TIMESINDONESIA, JAKARTA – "Setiap lemparan batu di Jamarat bukan hanya soal mengikuti jejak Nabi Ibrahim, tapi juga tentang menyingkirkan sisi-sisi gelap dalam diri yang terlalu lama kita pelihara. Dalam lautan manusia yang bertakbir dan berjalan dalam irama yang sama, kita diajak merenungi: apakah benar kita sedang melempar setan, atau justru sedang menyembunyikannya di balik pakaian ihram? Makna terdalam dari ibadah haji-melewati batas simbolik menuju kejujuran batin-sembari mengajak kita pulang, bukan sekadar ke rumah, tapi ke hati yang lebih bersih dan Tuhan yang lebih dekat".
Baru kemarin saya bersama jutaan kaki lain menapaki tanah wukuf yang sunyi. Arafah, Muzdalifah, lalu Mina-rangkaian nama yang tak hanya menyusun geografi ibadah, tapi juga membongkar lanskap batin.
Di Mina, kami melempar. Tapi tidak sembarang lempar: ini bukan lemparan batu ke tiang, melainkan lemparan ke dalam diri. Melempar hal-hal yang terlalu lama kita pelihara: kesombongan, ambisi, amarah, dan ego yang enggan diajak damai.
Di Jamarat, jutaan manusia dari segala rupa dan rupa-rupa berjalan berdampingan. Tidak ada yang ditanya ijazah, tidak ada yang ditanya saldo. Semua adalah jemaah. Semua setara dalam haus, letih, dan niat baik-setidaknya begitu harapannya.
Tiga tiang jumrah menjadi saksi dari peristiwa yang mengulang-ulang: Ibrahim melawan setan yang menggoda agar jangan menyerahkan Ismail. Tapi ini bukan sekadar kisah legenda spiritual. Ini adalah simbol dari perjuangan melawan diri sendiri-diri yang sering lebih licin dari ular dan lebih galak dari harimau. Kita melempar karena kita ingin sembuh.
Di perjalanan itu saya pernah berseloroh, “Yang paling saya takutkan di haji ini adalah melempar jumrah.” Teman saya menyambar dengan wajah lelah, “Takut dilempar balik? Sesama setan dilarang saling melempar.” Kami tertawa. Tapi seperti semua tawa yang jujur, ada cemas yang mengintip di baliknya.
Sebab kadang kita tidak tahu, apakah kita melempar setan atau justru sedang melempar bagian dari diri yang selama ini kita rawat diam-diam-sifat buruk yang kita beri parfum dan kita tampilkan dalam kemasan motivasi: ambisi disulap jadi visi, kesombongan dipoles jadi percaya diri.
Teringat kisah Ali Ibn Muwaffaq, tukang sol sepatu dari gang-gang sempit yang bau lem dari Damaskus. Lelaki ini tak punya nasib besar untuk mencium Hajar Aswad, apalagi mengitari Ka'bah tujuh kali dengan pakaian ihram dan air mata tumpah ruah.
Tapi ia punya yang tak semua peziarah punya: hati yang jujur seperti mata pisau tajam yang sudah lama tak dicuci, dan niat yang tak perlu dikoreksi malaikat. Ia membantu seorang janda dengan banyak anak, ia rela mengorbankan impian berhajinya dan menyerahkan seluruh dananya untuk mereka.
Sembari menanam harap dalam diam bahwa semoga setiap keikhlasan membantu sesama mereka menjadi saksi diam cintanya pada Tuhan. Ia tak berangkat, dan takmengelilingi Ka'bah, tapi hatinya telah tawaf dalam kasih dan keikhlasan, hatinya sampai duluan.
Sementara itu, Rabiah al-Adawiyah, perempuan tipis tubuhnya tapi tebal rindu pada Tuhan, melemparkan doa yang bikin malaikat gelisah. Ia ingin menyembah bukan karena takut pada neraka-karena apa arti takut jika cinta sudah kadung membakar?
