Mengakhiri ‘Zero Accident’: Bangun Budaya K3 yang Menyeluruh dan Holistik
Abdul Mukhlis June 06, 2025 09:40 PM
(Kata Kunci: Budaya K3, Zero Accident, Penyakit Akibat Kerja, Pelaporan Insiden, Kesehatan Kerja)
Penghargaan Zero Accident telah menjadi simbol keberhasilan implementasi sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia. Setiap tahunnya, perusahaan-perusahaan yang tidak mencatat kecelakaan kerja mendapatkan pengakuan dalam bentuk penghargaan. Tujuannya untuk mendorong budaya kerja aman.
Kebijakan ini justru menimbulkan konsekuensi yang kontraproduktif. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Prof. Yassierli (04/06/2025) secara tegas meminta agar kampanye tersebut dihentikan. Alasannya, merusak kultur pelaporan kejadian kecelakaan di dunia kerja. Jika terus dibiarkan, bisa memicu banyaknya kecelakaan kerja yang tidak terlaporkan dan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak.
Langkah Menaker ini menjadi titik balik penting untuk merefleksikan kembali paradigma budaya K3 di Indonesia. Kampanye yang sebelumnya dianggap sebagai indikator prestasi, kini dilihat justru mengandung risiko ‘moral hazard’.
Perusahaan sering kali lebih fokus menjaga citra agar memenuhi kriteria penghargaan daripada mendorong pelaporan insiden dan peningkatan sistemik. Akibatnya, banyak kecelakaan ringan atau kejadian ‘near miss’ yang semestinya menjadi pelajaran berharga dan pengingat sebagai potensi bahaya nyata yang luput dari pencatatan.
Keberhasilan budaya K3 seharusnya tidak diukur dari ketiadaan laporan nihilnya kecelakaan semata. Sistem yang baik adalah sistem yang mendorong pelaporan terbuka, melakukan koreksi, pembelajaran dan meningkatkan standar K3.
Oleh karena itu, Menurut Menaker, pendekatan yang lebih realistis seperti nihil kematian (zero fatality) dan nihil kehilangan waktu kerja (zero Lost Time Injury) dinilai lebih tepat sasaran, tanpa menekan pekerja dan manajemen untuk menyembunyikan fakta.
Meskipun maksudnya baik, penghargaan zero accident sering kali berujung pada praktik manipulasi data. Dalam banyak kasus, perusahaan menghindari pelaporan insiden kecil agar tetap memenuhi syarat penghargaan.
Akibatnya, data nasional tentang kecelakaan kerja menjadi bias dan tidak mencerminkan realitas di lapangan. Ketika data tidak mencerminkan kenyataan, maka kebijakan yang dirancang pemerintah pun menjadi tidak tepat sasaran.
Selain itu, pemberian penghargaan ini jarang diiringi audit menyeluruh terhadap sistem pelaporan internal perusahaan. Situasi ini menciptakan insentif yang keliru: perusahaan berlomba menjaga reputasi tanpa memperbaiki sistem.
Bahkan, dalam beberapa kasus, pekerja merasa enggan melaporkan insiden karena takut dianggap "merusak catatan perusahaan". Ini berbanding terbalik dengan prinsip budaya K3 yang sehat, yaitu mendorong transparansi, pembelajaran dari kesalahan, dan perbaikan berkelanjutan.
Dari Budaya Keselamatan ke Budaya K3
Konsep budaya keselamatan (safety culture) pertama kali mengemuka secara global pasca tragedi nuklir Chernobyl tahun 1986. Menurut laporan International Nuclear Safety Advisory Group (INSAG) dari International Atomic Energy Agency (IAEA), insiden tersebut bukan semata-mata akibat kegagalan teknis, tetapi juga karena lemahnya budaya keselamatan di tingkat organisasi. Sejak saat itu, konsep itu diartikan sebagai nilai, norma dan perilaku kolektif yang mendukung keselamatan kerja.
