Konflik Iran-Israel dan Kemerdekaan Palestina yang Terkaburkan Geopolitik
Dr Andree Armilis June 15, 2025 01:40 PM
Di balik dentuman rudal dan gemuruh pesawat tempur yang kini menggetarkan langit Iran dan Israel, dunia menyaksikan satu lagi babak kelam dari sejarah panjang perebutan kekuasaan di Timur Tengah. Serangan udara Israel ke situs-situs strategis Iran bukan hanya manifestasi dari konflik bilateral, melainkan puncak dari jaringan rivalitas ideologis, perebutan pengaruh strategis, dan pertembungan kepentingan kekuatan besar dunia.
Namun dalam segala gemuruh diplomasi dan narasi keamanan nasional, satu suara kembali tenggelam: suara Palestina.
Sejarah, Ideologi dan Realitas yang Terpecah
Dalam kacamata hubungan internasional, konflik Iran-Israel sering dipahami sebagai duel geopolitik dua kekuatan regional. Namun sejarah menunjukkan bahwa konflik ini bukan terjadi dalam kevakuman. Hubungan mereka bertransformasi seiring berputarnya poros kekuasaan: dari era keakraban sebelum Revolusi Iran 1979 hingga menjadi musuh ideologis pascarevolusi.
Iran pascarevolusi mendeklarasikan dirinya sebagai anti-imperialis, anti-Zionis, dan pendukung perjuangan Palestina. Sementara Israel, yang mendapat legitimasi kuat dari Barat, khususnya Amerika Serikat, memposisikan dirinya sebagai benteng demokrasi di Timur Tengah, meski sejak awal berdiri, tindakannya terhadap rakyat Palestina bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi universal.
Para konstruktivis melihat negara bukan hanya aktor rasional, tapi juga identitas—dibentuk oleh nilai, sejarah, dan narasi. Iran menjadikan Palestina sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi global dan identitas Syiah-nya sebagai alat konsolidasi dukungan regional.
Israel, di sisi lain, membangun identitasnya atas trauma kolektif Holocaust, namun memproyeksikan rasa takut itu ke dalam praktik kolonialisme dan militerisme terhadap rakyat Palestina. Pendekatan realisme internasional membenarkan aksi Israel sebagai “pembelaan diri”, namun mengabaikan struktur kekuasaan global yang selalu memihak sang penindas.
Timur Tengah sebagai Panggung Proxy
Dilihat dari perspektif global sociology, konflik ini bukan semata urusan lokal. Timur Tengah telah menjadi laboratorium konflik proksi, tempat kekuatan global menguji kekuatan, menjual senjata, dan memperluas pengaruh. Suriah, Lebanon, Irak, hingga Yaman—semua jadi bidak dalam permainan catur besar antara AS, Rusia, dan kini China.
Iran, meskipun sering menggunakan narasi kemerdekaan Palestina, juga tidak lepas dari kepentingan negara-bangsa yang terkadang pragmatis. Namun di tengah semua manuver itu, yang terus kehilangan tanah, suara, dan hak hidup adalah rakyat Palestina—yang hari ini dikepung di Gaza, dibungkam di Tepi Barat, dan dihapus dalam peta diplomasi regional.
Geopolitik Tanpa Kemanusiaan dan Palestina Yang Selalu Dikorbankan
Perbesar
Shattered Palestine's Flag; AI generated.
Serangan Israel ke Iran Juni 2025 disebut sebagai “tindakan preventif” untuk menggagalkan potensi nuklir. Namun narasi keamanan ini tak bisa dilepaskan dari konteks hegemoni: Israel satu-satunya negara bersenjata nuklir di kawasan, namun menolak transparansi dan menekan pihak lain agar tidak memiliki kemampuan yang sama.
Kekhawatiran atas "ancaman Iran" sering digunakan untuk mengalihkan perhatian dari kejahatan nyata yang terus berlangsung di Palestina: blokade Gaza yang membunuh perlahan, aneksasi tanah Tepi Barat, dan sistem apartheid yang diakui oleh berbagai organisasi hak asasi dunia.
Meminjam teori dependency dan world-systems, Palestina menjadi contoh klasik dari masyarakat yang terperangkap dalam struktur global yang timpang. Ia bukan hanya dijajah oleh Israel, tapi juga dilupakan oleh sistem internasional yang terlalu sibuk mengatur kepentingan keamanan dan aliansi strategis.
Ketika Israel membom Iran, perhatian global bergeser. Namun Palestina tetap menderita, tetap diblokade, tetap dijajah. Media dunia mengangkat ketegangan dua negara besar, namun kamera tak lagi menyorot anak-anak Gaza yang tak bisa tidur karena suara jet tempur, atau petani Hebron yang kehilangan ladang akibat perluasan permukiman.
Harapan dari Selatan Dunia
Gerakan solidaritas global harus kembali mengingatkan bahwa akar dari banyak konflik Timur Tengah bukanlah ideologi atau nuklir, tapi ketidakadilan yang tak pernah diselesaikan. Palestina adalah luka kolonialisme yang belum disembuhkan.
Dalam dunia yang diatur oleh hukum internasional, tetapi dijalankan oleh kekuasaan, kita harus bertanya: siapa yang benar-benar berhak menentukan siapa ancaman dan siapa korban?
Selama Palestina masih dijajah, dan penderitaan rakyatnya dijadikan alat tawar oleh para penguasa, konflik seperti Iran-Israel akan terus menjadi alat pengalih. Namun sejarah akan mencatat siapa yang diam, siapa yang membela, dan siapa yang memperjuangkan kemerdekaan bukan karena untung, tetapi karena benar.
Palestina merdeka adalah ujian nurani dunia. Dan kita, seluruh warga dunia, tengah diuji.