Ia tak mau pula menyembah demi sepetak surga, sebab baginya, cinta yang murni tak bisa digadaikan dengan imbalan, sekalipun itu taman kekal penuh bidadari.
“Jika aku menyembah karena surga, bakarlah surga itu,” katanya, seolah berkata kepada langit: "Aku hanya ingin Engkau, bukan dekorasi akhirat-Mu.”
Doa ini, dalam bahasa para pecinta, adalah pengakuan paling jujur: bahwa Tuhan bukan tujuan bertransaksi, melainkan rumah bagi kerinduan yang tak kenal kompensasi.
Namun entah kenapa, setelah semua ini selesai, ketika pulang ke tanah air, ada sesuatu yang kadang terasa janggal. Seseorang pulang haji, lalu namanya berubah. Dulu cukup dipanggil "Abdul", kini harus lengkap: “Haji Abdul.”
Kalau ada yang memanggil hanya dengan namanya, ia tak menoleh. Tapi begitu dipanggil "Haji Abdul", ia langsung menoleh dan tersenyum. Seolah-olah "Haji" itu bukan sekadar status spiritual, tapi jabatan resmi, atau bahkan hak paten.
Saya pernah melihat seorang kawan mencetak ulang kartu namanya hanya untuk menambahkan "H." di depan. Bahkan di WhatsApp grup keluarga, kini profilnya berganti: “H. Abdul bin Fulan.” Sementara di Instagram, foto profil berubah jadi dirinya di depan Ka’bah, dengan caption ayat dan emotikon pesawat.
Padahal, haji-seperti sholat, zakat, dan puasa-adalah ibadah yang tidak butuh diumumkan. Ia cukup menjadi percakapan antara kita dan Tuhan. Ia bukan untuk dipamerkan, bukan pula untuk disematkan seperti pin nama di baju dinas. Haji, bila benar niat dan prosesnya, justru membuat orang semakin ringan, rendah hati, bukan makin tinggi hati.
Tapi begitulah manusia. Kadang setelah melempar jumrah, kita memungut lagi batu yang lain: batu pengakuan, batu status sosial baru, batu citra diri. Kita rela menempuh perjalanan fisik ribuan kilometer, tapi enggan menempuh satu langkah batin ke dalam diri.
Padahal Kanjeng Nabi pernah bersabda bahwa selepas perang badar, kita pulang bukan dengan selesainya ibadah jihad-perang kecil, tapi menuju jihad akbar—jihad melawan diri sendiri. Ini jihad yang tak punya ihram, tak ada tawafnya, tapi berlangsung seumur hidup. Jihad melawan lidah yang gatal menghina. Jihad melawan mata yang suka mencari cela. Jihad melawan hati yang ingin dipuja.
Di Jamarat, saya tidak sedang melempar batu. Saya sedang belajar menjadi manusia yang lebih ringan, lebih sederhana, lebih lapang, dan semoga, lebih dekat. Bahwa haji bukan pencapaian, tapi awal dari pekerjaan sunyi yang jauh lebih berat: menjadi hamba, sepenuhnya. Tanpa ingin dilihat, tanpa ingin dipuji, cukup untuk Tuhan-dan hanya untuk-Nya.
Dan mungkin itu makna terdalam dari lemparan jumrah. Bahwa dalam melempar, kita sedang meluruh. Dalam berjalan, kita sedang kembali. Haji bukan tentang oleh-oleh dari Madinah atau Mekkah. Bukan juga tentang gelang putih bertuliskan “Kloter 26”. Tapi tentang hati yang mau terus dibersihkan, bahkan setelah pulang.
Semoga, setelah semua lemparan itu, kita benar-benar pulang. Bukan hanya ke rumah. Tapi ke diri sendiri, ke Tuhan, ke cinta yang sunyi.
***
*) Oleh : Abdurrahman Wahid, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.