TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Indonesia menyimpan potensi besar untuk memajukan sektor pendidikan dan industri secara bersamaan.
Namun, potensi itu dinilai belum tergarap maksimal karena masih lemahnya konektivitas antara dunia kampus dan dunia kerja.
Tokoh industri nasional, Gunawan Tjokro menyoroti hal tersebut sebagai tantangan yang mendesak untuk dijawab secara serius.
“Indonesia memiliki lebih dari 3.500 perguruan tinggi. Ibarat ladang talenta yang subur, tapi sayangnya belum terhubung dengan dunia industri secara efektif,” kata Gunawan dalam keterangannya, Kamis (19/6/2025).
Menurut Komisaris Utama PT Dynaplast ini, kesenjangan ini menjadi salah satu penyebab tingginya angka pengangguran terdidik di tanah air.
Banyak lulusan perguruan tinggi yang belum siap kerja karena kampus tidak menyiapkan mereka sesuai kebutuhan nyata industri.
“Kita punya ribuan kampus, tapi banyak lulusan belum siap kerja,” tegas Gunawan.
Sebagai pelaku industri yang pernah mengabdi di perusahaan multinasional seperti PT Kalbe Farma Tbk dan PT Unilever Indonesia Tbk, Gunawan memahami betul pentingnya kualitas SDM yang siap terjun langsung di dunia kerja.
Di bawah kepemimpinannya, PT Dynaplast—produsen kemasan plastik ternama di Asia Tenggara—rutin menjalankan program Management Trainee (MT) guna membekali lulusan baru dengan keterampilan industri.
Namun, program MT ini bukan tanpa tantangan. Proses pelatihan memakan waktu antara satu hingga dua tahun, serta menyerap biaya besar.
“Biaya itu sebenarnya bisa ditekan jika sejak awal kampus dan industri sudah bersinergi. Misalnya melalui penyelarasan kurikulum yang sesuai kebutuhan pasar kerja,” jelasnya.
Gunawan menyambut baik hadirnya program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang memberi kesempatan mahasiswa untuk magang langsung di perusahaan.
Menurutnya, program ini adalah jembatan awal yang relevan dan aplikatif.
“Magang itu jembatan bagus. Mahasiswa belajar langsung di lapangan. Mereka akan mengenal dan memahami dunia kerja yang sesungguhnya. Sehingga pengalaman selama magang bisa menjadi referensi dan inspirasi mereka ke depan,” ujarnya.
Namun, Gunawan menekankan bahwa program magang saja tidak cukup.
Diperlukan kemitraan struktural antara kampus dan industri, termasuk pelibatan pelaku usaha dalam penyusunan kurikulum, pengajaran oleh praktisi industri, serta riset kolaboratif yang berorientasi pasar.
Tak hanya urusan SDM, Gunawan juga menyoroti pentingnya hilirisasi hasil riset kampus agar bisa berdampak pada dunia usaha.
Menurutnya, banyak hasil penelitian yang bernas di kampus, namun gagal menembus pasar karena tak terhubung dengan kebutuhan industri.
Sebagai anggota Majelis Wali Amanat Universitas Negeri Semarang (Unnes), ia sering mendapat keluhan dari akademisi bahwa riset mereka kurang terserap oleh dunia bisnis.
“Riset kampus itu permata, tapi perlu dipoles industri. Tujuannya jelas: agar hasil riset lebih mudah dieksekusi,” tegasnya.
Gunawan menilai bahwa solusi yang bisa diterapkan adalah membangun ekosistem digital yang mempertemukan peneliti dan pelaku industri secara lebih mudah dan efisien.
Platform-platform ini harus ramah pengguna, terbuka, dan mendorong pertukaran ide serta kolaborasi lintas sektor.
Kolaborasi ini juga akan menguntungkan industri. Sebab, dengan menggandeng riset kampus, perusahaan tidak perlu membangun pusat penelitian sendiri yang menyerap anggaran besar.
“Kita bisa mendapatkan solusi inovatif tanpa harus menginvestasikan dana besar untuk membentuk tim R&D sendiri. Ini win-win solution,” ujarnya.
Lebih jauh, Gunawan menegaskan bahwa jika Indonesia ingin sukses menyongsong Visi Indonesia Emas 2045, maka kunci utamanya adalah menyatukan kekuatan ilmu dan industri dalam satu gerak.
Ia mengusulkan adanya harmonisasi kebijakan antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Harmonisasi ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan yang justru menghambat kolaborasi.
Gunawan juga mendorong agar perusahaan diberi insentif pajak jika berkontribusi aktif dalam pendidikan, seperti yang tertuang dalam PP No. 45 Tahun 2019 tentang super deduction tax untuk kegiatan litbang dan vokasi.
“Insentif pajak tentu akan menjadi faktor penting dan pendorong daya ungkit perusahaan dalam berbagi ilmu,” ujarnya.
Bagi Gunawan, jalinan antara kampus dan industri bukan sekadar strategi bisnis, melainkan ufuk peradaban Indonesia ke depan. Ia mengutip kembali filsuf Plato bahwa pendidikan bukan pengisian bejana, tetapi penyalaan api.
“Api itu harus dinyalakan melalui kolaborasi nyata. Ilmu tidak boleh berhenti di kelas. Ia harus menyala di dunia nyata,” tandasnya.