Kunjungan Presiden Macron dan Samarnya Isu Keberlanjutan
GH News May 31, 2025 11:03 PM

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Kunjungan kerja Presiden Perancis, Emmanuel Macron ke Indonesia pada 27-29 Mei 2025 telah usai. Kunjungan Macron tersebut sebagai bagian dari lawatan ke tiga negara di Asia Tenggara, yaitu Vietnam, Indonesia dan Singapura. 

Berbagai pemberitaan media massa menyoroti kerjasama di sektor pertahanan sebagai topik utama kunjungan Macron ke Indonesia. Hal tersebut tak lain karena pembelian Rafale, jet tempur canggih buatan Perancis pada rentang waktu 2022-2024 ketika Prabowo Subianto menjabat sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia. 

Tulisan ini tidak akan membahas soal kerjasama di bidang pertahanan, namun mencoba mendiskusikan beberapa hal menarik yang menjadi bumbu pada kedatangan Presiden Macron ke Indonesia. 

Salah satu yang menarik adalah letupan emosi warganet yang terjebak macet berjam-jam saat Macron tiba di Jakarta. Berbagai respons negatif dikemukakan warganet yang menuding Macron sebagai penyebab dari kemacetan pada Rabu (28/5/2025) sore hingga malam hari.  

Pada hari yang sama, Presiden Macron mengunggah swafotonya bersama beberapa anak sekolah di akun X (d.h. Twitter) miliknya. Tak ayal, unggahan foto tersebut dibanjiri balasan dari warganet yang melontarkan kekecewaannya kepada Macron sebagai penyebab kemacetan di Jalan Sudirman dan sekitarnya.

Momen lainnya yang mendapat sorotan tajam dari warganet adalah ketika kunjungan delegasi Presiden Macron bersama Presiden Prabowo ke situs Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. 

Pada beberapa foto yang diunggah ulang oleh warganet di platform X, nampak Presiden Prabowo, Presiden Macron, dan Brigitte Macron (istri Presiden Macron) mencoba menggapai arca di salah satu area Candi Borobudur. 

Selain itu, ada pula beberapa pejabat Indonesia yang tampak melakukan upaya yang sama untuk menggapai arca dengan tangan. Momen tersebut cukup disayangkan oleh beberapa warganet karena aktivitas untuk menaiki stupa dan menyentuh arca di dalamnya sudah sejak lama dilarang. 

Aturan tersebut tidak lain untuk menjaga kelestarian Candi Borobudur sebagai cagar budaya dan upaya penghormatan atas tempat ibadah umat Buddha tersebut. Larangan tersebut secara detail tertuang pada Pedoman Pemanfaatan Pariwisata Kawasan Candi Bobudur, Candi Mendut, dan Candi Pawon yang diterbitkan oleh Kemendikbud Ristek.

Dari kedua peristiwa yang mendapat perhatian warganet Indonesia tersebut, kita dapat melihat bahwa kedatangan kenegaraan Presiden Macron ke Indonesia belum menyentuh isu keberlanjutan dan perubahan iklim. 

Padahal pada Sabtu (5/4/2025), sekitar dua bulan sebelum lawatannya ke Indonesia, Presiden Macron mengunggah tulisan di akun X miliknya menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Perancis. 

Pada unggahannya tersebut, Presiden Macron menggarisbawahi kerjasama Perancis – Indonesia di bidang keamanan, inovasi, pertukaran budaya dan transisi energi. Namun nampaknya, kunjungan Macron ke Indonesia belum secara spesifik mempertegas bentuk kerjasama di sektor energi bersih dan isu keberlanjutan lainnya.

Padahal kita ketahui bersama, bahwa kota Paris, Perancis telah menjadi saksi perjanjian internasional berjudul Paris Agreement 2015 untuk mengatasi perubahan iklim global. Kita ingat juga di tahun 2017 ketika Presiden Macron mengucapkan slogan “Make Our Planet Great Again”, beberapa hari setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan keluarnya AS dari Paris Agreement. 

Sebagai negara yang aktif mendorong aksi iklim publik Indonesia berekspektasi Prancis dapat memberikan dukungan nyata bagi Indonesia, khususnya dalam bentuk pendanaan, transfer teknologi, dan kapasitas kelembagaan dalam berbagai inisiatif perubahan iklim. 

Samarnya topik krisis iklim, energi bersih, dan isu keberlanjutan lainnya pada kunjungan Presiden Macron ke Indonesia memang dapat ditelusuri dari beberapa hal. 

Pertama, Perancis memang bukan negara di Eropa yang berhasil menggunakan energi yang berasal dari alam seperti energi surya maupun hydropower. Penggunaan energi di Perancis memang sudah tidak didominasi oleh energi fosil, namun masih bergantung pada energi nuklir.

Kedua, sebelum kunjungan Presiden Macron ke Indonesia, pertemuan perdana Presiden Prabowo dengan Macron terjadi pada tahun 2022, ketika Prabowo masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Pertemuan tersebut lebih banyak membahas kerja sama pertahanan dan rencana pembelian jet tempur Rafale dan kapal selam Scorpene buatan Perancis. 

Sebenarnya, tipisnya isu keberlanjutan dan transisi energi untuk diangkat pada lawatan Presiden Macron ke Indonesia tidak akan dihiraukan oleh warga Indonesia jika momen kemacetan Jakarta dan menaiki stupa Candi Borobudur bisa dihindari. 

Apalagi jika mengingat, Indonesia masih belum dapat dikatakan berhasil dalam melakukan transisi energi karena sebagian besar pasokan listriknya masih dihasilkan dari batu bara. 

Penyediaan sarana transportasi publik di banyak kota besar Indonesia (selain Jakarta) masih jauh dari kata ideal. Begitupula dengan pengelolaan sampah perkotaan yang masih banyak menggunakan konsep open dumping.

Momen kunjungan kepala negara sahabat seharusnya menjadi cara Indonesia  menunjukkan komitmen nyatanya dalam merespons isu perubahan iklim secara serius. Apalagi Indonesia telah menargetkan Nationally Determined Contribution (NDC) terkait pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 41% di tahun 2030 dengan bantuan teknologi dan pendanaan internasional. Target tersebut akan semakin jauh panggang dari api jika upaya mendulang dukungan negara sahabat, salah satunya dari Perancis tidak dioptimalkan.

Alih-alih mendulang dukungan dari komunitas internasional, justru momen kemacetan Jakarta dan menaiki stupa Candi Borobudur pada lawatan Presiden Macron ke Indonesia, membuat masyarakat semakin ragu atas dedikasi bangsa ini untuk demi menjamin anak cucu kita dapat menikmati kekayaan alam Indonesia yang tetap hijau, udara yang bersih, dan sumber daya yang berkelanjutan di masa depan.

Seharusnya kunjungan Presiden Macron dapat bisa menjadi bukti konkret dari Perancis, agar kolaborasi Indonesia-Perancis benar-benar berdampak pada pembangunan berkelanjutan di Tanah Air. 

Dengan demikian, dukungan Perancis tidak hanya akan membantu Indonesia memenuhi Paris Agreement, tetapi juga memperkuat posisi kedua negara sebagai pemimpin iklim di kawasan masing-masing.

***

*) Oleh : Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.