur Yahya (43).
"Sebenarnya beberapa waktu sebelum kerusuhan melebar di berbagai sudut Jakarta, kami para karyawan sudah diizinkan pulang lebih awal. Namun saya tidak pernah mengira kalau kerusuhan itu bakal menjalar ke mana-mana sehingga saat memutuskan pulang, keadaan sudah cukup parah, terutama soal sulitnya memperoleh sarana transportasi," katanya.
Pukul 15.45 dia bersama 12 rekan sekantor (tujuh laki-laki, lima wanita), yang sebagian besar bertempat tinggal di Bogor, memutuskan untuk mencoba nebeng bus karyawan Departemen Kehutanan di Gedung Manggala Wanabakti, Jl. Gatot Subroto. Sebagian besar dari 20 bus karyawan Dephut itu bertujuan Bogor, dan biasanya meninggalkan gedung itu pukul 16.15.
Mereka memang diperbolehkan ikut menumpang. Cuma kapan berangkatnya, para pengemudi, tidak bisa memastikan. "Mula-mula ada yang bilang bus akan berangkat jam enam sore," tutur Yahya.
Karena pada pukul 17.30 bus belum berangkat mengingat situasi di sekitar jalur dalam kota menuju Bogor masih dilanda kerusuhan, mereka pun ikut turun dari bus dan berbaur dengan para penumpang lain karyawan Dephut. Sementara terus menunggu, perut tampaknya mulai minta diisi. Seperti dikomando, mereka menyerbu para penjual makanan di sekitar gedung itu sampai banyak calon pembeli yang gigit jari tidak kebagian. "Untung saya masih kebagian tahu sumedang berikut lontongnya dan cukup untuk beberapa rekan saya lainnya. Lumayan untuk ganjal perut," tutur Yahya.
Sementara itu, asap hitam masih tampak mengepul dari arah Pasar Palmerah. Kawasan pasar itu hanya beberapa ratus meter saja dari Gedung Manggala. "Selama itu pula kami mendapat kabar, entah dari mana datangnya, kalau kerusuhan serupa sudah melanda Cibinong, Ciawi, dan juga Bogor. Saya semakin tidak tenang mengingat di rumah hanya ada ibu dan kakak perempuan saya. Namun ketika ibu Saya bilang lewat telepon bahwa Bogor aman-aman saja, saya agak lega."
Pukul 18.30 bus diputuskan untuk berangkat secara konvoi. Situasi jalanan yang dilewati sangat sepi dan gelap bak kota mati. Begitu pula ruas jalan tol Grogol - Cawang nyaris tak ada kendaraan lewat. Karena itu para pengemudi bus itu pun merasa sah saja masuk tol lewat pintu keluar yang pertama kali dijumpai dengan cara mundur sebelum kemudian melaju ke arah Cawang.
Namun ketika baru tiba di jembatan layang Kuningan, bus tidak bisa melanjutkan perjalanan karena, menurut laporan, kerusuhan sudah merambah jalan tol di depan sana. "Katanya, kendaraan yang lewat di jalan tol itu pada dilempari perusuh," kata Yahya. Konvoi bus karyawan Dephut pun tak mau ambil risiko (meskipun kabarnya ada dua bus yang nekat melaju) dan ikut berbalik arah bersama beberapa kendaraan lain.
Semakin malam suasana membuat mereka semakin tegang. Kompleks pertokoan Palmerah akhirnya dibakar setelah dijarah. Cerita mengenaskan pun bermunculan. Misalnya, sebuah keluarga yang tinggal di seberang kompleks pertokoan itu akhirnya tewas terbakar berikut tempat tinggalnya yang merangkap toko.
Lobi Gedung Manggala Wanabakti malam itu tak pelak berubah menjadi penampungan "pengungsi". Para penumpang bus bergeletakan di lantai menunggu keberangkatan bus sambil menahan kantuk dan lapar serta dinginnya AC. "Suatu ketika, entah dari mana sumbernya, beberapa teman wanita yang sudah kelaparan mengajak naik ke lantai dua. Katanya, di sana ada pembagian mi instan. "Ternyata kami kecele, di tempat itu tidak ada apa-apa," cerita Yahya.
Akhirnya, sekitar pukul 00.25 bus diberangkatkan menuju Bogor. Kali ini, kata Yahya, bus masuk jalan tol lewat prosedur yang benar meskipun pintu gerbangnya sudah ditinggalkan petugas. Jalan yang dilalui konvoi bus tampak sudah aman, kendati di beberapa bangunan yang dibakar tampak api masih menyala serta sejumlah bangkai mobil. Memasuki gerbang tol Jagorawi keadaan aman-aman saja. "Namun tak berapa lama setelah itu di depan bus serombongan orang tampak mengacung-acungkan tangan di tengah jalan tol. Jangan-jangan mereka penjarah. Kami tak mau ambil risiko, pengemudi bus pun tancap gas atas permintaan para penumpang setelah sempat memperlambat laju kendaraannya atas permintaan penumpang juga," tuturnya.
Tepat pukul 01.05 bus yang ditumpangi Yahya tiba dengan selamat di depan Terminal Baranangsiang, Bogor. "Perjalanan kami lanjutkan dengan mencarter sebuah angkot yang kebetulan lewat pada dini hari itu. Salah seorang teman saya melanjutkan perjalanan ke rumah dengan naik ojek. Tiba di rumah saya tak mampu segera memejamkan mata setelah mimpi buruk sepanjang sore dan malam hari' itu," kata Yahya mengakhiri kisahnya.(Tim Intisari)