Politik Menggila, Pelayanan Sidoarjo Terlupa
GH News June 21, 2025 01:03 AM

TIMESINDONESIA, SIDOARJOPERNYATAAN keras yang dilontarkan oleh Hj. Mimik Idayana, Ketua DPC Gerindra Sidoarjo sekaligus Wakil Bupati Sidoarjo, tentang hubungannya dengan Bupati Sidoarjo H. Subandi sedang tidak baik-baik saja perlu disikapi secara jernih. 

Di tengah tuntutan publik terhadap pelayanan yang efektif dan pemerintahan yang stabil, munculnya konflik terbuka di lingkar eksekutif justru memperlihatkan bagaimana kepentingan politik kerap kali lebih dominan ketimbang komitmen terhadap rakyat.

Narasi bahwa Bupati "melupakan" Gerindra sebagai partai pengusung, atau pernyataan bahwa partai "tidak perlu lagi memberikan masukan konstruktif", adalah bentuk politisasi yang kontraproduktif terhadap etika pemerintahan. 

Sebab dalam Pemerintahan bukan ajang balas budi politik. Ketika seseorang telah duduk di kursi kepala daerah, ia adalah milik seluruh warga, bukan milik eksklusif satu partai atau koalisi.

Harus diakui bahwa dalam sistem presidensial dan pilkada langsung, mandat berasal dari rakyat, bukan dari elit partai. Jika kemudian ada dugaan Bupati, Subandi mengambil langkah-langkah strategis seperti, penerbitan Peraturan Bupati, tanpa keterlibatan wakilnya, tentu ini bisa diperdebatkan secara prosedural. 

Namun menyulutnya ke ranah publik sebagai “perang terbuka” justru memperkeruh tatanan birokrasi yang mestinya berjalan profesional dan dewasa.

Alih-alih membangun kembali komunikasi dan menyelesaikan perbedaan secara internal, sikap menarik diri dan “tidak akan mengawal pemerintahan” yang dilontarkan Mimik Idayana, menunjukkan bahwa sebagian elit politik lebih sibuk mengurus luka ego pribadi ketimbang menyembuhkan persoalan rakyat. Padahal, publik tak tertarik pada drama elite yang diharapkan adalah sinergi, bukan sandiwara.

Sebagai pejabat publik, peran Wakil Bupati semestinya bukan sekadar juru bicara partai, melainkan mitra strategis kepala daerah. Ketika komunikasi politik tersumbat, yang dibutuhkan adalah pemulihan kanal dialog, bukan saling serang di hadapan publik.

Kritik bisa dan harus disampaikan, tetapi sebaiknya dalam bingkai perbaikan, bukan demi menaikkan tensi politik menjelang kontestasi 2024-2029.

Sangat disayangkan jika setiap kritik dibingkai sebagai bentuk “penghianatan” dan bukan sebagai dinamika yang wajar dalam pemerintahan.

Lebih ironis lagi, ketika “menolak permintaan maaf” digunakan sebagai simbol perlawanan, seolah proses pemerintahan bergantung pada sikap-sikap personal, bukan berdasarkan prinsip demokrasi dan tata kelola yang baik.

Masyarakat tentu bisa menilai sendiri, mana pejabat yang bekerja dalam senyap dan membawa dampak, dan mana yang bersuara lantang namun kehilangan substansi. Rakyat tidak butuh narasi dendam politik. Yang mereka butuhkan adalah solusi atas kemacetan, banjir, pengangguran, dan harga bahan pokok.

Jika benar ada ketidakharmonisan di tubuh pemerintah daerah, jalan terbaik adalah rekonsiliasi dan kembali pada konstitusi, bukan politisasi hubungan pribadi. Publik menuntut kedewasaan politik, bukan drama kuasa. 

Karena pada akhirnya, sejarah tidak mencatat siapa yang paling lantang berbicara, tetapi siapa yang paling setia bekerja untuk rakyatnya. Masyarakat jangan diajak berkonflik tapi layani mereka sesuai janji politik.

***

*) Oleh: Rudi Mulya Andika, TIMES Indonesia Sidoarjo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.

_________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.