Namun, pendekatan ini dalam praktiknya terbatas pada aspek keselamatan fisik atau kecelakaan akut seperti luka akibat mesin atau jatuh dari ketinggian. Menurut estimasi International Labour Organization (ILO), Sebagian besar kematian terkait pekerjaan (2,6 juta atau 89 persen) disebabkan oleh penyakit akibat kerja, sementara kecelakaan kerja mengakibatkan 330.000 kematian (11 persen).
Penyakit utama yang menyebabkan kematian terkait pekerjaan adalah penyakit peredaran darah, neoplasma ganas, dan penyakit pernapasan (ketiganya berkontribusi terhadap hampir tiga perempat dari total kematian terkait pekerjaan).
Ini mencakup penyakit akibat paparan jangka panjang terhadap faktor risiko seperti bahan kimia, kebisingan, ergonomi buruk, bahkan stres kerja kronis yang berdampak pada kesehatan mental.
Seiring perkembangannya, muncullah pendekatan baru: safety and health culture. Pendekatan ini mengintegrasikan keselamatan dan kesehatan sebagai satu kesatuan tak terpisahkan tanpa ada dikotomi antara keduanya.
Menurut WHO dan ILO, budaya ini menekankan komitmen kolektif—baik dari manajemen maupun pekerja—untuk menciptakan tempat kerja yang aman secara fisik, mental, dan sosial.
Oleh karena itu, budaya pelaporan insiden, edukasi tentang risiko kesehatan jangka panjang, serta pelayanan kesehatan kerja harus menjadi bagian dari sistem K3 yang modern dan holistik.
Pada budaya K3, kita memberi ruang bagi sistem K3 yang lebih partisipatif, berbasis data yang akurat serta fokus pada pencegahan, edukasi dan kesejahteraan jangka panjang. Inilah makna sesungguhnya dari keselamatan dan kesehatan kerja: bukan sekadar tidak adanya kecelakaan, melainkan hadirnya keadilan, perlindungan, dan martabat bagi setiap pekerja.
Menata Ulang Indikator Keberhasilan K3
Ke depan, indikator keberhasilan K3 perlu ditata ulang. Alih-alih fokus pada zero accident, pendekatan yang lebih progresif adalah mengukur efektivitas sistem pelaporan, jumlah insiden yang berhasil dicegah, kualitas pelatihan, serta akses terhadap layanan kesehatan kerja.
Beberapa negara Skandinavia seperti Swedia dan Norwegia bahkan menjadikan tingginya pelaporan ‘near miss’ sebagai indikator sistem K3 yang baik. Alasannya, ketika pekerja merasa aman melaporkan potensi bahaya, maka organisasi telah berhasil menciptakan budaya kepercayaan dan pembelajaran.
Selain itu, negara-negara tersebut juga menerapkan prinsip Stop Work Authority (SWA), yaitu hak pekerja untuk menghentikan pekerjaan jika dirasa tidak aman tanpa takut mendapat sanksi. Pendekatan ini dinilai lebih bermakna daripada sekadar menekan angka kecelakaan di atas kertas.
Indonesia bisa belajar dari pendekatan ini. Dalam konteks global, publikasi WHO–ILO tahun 2022 berjudul Improving Workers' Health: Global Framework for Healthy Workplaces menyatakan bahwa pelibatan pekerja dalam proses K3 dan integrasi aspek fisik, psikososial, dan lingkungan kerja adalah fondasi dari tempat kerja sehat di abad ke-21.
Keputusan Menaker untuk menghentikan kampanye zero accident bukanlah bentuk pelemahan terhadap upaya keselamatan kerja. Sebaliknya, ini adalah langkah strategis untuk memperkuat budaya K3 yang lebih jujur, transparan, dan adaptif terhadap tantangan zaman. Budaya K3 bukan soal penghargaan simbolik, melainkan soal hak asasi pekerja atas lingkungan kerja yang aman dan sehat.