Ancaman Ekologis Raja Ampat di Balik Transisi Energi Global
Irene Kusuma Palmarani June 09, 2025 06:05 PM

Kendaraan listrik meluncur tanpa emisi tanpa polusi, dilabeli sebagai penyelamat bumi untuk masa depan ramah lingkungan. Permintaan dunia atas baterai kendaraan listrik (EV) meningkat sehingga memerlukan sumber mineral nikel yang jumlahnya semakin banyak. Namun di balik ini semua, tagar #SaveRajaAmpat menjadi populer terkait dengan dorongan untuk menghentikan kegiatan tambang nikel yang dinilai merusak bentang alam Papua. Transisi energi yang katanya menyelamatkan iklim, justru menjadi pembuka permasalahan ekologis baru. Pertanyaannya, transisi ini untuk menyelematkan dan mengorbankan siapa?

Janji Hijau yang Semu
Indonesia menjadi salah satu kunci utama dalam transisi energi global. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia sehingga diposisikan sebagai lumbung bahan baku baterai kendaraan listrik (EV). Pemerintah pun menyambut baik hal tersebut dengan memberikan akses dari pembangunan smelter, kawasan industri hijau, hingga pemberian insentif kepada produsen mobil listrik global.
Namun demikian, ekspansi tambang nikel di Raja Ampat meningkat drastis dalam lima tahun terakhir. Tercatat adanya penambahan area hingga 494 hektare, tiga kali lipat dibanding periode sebelumnya. Total izin perusahaan kini mencapai lebih dari 22.420 hektare, sebagian besar berada di pulau Gag, sebuah pulau kecil yang menjadi bagian dari Kepulauan Raja Ampat.
Beberapa perusahaan yang beroperasi di sana mengklaim telah memenuhi ketentuan hukum dan menjalankan pengelolaan lingkungan secara bertanggungjawab. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan sebaliknya. Sedimentasi dari tambang telah mencemari pesisir, menutupi terumbu karang, menghalangi sinar matahari, dan mengganggu proses fotosintesis organisme laut. Terumbu bisa mati, air mengeruh, dan biota menghilang.
Bagi masyarakat setempat yang hidup dari laut, baik sebagai nelayan maupun pelaku wisata, menyadari bahwa kerusakan ini adalah sebuah bencana. Tidak hanya secara ekologis, namun juga secara ekonomi bahkan spiritual. Laut yang dulu mereka jaga kini menjadi kolam limbah industri. Kondisi ini banyak diabadikan oleh berbagai pihak dan disebarluaskan di media massa sehingga seluruh dunia dapat melihatnya.
Gagalnya Penerapan Prinsip ESG
Sementara itu, perusahaan tambang mengklaim telah menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Kerangka ini harusnya dapat memberikan jaminan berkelanjutan transisi hijau jika diterapkan dengan baik. Namun, klaim ini hanya menjadi topeng di balik ekspansi besar-besaran yang mereka lakukan.
Sedimentasi, deforestasi, dan kontaminasi logam berat telah menjadi ancaman serius terhadap kondisi lingkungan. Laporan dari Greenpeace menunjukkan adanya terumbu karang yang rusak dan keruhnya laut hingga radius yang luas. Aktivitas reklamasi pun lambat, tercatat hanya 59 hektare yang direklamasi per April 2024 dari 263 hektare lahan terbuka.
Penolakan dari masyarakat setempat, misalnya masyarakat adat Suku Kawei yang merasa tidak pernah dilibatkan secara utuh sejak tambang dibuka, menjadi bentuk kegagalan aspek sosial. Mereka menuntut royalti adat atas eksploitasi yang telah berlangsung sejak 2018. Di pulau Batan Pelei dan Waigeo Barat, masyarakat sampai memasang baliho besar bertuliskan: “Menolak Keras Aktvitas Tambang… Meninggalkan Air Mata Bagi Anak Cucu Kita”. Mereka merasa menjadi tamu di tanah sendiri dan menuntut adanya partisipasi yang bermakna walaupun perusahaan menyatakan adanya program pemberdayaan melalui pelatihan kerja, penyerapan tenaga lokal, hingga akses BPJS.
