Racun yang Dianggap Hiburan : Ancaman Diam-Diam bagi Anak
ODJIE SAMROJI June 09, 2025 06:05 PM
Di tengah hiruk-pikuk perkembangan teknologi dan dunia digital, kita dihadapkan pada satu kenyataan yang tak bisa diabaikan: anak-anak kita tumbuh dalam dunia yang jauh berbeda dari masa kecil kita dulu. Jika dahulu sumber belajar dan hiburan terbatas pada buku dan televisi yang disiarkan terbatas waktu, kini anak-anak dan remaja bisa mengakses jutaan konten dalam hitungan detik—hanya dengan sekali geser layar. Sayangnya, tidak semua konten itu mendidik. Banyak di antaranya justru menjadi racun senyap yang menggerogoti kesehatan mental dan karakter mereka.
Fenomena konten negatif di media sosial kini menjadi masalah serius yang mengancam masa depan generasi muda. Siswa—yang seharusnya tumbuh dalam lingkungan yang mendorong tumbuh kembang psikologis, sosial, dan spiritual yang sehat—justru terpapar berbagai konten yang penuh kekerasan, kebohongan, pornografi, pamer harta, perilaku tidak etis, bahkan glorifikasi kejahatan dan kekacauan. Mereka menyerap informasi itu seperti spons, tanpa filter, tanpa pembimbing yang memadai, lalu mempraktikkannya secara membabi buta karena merasa itu keren, normal, bahkan patut ditiru.
Sudah terlalu banyak kasus yang menjadi bukti. Seorang anak meniru aksi berbahaya dari tantangan viral di TikTok lalu terluka parah. Siswa SMP melakukan perundungan terhadap temannya dan mengunggahnya sebagai “konten lucu” demi mendapatkan likes. Remaja perempuan mengalami gangguan makan karena terus merasa tubuhnya tidak ideal setelah membandingkan diri dengan influencer yang menampilkan kesempurnaan semu. Bahkan, ada siswa yang kehilangan semangat hidup, merasa hidupnya tak berharga karena tak “sebeken” teman-temannya di media sosial.
Hal yang menyedihkan adalah bahwa media sosial, dengan segala pengaruhnya, kini telah menjadi guru tanpa wajah. Ia tidak pernah marah jika muridnya melakukan kesalahan. Ia tidak pernah peduli apakah yang ditanamnya akan tumbuh sebagai bunga atau duri. Sementara itu, para orang tua dan guru yang seharusnya menjadi pembimbing utama, sering kali tertinggal dalam hal penguasaan teknologi, atau bahkan tidak sadar bahwa anak-anaknya sedang belajar—dari sumber yang sama sekali tidak bertanggung jawab.
Ini bukan lagi soal anak bermain media sosial terlalu lama. Ini adalah soal arah hidup yang sedang dibentuk secara halus dan terus-menerus oleh dunia maya. Seorang anak yang setiap hari disuguhi kekerasan verbal akan menganggap kata kasar sebagai hal biasa. Anak yang terbiasa menonton pamer harta akan mengukur nilai dirinya dari jumlah barang yang ia miliki. Anak yang terus melihat tubuh ideal versi media akan merasa dirinya tak pantas dihargai jika tak sesuai standar. Inilah bentuk kekerasan mental yang nyaris tak terlihat, tapi menghantam keras dari dalam.
Sebagian pihak mungkin akan berkata, “Bukankah itu tugas orang tua?” Tentu saja. Tapi kita hidup di tengah ekosistem sosial. Jika anak-anak kita terluka karena konten yang disebarkan bebas oleh sistem yang lebih besar, maka itu menjadi tanggung jawab kolektif. Sekolah harus berperan aktif, bukan hanya dalam mendidik akademik, tetapi juga membentuk karakter digital siswa. Pemerintah dan penyedia platform digital harus membuat kebijakan yang berpihak pada perlindungan anak, bukan sekadar mengejar engagement. Dan tentu saja, orang tua perlu lebih hadir secara emosional, bukan hanya secara fisik.
Anak-anak zaman sekarang tidak kekurangan akses, tapi kekurangan arahan. Mereka tidak kekurangan tontonan, tapi kekurangan tuntunan. Mereka tak butuh larangan tanpa penjelasan, tapi mereka butuh bimbingan yang masuk akal dan menyentuh hati. Dunia tidak bisa disterilkan dari konten negatif, tapi anak bisa dibekali daya tahan dan kebijaksanaan agar tidak mudah terseret arus.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan, "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak punya ilmu tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan dimintai pertanggungjawaban” (QS. Al-Isra: 36).
Ayat ini adalah panggilan bagi kita semua—baik sebagai orang tua, guru, pembuat kebijakan, bahkan sebagai pengguna media sosial—untuk bertanya: apakah kita sudah bertanggung jawab terhadap apa yang kita lihat, kita tonton, dan kita bagikan?
Kini saatnya semua pihak berhenti bersikap netral terhadap konten berbahaya di dunia digital. Karena ketika kita diam, maka algoritma akan mengambil alih pendidikan anak-anak kita. Dan percayalah, algoritma tidak punya nurani.