Program ini merupakan inisiatif Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta yang sudah dimulai sejak 2004. Kepala Dinkes DKI Jakarta Ani Ruspitawati menjelaskan bahwa RW dilakukan berdasarkan kesiapan wilayah.
"Kami 'piloting' dari tahun 2004 di 274 RW. Jadi di setiap kecamatan kita cari RW mana yang paling siap. Dari sana kami mulai mengembangkan konsep siaga TBC," ujar Ani dalam keterangannya, di Jakarta Pusat, Jumat (23/5/2025).
Menurut Ani, istilah 'siaga' dalam program ini bukan menandakan adanya kondisi darurat TBC di Jakarta. Sebaliknya, ini adalah bentuk kesiapsiagaan dan kewaspadaan warga untuk mencegah penyebaran penyakit menular tersebut.
"Siaga itu bukan menunjukkan pada situasi kedaruratan. Tetapi lebih pada bagaimana kita punya kewaspadaan untuk mencegah, menjaga lingkungannya supaya tidak banyak yang terkena TBC," tegasnya.
Konsep Kampung Siaga TBC berfokus pada pemberdayaan komunitas tingkat RW dalam menjaga kesehatan wilayahnya. Program ini melibatkan edukasi, skrining aktif, serta pendampingan psikososial bagi pasien TBC. Skrining bertujuan untuk mendeteksi kasus sejak dini agar penderita bisa segera mendapatkan pengobatan.
Ani menambahkan bahwa keberhasilan program sangat bergantung pada peran aktif warga dan kesiapan wilayah. Karena itu, pendekatannya bersifat kewilayahan dan berbasis komunitas.
"Ini adalah upaya berbasis wilayah. Komunitas menjadi kunci. Kalau wilayahnya siap, maka pengendalian bisa lebih optimal," jelasnya.
DKI Jakarta menargetkan temuan 70.387 kasus TBC pada 2025. Untuk mendukung hal tersebut, jumlah Kampung Siaga TBC akan terus ditingkatkan dari 274 menjadi 500 kampung sepanjang tahun ini.
Sebagai informasi, Indonesia saat ini menempati posisi kedua dunia dalam jumlah kasus TBC terbanyak setelah India. Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2024, jumlah kasus TBC di Indonesia diperkirakan mencapai 1.090.000 per tahun.