Menyelamatkan Raja Ampat: Surat Terbuka atas Ancaman Tambang
GH News June 11, 2025 10:03 AM
-

Penolakan tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya, semakin disuarakan banyak pihak. Penolakan datang dari aktivis, pelaku usaha wisata, sampai akademisi.

Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, merespons pernyataan pemerintah tentang pencabutan empat dari lima izin usaha pertambangan (IUP) yang aktif di Raja Ampat, Papua, yakni PT Kawei Sejahtera Mining (Pulau Kawe), PT Anugerah Surya Pratama (Pulau Manuran), PT Mulia Raymond Perkasa (Pulau Manyaifun dan Batang Pele), dan PT Nurham (Pulau Waigeo).

Pencabutan empat IUP ini menjadi setitik kabar baik dan salah satu langkah penting menuju perlindungan Raja Ampat secara penuh dan permanen dari industri nikel yang mengancam lingkungan hidup dan ruang-ruang hidup masyarakat. Berbagai elemen masyarakat di Raja Ampat, termasuk masyarakat adat dan komunitas lokal yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat, sudah bersuara dan berjuang mempertahankan Raja Ampat dari ancaman tambang nikel.

"Greenpeace Indonesia mengapresiasi keputusan ini, tetapi kami menunggu surat keputusan resmi dari pemerintah yang bisa dilihat secara terbuka oleh publik. Kami juga tetap menuntut perlindungan penuh dan permanen untuk seluruh ekosistem Raja Ampat, dengan pencabutan semua izin pertambangan yang aktif maupun yang tidak aktif. Terlebih ada preseden bahwa izin-izin yang sudah pernah dicabut lantas diterbitkan kembali, termasuk di Raja Ampat, karena adanya gugatan dari perusahaan," ujarnya.

Sementara Ketua Umum DPP ASITA (Association of The Indonesian Trous & Travel Agencies) Nunung Rusmiati menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto.

Sebagai organisasi nasional yang menaungi pelaku industri perjalanan wisata di seluruh Indonesia, ASITA menyampaikan keprihatinan mendalam atas aktivitas pertambangan nikel yang semakin masif di wilayah Raja Ampat, khususnya di Pulau Kawe, Pulau Gag, dan Pulau Manuran, Papua Barat Daya.

Ya, Raja Ampat merupakan kawasan yang diakui dunia sebagai pusat biodiversitas laut global dan telah ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO. Kawasan itu juga merupakan bagian dari Jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang memiliki peran penting dalam pelestarian ekosistem laut Indonesia.

"Aktivitas pertambangan ini bertentangan langsung dengan prinsip pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism), dan menimbulkan pertanyaan serius terhadap legitimasi retribusi konservasi yang selama ini dibebankan kepada wisatawan. Apalagi, kawasan-kawasan yang terkena dampak tambang seperti Batang Pele dan Manyaifun adalah jalur utama wisatawan menuju ikon Raja Ampat seperti Wayag," ujar Nunung.

Sebagai tambahan, menurut Nunung, wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat diwajibkan mematuhi aturan konservasi dan membayar retribusi konservasi kepada:

  • Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang
  • BLUD UPTD KKP Raja Ampat
  • UPTD Destinasi Wisata Kabupaten Raja Ampat

"Kehadiran aktivitas tambang di kawasan konservasi ini merusak kepercayaan publik atas sistem pelestarian yang seharusnya dijaga bersama," ujarnya.

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Prof. Azril Azhari mengatakan bahwa pertambangan dan pariwisata tidak akan pernah bisa bergandengan tangan. Ia jelas menyebutnya 'tidak mungkin'.

"Perlindungan pulau-pulau kecil ini sudah disahkan dalam UU No. 1 Tahun 2014 dan Mahkamah Konstitusi. Keputusan ini kok malah dilanggar oleh menteri," kata dia.

"Di dalam UU sudah dijelaskan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir Pulau Pulau Kecil (PWP3K) itu tidak boleh ada penambangan. Pulau Gag itu hanya sekitar 60 km², sesuai dengan definisi dari undang-undang. Raja Ampat itu Geopark Global, artinya semua kawasan Raja Ampat masuk dalam perlindungan," kata dia.

Dalam UU No. 1 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 secara jelas melarang aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil. Pulau kecil itu didefinisikan sebagai pulau dengan luas kurang dari 2.000 km persegi.

Selain itu, ada Perpres No 81 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Raja Ampat yang tidak menyebutkan area pertambangan. Begitu pula dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) wilayah perencanaan kawasan perkotaan Waisai untuk periode 2022-2042. Peraturan itu menekankan pengembangan pariwisata dan pertanian berkelanjutan, bukan pertambangan.





© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.