Lindungi Anak dari Konsumsi Gula Berlebih MBDK, Orang Tua Harus Jadi Garda Terdepan
Wahyu Gilang Putranto June 18, 2025 01:31 AM

TRIBUNNEWS.COM - Orang tua dinilai menjadi garda terdepan untuk melindungi anak dari konsumsi gula berlebih, terutama yang berasal dari Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK).

Hal itu ditekankan Ketua Yayasan Kepedulian untuk Anak Surakarta (Kakak), Shoim Sahriyati dalam sosialisasi mengenai MBDK yang digelar di Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (17/6/2025).

Kegiatan ini dilaksanakan Yayasan Kakak bekerja sama dengan Forum Warga Kota (Fakta) Indonesia.

Berdasarkan data yang diperoleh Yayasan Kakak, sebanyak 55 persen anak di Kota Solo mengaku menyukai produk MBDK.

Kemudian 36 persen mengaku lebih menyukai air putih, dan sembilan persen menyukai keduanya.

"Berdasarkan pada jenis MBDK di sekitar lingkungan tergambarkan ada 42 jenis MBDK, yang mana 40 jenis sudah dikonsumsi oleh anak-anak," ungkap Shoim.

Dari puluhan MBDK yang beredar, terdapat enam produk yang paling banyak dikonsumsi anak-anak.

Enam produk itu antara lain teh kemasan botol, kopi dengan rasa, susu, dan minuman bersoda.

Temuan di lapangan menunjukkan vitalnya peran orang tua dalam konsumsi MBDK pada anak.

"Sebanyak 46 persen anak mengonsumsi MBDK setiap hari. Salah satu anak menyatakan aku bisa minum susu lima kali sehari, biar pintar dan cerdas. Hal itu juga didukung oleh persepsi orang tua yang menganggap susu kemasan bisa membuat pintar, cerdas, bahkan menjadikan susu kemasan sebagai hadiah untuk anak," ujar Shoim.

Shoim menegaskan, MBDK perlu menjadi perhatian para orang tua dan sekolah.

Data di lapangan menunjukkan produk MBDK dengan kandungan gula berlebih dijual dengan murah, mulai Rp 2.000.

“Mereka di sekolah, sekolah menyediakan MBDK, padahal uang saku mereka antara Rp 5 ribu sampai Rp 15 ribu, artinya sangat mudah membeli produk MBDK yang harganya kisaran Rp 2 ribu," ungkapnya.

Shoim menekankan masalah MBDK tidak boleh dianggap enteng. Apalagi, saat ini sudah banyak dijumpai anak-anak yang mengalami gagal ginjal akibat kurang minum air putih dan lebih cenderung mengonsumsi MBDK.

"Anak-anak perlu diberi tahu dampak terlalu banyak konsumsi gula sehari-hari." 

"Ketika kita di luar mereka bisa menjadi konsumen cerdas, tapi untuk membuat anak menjadi konsumen cerdas, orang tua juga harus cerdas," pesannya.

Desak Pemerintah Segera Berlakukan Cukai MBDK dan Label Peringatan Depan

Sementara itu, Fakta Indonesia mendesak pemerintah segera memberlakukan cukai terhadap produk MBDK dan memberikan label peringatan di bagian depan kemasan yang mengandung gula, garam, dan lemak (GGL) berlebih.

Fakta Indonesia menyoroti, dalam beberapa dekade terakhir, konsumsi minuman manis di Indonesia menunjukkan peningkatan yang pesat. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, rata-rata konsumsi gula putih per kapita per minggu mencapai 1.123 gram.

Padahal, ini setara dengan sekitar 160 gram gula per hari, dan tiga kali lipat lebih tinggi dari anjuran Kementerian Kesehatan dan enam kali dari rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Tingginya konsumsi gula ini dinilai berperan dalam meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular (PTM). 

Konsumsi gula secara berlebihan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti obesitas dan diabetes, yang berdampak buruk terhadap kualitas hidup masyarakat serta menambah beban ekonomi negara karena meningkatnya biaya perawatan kesehatan.

Ketua Fakta Indonesia, Ari Subagyo Wibowo mengungkapkan pihaknya prihatin atas terus melonjaknya kasus PTM akibat konsumsi MBDK yang tidak terkendali.

"Ketiadaan kebijakan yang kuat membuat masyarakat semakin rentan, terutama anak-anak dan remaja yang menjadi target utama industri."

"Fakta Indonesia melihat urgensi dalam menerapkan label peringatan depan kemasan dan cukai pada MBDK untuk  menurunkan konsumsi MBDK oleh masyarakat Indonesia," tegasnya. 

Menurut Ari, pihaknya telah aktif melakukan pelatihan dan sosialisasi di berbagai daerah mengenai pentingnya label depan kemasan (Front-of-Pack Labeling/FOPL) serta urgensi penerapan cukai terhadap MBDK.

"Label yang jelas membantu konsumen memilih produk yang lebih sehat, sedangkan cukai menekan konsumsi dengan mekanisme harga, berdasarkan batas tingkatan gula dalam kemasan," ujarnya.

Ari mengatakan hingga saat ini penerapan cukai MBDK belum terealisasi, meskipun sudah tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sejak tahun 2022 hingga 2025.

"Fakta Indonesia bersama dengan jaringan masyarakat sipil dari berbagai wilayah, mendesak pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan cukai terhadap MBDK, dan tidak lagi menjadikannya sebagai sekadar retorika tanpa realisasi."

"Pemerintah harus bertindak sesuai janji dan anggaran yang sudah dialokasikan, dan bukan hanya ‘omon-omon’. Karena isu ini bukan hanya soal uang, tapi soal nyawa dan masa depan generasi Indonesia yang dinilai sebagai 'Generasi Emas'," pungkasnya.

Diketahui, acara sosialisasi ini diikuti sekitar 50 orang yang berasal dari perwakilan kelurahan, sekolah, dan sejumlah anak. 

 (Gilang P)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.