Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat, HIPMI: Perlu Pendekatan Berimbang dan Berkelanjutan
Acos Abdul Qodir June 09, 2025 01:31 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik mengenai aktivitas tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali menjadi perhatian publik. Isu ini menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan. 

Di tengah diskusi tersebut, sejumlah pelaku industri menilai bahwa sektor tambang tetap memiliki peran strategis dalam mendukung perekonomian nasional dan agenda transisi energi.

Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara (ASPEBINDO), Anggawira, menyampaikan bahwa industri tambang saat ini tidak bisa lagi dipandang sebagai aktivitas ekonomi tradisional.

Menurutnya, sektor ini telah menjadi bagian penting dari rantai pasok global.

"Kita tidak sedang membicarakan tambang dalam konteks lama. Ini tentang nikel dan tembaga sebagai kunci baterai, kendaraan listrik, energi bersih, dan digitalisasi global. Tanpa kontribusi Indonesia, dunia akan kesulitan," ujar Anggawira dalam keterangannya, MInggu (8/6/2025).

Sektor tambang diketahui menyumbang sekitar 6–7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Industri ini juga menciptakan lapangan kerja, menyumbang pendapatan negara bukan pajak (PNBP), dan royalti yang terus meningkat. Pemerintah telah memperkuat kerangka regulasi melalui UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, untuk mendorong hilirisasi serta pengawasan lingkungan yang lebih ketat.

Meski demikian, Anggawira menilai bahwa tantangan utama terletak pada penegakan hukum dan konsistensi pelaksanaan kebijakan.

"Kita butuh tambang yang legal, berkelanjutan, dan modern. Pemerintah harus tegas menindak pelanggaran, tapi juga melindungi dan memberi insentif bagi perusahaan patuh hukum," katanya.

Anggawira mencontohkan beberapa perusahaan nasional yang telah menerapkan praktik pertambangan berkelanjutan. Di antaranya adalah:

- PT Bumi Resources Tbk (BUMI), melalui Kaltim Prima Coal dan Arutmin, aktif melakukan reklamasi dan konservasi keanekaragaman hayati.

- PT Merdeka Copper Gold Tbk mengelola tambang emas dan tembaga dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat dan transparansi operasional.

- PT Vale Indonesia melakukan revegetasi lahan pascatambang dan pembangunan smelter nikel.

- PT Freeport Indonesia mengembangkan tambang bawah tanah dan fasilitas pengolahan di Gresik.

- PT Bukit Asam (PTBA) mengonversi bekas tambang menjadi kawasan ekowisata dan pertanian produktif.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, lebih dari 30 perusahaan tambang memperoleh penghargaan PROPER Hijau dan Emas pada tahun 2023 atas komitmen mereka terhadap lingkungan.

Anggawira mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam menyikapi informasi publik yang berkembang, khususnya yang berkaitan dengan industri tambang nasional.

"Framing negatif terhadap tambang nasional bisa menggerus citra investasi, daya saing, dan stabilitas kebijakan hilirisasi. Kita tidak boleh membiarkan narasi eksternal menggiring opini publik secara tidak berimbang," ujarnya.

Ia menekankan pentingnya kedaulatan narasi dalam pengelolaan sumber daya alam.

“Jangan sampai kita dikendalikan opini luar, sementara mereka di negaranya sendiri menjalankan praktik tambang yang jauh dari prinsip keberlanjutan,” tutupnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.