Ketegangan geopolitik yang meningkat tajam akibat konflik terbuka Iran dan Israel menambah tekanan terhadap perekonomian global, yang sebelumnya sudah tertekan oleh perlambatan ekonomi dan efek kebijakan tarif dari Amerika Serikat. Di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian itu, Kementerian Keuangan terus memantau dan menyesuaikan strategi fiskalnya.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu, menyampaikan salah satu dampak paling nyata dari konflik ini adalah pada harga komoditas serta dinamika pasar keuangan global.
“Sebenarnya kan terutama kalau kita lihat gejolaknya dampak langsungnya adalah ke harga komoditas. Dan juga bagaimana nanti itu mempengaruhi ketidakpastian pasar keuangan global,” kata Febrio di Kantor Pusat Kemenkeu, Selasa (17/6).
Menurutnya, meskipun ada gejolak dari konflik di Timur Tengah dan tekanan tarif dari AS, terdapat sinyal positif dari arah kebijakan global. Terutama meredanya ketegangan antara China dan Amerika Serikat.
Dia menyebut, kondisi pasar keuangan mulai menunjukkan perbaikan. Tercermin dari penurunan suku bunga dan kembalinya arus modal asing ke dalam negeri.
“Jadi itu bagus bagi kita bahwa dengan ini sudah mulai agak mereda, capital inflow mulai terjadi lagi. Dan biasanya yang menjadi penarik pertama itu adalah Surat Berharga Negara (SBN) ,” ungkap Febrio.
Ia menegaskan, kepercayaan investor terhadap SBN tetap tinggi karena disiplin fiskal yang konsisten dijaga pemerintah.
Namun, ia tidak menampik tekanan terhadap sektor riil sudah terlihat. Terutama sebagai imbas dari efek kebijakan tarif Presiden Trump terhadap produk ekspor manufaktur Indonesia, seperti tekstil dan alas kaki, yang padat karya.
“Makanya kalau Indonesia kita lihat yang sudah kita identifikasikan dampak dari Trump efek itu, Trump tarif itu adalah ke performance dari sektor manufaktur kita yang ekspornya ke Amerika. Dan kita tahu itu mayoritas adalah labor intensive yaitu tekstil dan sepatu,” ujarnya.
Menanggapi tekanan tersebut, pemerintah telah menggelontorkan stimulus senilai Rp 24,4 triliun untuk menopang sektor-sektor yang terdampak. Salah satu program utamanya adalah Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi lebih dari 14 juta pekerja.
“Makanya kita berikan BSU, Bantuan Subsidi Upah. Nah, itu menjangkau sekitar 14 juta lebih tenaga kerja di sektor tersebut. Yang kita harapkan memberikan ruang bernapas,” ujar Febrio.
Sementara itu, pemerintah juga sedang menyusun laporan semesteran fiskal yang akan disampaikan awal Juli kepada Badan Anggaran DPR. Dalam laporan tersebut, pemerintah berupaya merespons ketidakpastian global dengan menjaga fleksibilitas kebijakan.
“Makanya asumsinya kan kemarin sudah kita sampaikan dalam bentuk range. Dan teman-teman kan bisa melihat range-nya cukup lebar ya. Itu mencerminkan antisipasi kita terhadap ketidakpastian yang memang masih cukup tinggi,” katanya.
Ia menambahkan, proyeksi pertumbuhan global yang direvisi ke bawah oleh lembaga internasional seperti World Bank dan IMF menjadi sinyal penting bagi Indonesia untuk memperkuat resiliensi.
“Yang sudah di depan mata, kita melihat kemarin pelemahan global langsung diterjemahkan pada proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang turun. World Bank juga merevisi menjadi 2,3 persen itu juga cukup tajam. Indonesia ke 4,7 persen,” jelasnya.
Meski begitu, pemerintah tetap menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 5 persen. “Kita akan jaga masih tetap di sekitar 5 persen. Karena ini satu dalam jangka pendek kita harus jaga dan kita lihat persis sektor mana yang kena. Makanya kita buatkan desain stimulusnya, targetnya adalah sesuai dengan yang paling terdampak,” tegas Febrio.