Puncak ibadah haji telah terlewati. Seluruh jamaah kini telah menyandang gelar haji, menyelesaikan rukun Islam kelima dengan penuh haru dan kebanggaan. Tentu kita semua berdoa mereka yang berhaji tahun ini menjadi haji yang mabrur.
Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, kita kembali menyaksikan melalui berbagai tayangan dan keluhan di berbagai akun sosial media masalah klasik yang terulang: keterlambatan bahkan ketiadaan transportasi, pemondokan yang tidak representatif, tenda di Arafah-Muzdalifah-Mina (Armina) yang tidak memadai bahkan tidak bisa lagi menampung jamaah, hingga distribusi makanan (katering) yang terlambat hingga tak layak makan.
Tahun haji 2025 diterapkan sistem baru multisyarikah yang menyebabkan jamaah banyak yang terpisah dari rombongan dan keluarga dalam satu kloter. Di luar sistem baru ini, banyak syarikah yang gagap dan tidak perform dalam pelayanan kepada jamaah. Yang juga jadi masalah soal adaptasi aplikasi nusuk terutama bagi jamaah yang gagap teknologi.
Mengelola jutaan manusia dari berbagai negara dalam satu waktu memang tantangan luar biasa. Penumpukan dan ketidaksempurnaan nyaris tak terelakkan. Namun, bukan berarti kita harus menormalisasi stagnasi. Justru inilah saatnya melihat penyelenggaraan haji melalui lensa yang lebih sistematis: sebagai sebuah siklus manajemen.
Melihat Haji sebagai Sebuah Sistem
Dalam ilmu manajemen, setiap kegiatan besar yang berulang harus diletakkan dalam siklus yang berkesinambungan : perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan perbaikan (continuous improvement). Penyelenggaraan haji bukan sekadar ibadah massal, melainkan juga sebuah proyek manajerial tahunan yang kompleks dan multidimensi. Karena itu, seharusnya dikelola seperti layaknya manajemen proyek berskala besar.
Pemerintah selaku penanggung jawab penyelenggaraan ibadah haji tentu saja paham betul siklus penyelenggaraan ibadah haji dari persiapan hingga pelaksanaan. Tulisan ini memberikan perspektif manajamen dalam pengelolaan ibadah haji agar semakin baik ke depannya.
1. Perencanaan (Planning)
Perencanaan haji idealnya dimulai bahkan sebelum musim haji sebelumnya berakhir. Ini bukan sekadar menetapkan jumlah kuota, tetapi juga menyusun data demografi calon jamaah (termasuk kebutuhan khususnya), menjalin koordinasi dengan otoritas Arab Saudi, serta melakukan simulasi terhadap berbagai potensi risiko seperti distribusi pemondokan, tenda, rute transportasi, katering, dan skenario darurat lainnya.
Skenario darurat atau contingency plan harus ada di kepala penyelenggara dan petugasnya di lapangan. Penulis perlu menggarisbawahi poin ini karena faktanya terlalu banyak perencanaan penyelenggaraan haji yang berjalan di luar skenario di lapangan dan itu berulang setiap tahun.
Kita sangat berharap perencanaan penyelenggaraan haji tidak didominasi hal-hal yang bersifat administratif, tapi strategis; mendorong semua kebijakan berbasis data serta menjadikan semua masalah masa lalu dan pengalaman langsung sebagai referensi utama dalam menyusun strategi ke depan.
2. Pelaksanaan (Implementation)
Di tahap ini, sinergi antar-lembaga menjadi sangat krusial, baik lembaga di dalam negeri maupun (yang juga sangat krusial) dengan lembaga dan pihak-pihak di Arab Saudi terutama pihak syarikah yang diberikan tanggung jawab mengelola jamaah setiap negara.
Namun masalah sering kali muncul akibat ketidakterpaduan informasi, ego sektoral, dan ketidakmampuan penyelenggara kita dalam menekan pihak Arab Saudi cq syarikah. Jamaah menjadi korban ketika sistem informasi tidak jelas, sistem transportasi tidak saling terintegrasi, atau ketika penempatan penginapan jamaah dan tenda tidak mempertimbangkan kondisi riil, usia, fisik, dan kebutuhan jamaah.
Padahal, pelaksanaan penyelenggaraan haji harus didasarkan pada standar pelayanan minimum (SPM) yang konsisten dan terukur, dengan indikator kinerja utama (KPI) yang bisa dievaluasi secara objektif. Poin ini yang menurut hemat penulis tidak sepenuhnya menjadi rujukan terutama oleh pihak syarikah di Arab Saudi.
3. Evaluasi (Monitoring & Evaluation)
Setiap tahun, Kementerian Agama, wakil rakyat di DPR dan lembaga terkait memang melakukan evaluasi. Kita berharap proses ini melibatkan perspektif jamaah secara menyeluruh. Stop evaluasi yang cenderung birokratis dan tidak menimbulkan tekanan untuk berubah secara signifikan. Ambil contoh sikap tegas pemerintah kepada syarikah yang tidak perform, maka selayaknya masuk daftar hitam untuk tidak digunakan kembali pada musim haji berikutnya.
Permohonan maaf dari penyelenggara bagus, tapi tanggung jawab evaluasi harus jelas, strategis, dan on poin dalam memperbaiki kualitas penyelenggaraan haji di tahun-tahun berikutnya. Di sinilah titik kritis untuk mencegah pengulangan masalah yang sama.
4. Perbaikan (Improvement)
Inilah tahap yang paling krusial namun seringkali paling lemah dengan berbagai alasan dan keterbatasan. Rekomendasi jangan hanya berhenti di meja rapat atau berhenti di pihak Indonesia, sebaliknya harus menjadi kebijakan sistemik harus dipahamkan dan dipastikan untuk diimplementasikan oleh pihak Arab Saudi.
Penyelenggaraan haji ini siklus. Harus ada kepastian perbaikan yang bekesinambungan sehingga jangan sampai kita kembali ke masalah yang sama pada musim haji berikutnya. Perbaikan tidak cukup dilakukan dengan niat baik, tetapi harus ditopang dengan sistem manajemen berbasis data, transparansi, dan akuntabilitas.
Menuju Transformasi Pengelolaan dan Layanan Haji
Sudah waktunya kita mengubah paradigma dari “menyelenggarakan” haji menjadi “mengelola” haji. Bukan hanya soal keberangkatan dan pemulangan, tetapi bagaimana seluruh proses menjadi sistematis, terukur, dan terus ditingkatkan. Mengelola haji berarti membangun ekosistem layanan berbasis kebutuhan jamaah, bukan hanya aturan birokrasi. Di sinilah urgensi kementerian khusus haji dan umrah untuk memperkuat pengelolaan dan pelayanan haji.
Dengan meletakkan penyelenggaraan haji sebagai siklus manajemen, kita tidak hanya membenahi teknis layanan, tapi juga menjaga marwah ibadah ini agar sesuai dengan semangat kesempurnaan yang diajarkan Islam. Karena haji bukan sekadar ibadah personal, tapi juga cermin kapasitas negara dalam melayani rakyatnya dalam momen paling sakral.