Dalam aspek tata kelola, izin tambang terus dikeluarkan oleh pemerintah bahkan setelah Mahkamah Konstitusi menetapkan perlindungan terhadap pulau-pulau kecil dari aktivitas ekstraktif. Tidak ada audit independen atas dampak lingkungan yang terbuka ke publik, sementara pemerintah cenderung memihak investasi. ESG di sini bukan lagi menjadi komitmen, namun sekadar laporan belaka.
Hijau di Utara, Gersang di Selatan
Kendaraan Listrik dari Eropa dan Amerika dinilai sebagai inovasi baru ekonomi hijau. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa dibalik tiap baterai EV yang digunakan pada kendaraan listrik, ada nikel yang digali dari tanah-tanah negara Selatan, termasuk tanah di Indonesia Timur. Di satu sisi, negara-negara Utara bangga dengan penurunan emisi mereka. Tapi di sisi lain, wilayah-wilayah penghasil tambang justru menghadapi deforestasi, pencemaran air, dan konflik sosial.
Misalnya pulau Gag, disinyalir memiliki cadangan besar sekitar 240 juta ton bijih dengan kadar nikel 1,35% (sekitar 3,24 juta ton logam nikel). Nikel inilah yang digunakan untuk membuat stainless steel dan baterai EV. Dengan demikian, Raja Ampat yang dulu dikenal sebagai surga laut dan tujuan ekowisata dunia, kini telah menjadi zona ekstraktif global.
Inilah sebuah fenomena dari transisi energi saat ini. Negara-negara Utara sebagai negara maju, tampil hijau. Sementara sumber bahan bakunya merusak ekologi negara Selatan, terutama di wilayah konservasi dan mengabaikan komunitas adat. Hijau di Utara, namun gersang di Selatan. Jika hal ini terus dibiarkan, maka kita sedang mengalami bentuk ketidakadilan yang baru.
Jalan Tengah Transisi yang Adil dan ESG yang Bertanggungjawab
Jalan keluar bukan berarti menghentikan transisi energi, namun memastikan praktik dan inovasinya tidak merugikan. Oleh karenanya, masih ada ruang untuk memperbaiki arah. Kita tidak menolak transisi energi, tetapi harus menuntut agar bisa dijalankan secara adil, transparan, dan tetap menjaga ekologi.
Pertama, moratorium tambang di kawasan pulau kecil dan wilayah konservasi harus ditegakkan. Bukan sekedar penundaan maupun penghentian sementara, namun moratorium penuh hingga evaluasi secara menyeluruh dapat dilakukan. Hasil evaluasinya juga perlu disampaikan tidak hanya ke sektor terkait, namun juga kepada publik dan masyarakat setempat.
Kedua, ESG harus dijalankan dengan akuntabilitas yang kuat. Audit lingkungan dan sosial harus dilakukan secara independen dan terbuka kepada publik. Perusahaan wajib melibatkan masyarakat adat dalam mengambil keputusan. Skema royalti dan kompensasi juga perlu dibuat lebih transparan dan partisipatif.
Ketiga, kita harus mulai menyusun strategi transisi energi yang inklusif. Tidak cukup menghitung pengurangan emisi, namun juga menghitung siapa yang menjadi korban, apa yang hilang, dan bagaimana pemulihannya dilakukan. Transisi energi harus adil secara ekologis dan sosial.
Raja Ampat bukan hanya tentang bentang alam cantik yang tampak di brosur wisata. Ia adalah rumah bagi masyarakat adat dan ribuan spesies laut. Jika kita mengizinkan tempat seperti ini dirusak atas nama pembangunan, maka secara tidak langsung kita sedang merusak sumber daya. Transisi hijau yang sesungguhnya adalah yang tidak mengorbankan siapapun dan apapun, melindungi semua langit, tanah, laut, dan manusia. Tidak hanya menjanjikan udara bersih di perkotaan, namun juga memperhatikan mereka yang tinggal di tepi laut, menjaga hutan, dan hidup berdampingan dengan alam.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.