Merajut Benang, Halalkah?
Irfani Rahman June 20, 2025 09:33 AM

Oleh: KH Husin Naparin Lc MA
Ketua MUI Provinsi Kalsel

BANJARMASINPOST.CO.ID - DIRIWAYATKAN Imam Ahmad bin Hambal dikunjungi wanita yang mengadu, “Syaikh, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati suami. Saya sangat miskin, sehingga untuk  menghidupi anak-anak, saya merajut benang di malam hari, sementara siang hari saya gunakan untuk mengurus anak-anak sambil bekerja sebagai buruh kasar di sela waktu yang ada. Karena saya tak mampu membeli lampu, maka pekerjaan merajut itu saya lakukan apabila sedang terang bulan.”

Imam Ahmad menyimak dengan serius penuturannya. Perasaannya miris mendengarnya. Dia adalah seorang ulama besar yang kaya raya dan dermawan. Sebenarnya hatinya telah tergerak untuk memberi sedekah kepada wanita itu; namun ia urungkan dahulu karena wanita itu melanjutkan pengaduannya.

“Pada suatu hari, ada rombongan pejabat negara berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang dengan memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu. Tetapi setelah selesai saya sulam, bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual? Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu? Sebab, saya melakukan pekerjaan itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara, dan tentu saja itu tidak lain adalah uang rakyat.”

Imam Ahmad terpesona dengan kemuliaan jiwa wanita itu. Ia begitu jujur, di tengah masyarakat yang bobrok akhlaknya dan hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa peduli halal haram lagi. Padahal jelas, wanita ini begitu miskin dan papa. Maka dengan penuh rasa ingin tahu. Imam Ahmad bertanya, “Ibu, sebenarnya engkau ini siapa?”. Dengan suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan, wanita ini mengaku, “Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi.”

Imam Ahmad makin terkejut. Basyar Al-Hafi RA adalah gubernur yang terkenal sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa hidupnya. Rupanya, jabatannya yang tinggi tidak disalahgunakannya untuk kepentingan keluarga dan kerabatnya. Sampai-sampai adik kandungnya pun hidup dalam keadaan miskin.

Dengan menghela nafas berat, Imam Ahmad berkata, “Pada masa kini, ketika orang-orang sibuk memupuk kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan menggerogoti uang negara dan menipu serta membebani rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada wanita terhormat seperti engkau, ibu.

Sungguh, sehelai rambutmu yang terurai dan sela-sela jilbabmu jauh lebih mulia dibanding dengan berlapis-lapis serban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama. Subhanallah, sungguh mulianya engkau, hasil rajutan itu engkau haramkan? Padahal bagi kami itu tidak apa-apa, sebab yang engkau lakukan itu tidak merugikan keuangan negara…”

Kemudian Imam Ahmad RA melanjutkan, “Ibu, izinkan aku memberi penghormatan untukmu. Silahkan engkau meminta apa saja dariku, bahkan sebagian besar hartaku, niscaya akan kuberikan kepada wanita semulia engkau…”

Diriwayatkan pula, Ibnu Hamid Al-Warraq melakukan perjalanan ibadah haji pada tahun 402 H. Kala itu beliau kehabisan perbekalan di tengah perjalanan, tidak ada makanan dan minuman yang tersisa sehingga beliau jatuh lemah tak berdaya. Selang tidak berapa lama, datang seorang laki-laki menawarkan air kepada beliau, sedangkan beliau dalam sekarat. Beliau menanyakan, “Dari mana air itu kamu dapatkan dan bagaimana cara kamu mendapatkannnya ?”.

Laki-laki pembawa air itu terkejut dan menjawab, “Dalam keadaan seperti ini anda masih bertanya masalah itu ?”.

Ia menjawab, “Justru inilah waktunya, saat bertemu kepada Allah saya memerlukan jawaban darimana ia berasal?”. Akhirya Ibnu Hamid Al-Warraq meninggal dunia saat kepulangannya dari haji tahun 403 H.

Imam Hasan al-Basri mengatakan, “Manusia yang takut fakir, ia sudah berada dalam kefakiran; manusia yang takut hina ia sudah berada dalam kehinaan. Begitupun takut sakit, sebenarnya ia sudah jatuh sakit.

Aku telah membaca sembilan puluh tempat dalam Al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah SWT telah nenentukan rezeki, dan hal itu mencakup semua untuk makhluk-Nya. Aku hanya menemukan satu tempat saja yang mengatakan bahwa setan itu menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan. Maka mengapa kita ragu terhadap ucapan dari Yang Maha Benar pada sembilan puluh tempat, dan mengapa kita membenarkan ucapan pendusta itu (setan) yang hanya bicara pada satu tempat saja.

Percayalah kepada Allah, berbaik sangkalah kepada-Nya, dan jadilah orang yang yakin bahwa kenyamanan itu datang dari sisi-Nya. Semoga Allah SWT membukakan satu pintu, sehingga anda dapat menyadari betapa dahsyatnya bencana putus asa yang tidak memiliki kunci pembuka.”

Dari riwayat tersebut, patutlah kita melakukan kehati-hatian dalam mencari rezeki yang halal. Nabi SAW bersabda, seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq ra, yang artinya: “Tidak akan masuk ke dalam surga jasad yang diberi makan dengan yang haram.” (HR. at-Tabrani).

Pertanyaannya, apakah kita mau demi untung sesaat tapi rugi selamanya? (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.