BANJARMASINPOST.CO.ID - JAKARTA menjadi saksi pertemuan istimewa antara Bank Indonesia (BI) dan para akademisi dari berbagai penjuru negeri dalam forum “BI Sapa Akademisi”, yang digelar di Hotel DoubleTree by Hilton Jakarta, pada tanggal 7-9 Mei 2025.
Sebanyak 51 akademisi dari berbagai Universitas hadir untuk mendengarkan, berdiskusi, dan mengkritisi arah kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran nasional secara langsung dari para pemangku kebijakan.
Acara dibuka oleh Bapak Puji Atmoko, Kepala Departemen Komunikasi BI, dan dimoderatori oleh Ibu Mutia Rahayu. Sesi pertama menghadirkan Bapak Harry Aginta, Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, dengan paparan mengenai kondisi ekonomi terkini dan respons kebijakan moneter hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) April 2025.
Kondisi global masih bergejolak. Perang dagang yang sempat reda kembali memanas, membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi global direvisi menjadi 2,9 persen dari sebelumnya 3,2%. Ketidakpastian global menyebabkan arus modal keluar dari negara berkembang, mengarah ke aset-aset aman seperti emas dan pasar Eropa.
Di domestik, pertumbuhan ekonomi tetap ditopang oleh panen raya, konsumsi masyarakat, dan investasi yang mulai membaik. Meski ekspor masih perlu digenjot, neraca perdagangan mengalami surplus, terutama di sektor nonmigas. Rupiah sempat tertekan pada awal April 2025, mendorong BI melakukan intervensi di pasar NDF (Non Deliverable Forward). Namun secara umum, inflasi tetap terkendali dan fundamental ekonomi dalam kondisi cukup baik.
BI memilih mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate), suku bunga deposit, dan suku bunga lending. Langkah ini menunjukkan sinyal stabilitas, namun tetap membuka ruang responsif jika tekanan meningkat.
Namun demikian, dalam sesi tanya jawab, mengemuka pertanyaan kritis yaitu mengapa data ekonomi terlihat baik, tetapi di lapangan justru banyak PHK, industri tidak menyerap tenaga kerja, dan cadangan devisa menurun karena adanya utang baru?
Pertanyaan tersebut dijawab lugas kebijakan BI bersifat forward-looking dan disusun melalui mekanisme RDG yang komprehensif. Namun, stabilitas makro tidak serta-merta langsung terasa di sektor riil jika tidak didukung sinergi lintas sektor. Kebijakan moneter saja tidak cukup. Perlu pemanfaatan potensi domestik secara optimal agar mampu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan.
Sesi kedua membahas kebijakan makroprudensial yang disampaikan Ibu Sagita Rachamanira, Deputi Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial. Dalam paparannya, ditegaskan bahwa krisis keuangan sangat mahal biayanya. Maka, menjaga stabilitas sistem keuangan (SSK) menjadi keharusan.
Melalui instrumen seperti Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM), dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM), BI berupaya menjaga agar pembiayaan tetap optimal tanpa mengorbankan ketahanan bank. Meski risiko kredit meningkat akibat ketidakpastian global, modal perbankan tetap kuat, likuiditas terjaga, dan kemampuan bayar masih baik.
UMKM tetap menjadi perhatian. Kredit kepada sektor ini tumbuh, meski masih terbatas. Melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM), BI memberikan kelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) bagi bank yang menyalurkan kredit sesuai target, dengan harapan bisa mendorong pembiayaan ke sektor-sektor produktif.
Sesi terakhir membahas sistem pembayaran yang disampaikan oleh Irfan Hendrayadi dari Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran. Ia mengibaratkan sistem pembayaran seperti rem blong jika tidak diatur dengan baik. Tujuan utamanya adalah menciptakan sistem yang cepat, aman, dan mendukung produktivitas ekonomi.
Digitalisasi sistem pembayaran terus didorong melalui Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030. Penggunaan QRIS meningkat pesat, interkoneksi sistem antarbank terus diperkuat, dan Bank Indonesia tengah menyiapkan Central Bank Digital Currency (CBDC). Namun, tantangan utama adalah memastikan bahwa uang yang berputar melalui sistem ini benar-benar mengalir ke sektor riil, bukan hanya berputar di sektor keuangan.
Acara “BI Sapa Akademisi” menunjukkan bahwa BI terbuka terhadap masukan dan menjaga komunikasi yang sehat dengan kalangan intelektual. Namun, perlu kita renungkan disini adalah sebesar apa pun cadangan devisa, secanggih apa pun sistem pembayaran, dan serapi apa pun indikator makro, tak akan berdampak signifikan jika uang dan kredit tidak mengalir ke dapur UMKM, ke sawah petani, ke mesin-mesin pabrik, atau ke gagasan wirausaha muda di pelosok negeri.
Sudah saatnya pemerintah dan BI bersama-sama mendorong “demokratisasi ekonomi riil”. Perlu ada insentif fiskal dan kebijakan sektoral yang selaras, sehingga strategi BI tidak berjalan sendiri. Perbankan pun perlu didorong untuk menjadi lebih berani dan progresif dalam membiayai sektor produktif.
Sebagai akademisi, kita memikul tanggung jawab untuk terus menyuarakan pentingnya arah kebijakan yang tidak hanya menjaga angka-angka, tapi juga menggugah realita rakyat. Kita butuh ekonomi yang bukan hanya tumbuh, tapi juga menghijau, menyembuhkan, dan memanusiakan. (*)