Buzzer Game Over, Era Clipper Dimulai
GH News June 22, 2025 01:04 PM

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Dalam sebuah pernyataan publik, Feri Irwandi menyebut bahwa, “Dalam komunikasi politik, era influencer dan buzzer sudah tamat sebagai amplifier. Dalam 20% pertarungan udara, dampaknya kecil. 

Sekarang, berbagai studi kasus membuktikan, para clipper punya kemampuan mempengaruhi suara dan meningkatkan engagement. Ini early stage, bener-bener early stage. Siapapun yang melihat peluang ini di awal, tentu akan mendapatkan keuntungan yang besar.”

Pernyataan tersebut terasa semakin relevan ketika kita mengamati perubahan dinamika komunikasi politik digital saat ini. Jika sebelumnya buzzer dan influencer menjadi ujung tombak dalam memengaruhi opini publik, kini peran mereka mulai terkikis. 

Di tengah kejenuhan masyarakat terhadap narasi yang terlalu seragam dan terkoordinasi, muncul aktor-aktor baru bernama clipper, yakni individu atau komunitas digital yang menyunting potongan video politik dan menyebarkannya melalui platform seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts. 

Dalam bentuk yang lebih segar, kontekstual, dan mudah diterima publik. Mereka bekerja di luar sistem formal politik, tetapi mampu membentuk narasi dan opini secara lebih kuat dan organik.

Buzzer Kehilangan Kepercayaan Publik

Selama satu dekade terakhir, buzzer memainkan peran sebagai amplifier digital. Mereka bertugas menyebarluaskan pesan politik melalui media sosial secara masif. 

Penelitian Lim (2020) menyebutkan bahwa penggunaan buzzer justru mempersempit ruang diskusi, memperparah polarisasi politik, serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang beredar secara daring.

Dalam kerangka agenda-setting, buzzer hanya mengarahkan perhatian publik pada isu tertentu, tanpa memberi ruang bagi pembentukan makna yang lebih dalam. Akibatnya, publik merasa jenuh terhadap informasi yang bersifat repetitif, formal, dan terlalu dipesan lebih dulu.

Clipper, Kreator Narasi Politik dari Akar Rumput

Berbeda dari buzzer, clipper berangkat dari basis komunitas digital. Mereka bukan bagian dari tim kampanye resmi, tetapi karyanya lebih viral. Mereka memotong momen politik tertentu, menambahkan narasi, efek, atau konteks baru, lalu menyebarkannya melalui TikTok, Reels, atau YouTube Shorts.

Menurut penelitian dari Center for Social Media and Politics-New York University (2023), video pendek hasil editing kreatif seperti ini meningkatkan keterlibatan politik organik hingga 270% dibandingkan konten promosi politik konvensional. 

Selain itu, video klip semacam ini cenderung lebih mudah diterima oleh pemilih muda, yang selama ini relatif apolitis terhadap konten politik formal.

Dari sudut pandang teori komunikasi, para clipper juga mempraktikkan kerja framing sebagaimana dijelaskan oleh Robert Entman. Mereka tidak hanya menyebar ulang informasi, tetapi memilih elemen penting dari peristiwa, menambahkan tafsir tertentu, dan menciptakan kerangka makna baru yang lebih emosional dan kontekstual.

Politik Digital Perlu Bertransformasi

Situasi ini menuntut para politisi, tim kampanye, dan pengelola citra publik untuk melakukan perubahan pendekatan. Tidak cukup lagi hanya mengandalkan pasukan buzzer atau konten formal yang bersifat top-down. Komunikasi politik digital harus diarahkan menjadi lebih inklusif, partisipatif, dan menyentuh realitas publik.

Artinya, para aktor politik perlu mulai merancang pesan yang klip-able, yakni konten yang otentik, ringkas, dan emosional, yang mudah diolah ulang oleh kreator digital. 

Selain itu, membangun kemitraan strategis dengan para clipper juga dapat menjadi bagian dari strategi komunikasi yang lebih berorientasi pada keterlibatan publik (engagement).

Perubahan ini bukan semata-mata soal alat komunikasi, tetapi tentang bagaimana politik bersedia turun dari menara gading dan membaur dalam ruang percakapan masyarakat.

Clipper Butuh Etika dan Literasi Digital 

Perlu dicatat, clipper juga tidak lepas dari tantangan. Dalam beberapa kasus, potongan video yang tidak disertai konteks lengkap dapat menimbulkan disinformasi atau mispersepsi, sehingga dapat memicu konflik sosial. 

Oleh karena itu, perlu didorong ekosistem digital yang sehat, dengan menekankan literasi digital dan tanggung jawab dalam produksi serta distribusi konten politik.

Clipper yang kreatif dan bertanggung jawab akan memperkuat demokrasi digital. Mereka adalah contoh nyata dari keterlibatan publik dalam pengawasan kekuasaan, penciptaan wacana, dan penguatan partisipasi politik yang lebih luas.

Era Baru Telah Dimulai 

Pergeseran dari buzzer ke clipper menandai lahirnya era baru komunikasi politik digital di Indonesia. Seperti disebutkan Feri Irwandi, ini adalah fase awal (early stage) yang menjanjikan bagi siapa pun yang bersiap dari sekarang. 

Dalam konteks ini, siapa yang mampu beradaptasi dengan ekosistem clipper, menciptakan narasi yang otentik, dan mendorong interaksi organik, dialah yang akan memimpin kontestasi wacana di ruang digital.

Era clipper telah dimulai. Dan dalam politik digital hari ini, kekuatan tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling banyak bicara, tetapi oleh siapa yang paling sering dikutip dan disebarkan ulang.

***

*) Oleh : Fatlurrahman, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM dan Peneliti Academic and Social Studies (ACCESS), Founder Madura Bestari.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.