TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa pemerintah wajib menggratiskan pendidikan dasar untuk jenjang SD dan SMP. Baik di sekolah negeri maupun swasta. Langkah besar ini merupakan semangat memperluas akses pendidikan.
Semangat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah mendapat dukungan kuat secara yuridis. Namun demikian, ada hal urgent yang perlu kita waspadai. Tentang munculnya mentalitas “lepas tangan” dari sebagian orang tua karena merasa tidak ikut membayar proses pendidikan anak.
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim, satu pesan penting bagi pencari ilmu. Bahwa ilmu itu tidak akan bertahan tanpa pengorbanan. Pengorbanan tidak selalu berupa waktu dan tenaga, tetapi juga biaya. Biaya bukan sekadar nominal uang yang dikeluarkan, tetapi adalah bentuk kesungguhan, cinta, dan tekad agar anak-anak memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Ketika semua dibuat gratis, ada kekhawatiran bahwa sebagian orang tua kehilangan rasa "memiliki" terhadap proses pendidikan anak. Akibatnya, jika anak malas, tidak sungguh-sungguh, atau bahkan gagal, tidak ada rasa rugi karena memang tak ada yang dikeluarkan secara nyata.
Peran orang tua dalam pendidikan tidak hanya soal uang. Lebih dari itu, kehadiran, perhatian, dan dukungan moral adalah bentuk investasi spiritual dan sosial. Pendidikan anak adalah amal jariyah. Pahala yang terus mengalir jika berhasil menanamkan ilmu, adab, dan akhlak mulia.
Sayangnya, narasi sekolah gratis kadang mengaburkan peran spiritual orang tua. Sebagian merasa cukup menyerahkan anak ke sekolah, lalu menyerahkan seluruh beban pendidikan kepada negara.
Orang tua perlu kembali menyadari bahwa kontribusi dalam pendidikan tidak berhenti meskipun biaya sekolah dihapuskan. Justru di sinilah tantangannya. Bagaimana tetap menjadi bagian penting dalam proses belajar anak, meski tak lagi diminta membayar SPP.
Perhatian di rumah, komunikasi dengan guru, pengawasan belajar, dan keteladanan di kehidupan sehari-hari adalah bentuk biaya “non-tunai” yang tak kalah penting.
Masyarakat juga perlu kita sadarkan bahwa pendidikan sejatinya adalah investasi jangka panjang. Dana yang orang tua keluarkan untuk les, buku tambahan, kegiatan ekstrakurikuler, atau bahkan hanya sekadar menemani anak belajar di rumah, adalah modal untuk keberhasilan mereka di masa depan. Ketika orang tua ikut berkorban, anak akan belajar menghargai perjuangan, menghormati proses, dan membentuk etos kerja yang tinggi.
Perhatian terhadap aspek pembiayaan dari pemerintah juga perlu ditingkatkan. Salah satu instrumen utama pembiayaan pendidikan di Indonesia adalah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Realitanya, banyak sekolah yang mengeluhkan bahwa dana BOS yang ada belum cukup untuk menutupi seluruh kebutuhan operasional, apalagi untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
Apabila negara berkomitmen untuk menjamin pendidikan gratis, maka sistem pendanaannya pun harus ditinjau ulang secara serius. Jangan sampai sekolah dituntut maksimal, tapi fasilitas dan pendukung operasional masih minimal.
Putusan MK tidak menjadi akhir dari tanggung jawab orang tua. Ia menjadi awal untuk melibatkan diri lebih dalam tentang pendidikan anak. Jika sekolah gratis, maka peran orang tua dalam mendidik harus lebih terasa. Jangan sampai kebijakan mulia ini malah membentuk generasi yang kurang bersungguh-sungguh, hanya karena merasa tak ada harga yang perlu dibayar.
Sekolah boleh gratis, tapi peran orang tua tak boleh ikut gratis. Ilmu tetap butuh pengorbanan, dan masa depan anak tetap membutuhkan keterlibatan penuh dari orang tua. Kita sadari peran orang tua dalam pendidikan anak sebagai amal jariyah.
Pendidikan bukan sekadar tanggung jawab negara, melainkan ladang pahala yang kita rawat bersama dengan cinta, doa, dan keteladanan. Karena ilmu tak pernah benar-benar gratis, mari besarkan dengan rasa penuh tanggung jawab. (*)
***
*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.