TIMESINDONESIA, BIMA – Setiap daerah memiliki cita-cita besar untuk membangun wilayahnya menuju kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Namun, di balik semangat itu, realitas keterbatasan anggaran menjadi tembok tinggi yang kerap menghalangi laju pembangunan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagai instrumen utama pendanaan pembangunan di daerah, sering kali tidak cukup untuk menjawab kompleksitas kebutuhan yang ada. Kondisi ini sangat terasa di banyak daerah, terutama yang memiliki kapasitas fiskal rendah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kecil, terbatasnya potensi investasi, serta ketergantungan pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat, membuat ruang fiskal pemerintah daerah menjadi sangat sempit.
Ironisnya, sebagian besar anggaran habis untuk belanja rutin seperti gaji pegawai dan operasional pemerintahan, sementara anggaran untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat sering kali harus dipangkas.
Padahal, keinginan untuk membangun daerah hampir selalu menjadi prioritas dalam visi-misi kepala daerah. Masyarakat juga menaruh harapan besar terhadap pemerintah daerah untuk memperbaiki jalan, membangun sekolah, menyediakan air bersih, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
Namun harapan tersebut tidak jarang berbenturan dengan kenyataan fiskal yang memaksa pemerintah daerah untuk menunda atau menyederhanakan program-program strategisnya.
Dalam situasi seperti ini, efisiensi dan inovasi menjadi keharusan. Pemerintah daerah harus mampu menetapkan skala prioritas yang tepat. Setiap rupiah dalam APBD harus digunakan secara efektif dan efisien untuk program yang memiliki dampak langsung dan luas bagi masyarakat.
Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran juga mutlak diperlukan agar tidak ada celah bagi pemborosan atau korupsi.
Lebih jauh lagi, pemerintah daerah perlu berani menggali potensi lokal untuk meningkatkan PAD secara mandiri. Sektor-sektor seperti pariwisata, ekonomi kreatif, pertanian berbasis teknologi, serta digitalisasi layanan publik harus dimaksimalkan.
Pendekatan kolaboratif dengan pihak swasta melalui skema public-private partnership (PPP) juga bisa menjadi solusi jangka menengah untuk membiayai pembangunan infrastruktur tanpa membebani APBD secara langsung.
Namun, tanggung jawab untuk menjembatani keterbatasan ini bukan hanya milik pemerintah daerah semata. Pemerintah pusat memiliki peran penting dalam mendorong keadilan fiskal antarwilayah.
Daerah yang memiliki semangat dan perencanaan pembangunan yang baik, tetapi kekurangan anggaran, harus mendapatkan afirmasi khusus dalam bentuk dana insentif, bantuan teknis, dan penguatan kapasitas sumber daya manusia.
Desentralisasi fiskal harus dibarengi dengan distribusi anggaran yang adil agar semangat otonomi daerah tidak berubah menjadi beban berat yang harus dipikul sendiri oleh daerah-daerah kecil.
Pembangunan tidak bisa hanya bertumpu pada semangat, tetapi juga memerlukan instrumen keuangan yang memadai. Namun dalam keterbatasan, selalu ada ruang untuk kreativitas, efisiensi, dan kolaborasi.
Ketika APBD terbatas, maka yang dibutuhkan bukan hanya uang, tetapi juga kecerdasan dalam mengelola, keberanian dalam berinovasi, dan komitmen kuat untuk terus membangun.
Pada akhir penulis inginkan mengatakan bahwa dalam keberhasilan pembangunan daerah tidak semata-mata ditentukan oleh besarnya anggaran, tetapi oleh sejauh mana anggaran tersebut dikelola dengan bijak, transparan, dan berpihak kepada rakyat.
Keterbatasan APBD memang nyata, tetapi keinginan untuk membangun harus tetap menyala, karena dari semangat itulah harapan rakyat kepada yang pemilik otoritas.
***
*) Oleh : Muhammad Fakhrur Rodzi, S.IP., M.IP., Lingkar Pinggir Bima.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.