Penjual Lele Goreng Kaki Lima Bisa Jadi Koruptor, Eks Pimpinan KPK Bahas UU Tipikor yang Multitasfir
Mujib Anwar June 23, 2025 10:30 AM

TRIBUNJATIM.COM - Aturan terbaru yang sedang pro dan kontra adalah penjual pecel lele yang ternyata bisa disebut sebagai koruptor.

Pernyataan Chandra Hamzah eks pimpinan KPK tentang penjual pecel lele bisa dianggap koruptor viral di media sosial.

Ia menyebut, berdasarkan rumusan pasal dalam UU Tipikor yang ada saat ini, penjual pecel lele di trotoar bisa dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Chandra menyampaikan penjelasan tersebut saat hadir sebagai ahli dalam sidang gugatan uji materi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, 18 Juni 2025.

Menurut Chandra, pasal-pasal dalam UU Tipikor terlalu kabur dan multitafsir.

Ia khawatir pasal itu bisa digunakan menjerat rakyat kecil alih-alih koruptor sesungguhnya.

Bahkan penjual pecel lele yang berjualan di trotoar bisa saja dianggap koruptor.

Pernyataan tersebut disampaikan Chandra untuk menyoroti ketidakjelasan atau ambiguitas pada dua pasal dalam UU Tipikor, yakni Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3.

Dalam penjelasannya, Chandra mengatakan bahwa pasal-pasal tersebut terlalu luas dan bisa menimbulkan tafsir berlebihan.

Chandra kemudian menyampaikan contoh ekstrem.

Ia menyebut, jika pasal itu diterapkan secara kaku, maka penjual pecel lele di trotoar pun bisa dijerat sebagai koruptor.

"Maka penjual pecel lele bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi; ada perbuatan memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara," kata Chandra dikutip dari siaran YouTube Mahkamah Konstitusi.

Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor dijelaskan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara, bisa dipidana dengan hukuman 4-20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.

Sementara itu, Pasal 3 mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang dapat merugikan keuangan negara, dengan ancaman hukuman yang sama beratnya.

Menurut Chandra, perumusan pasal tersebut tidak memenuhi asas lex certa (rumusan harus pasti dan tidak kabur) serta lex stricta (rumusan tidak boleh ditafsirkan bebas).

Jika tetap dibiarkan, pasal ini bisa jadi alat represif terhadap masyarakat biasa yang sebenarnya tidak memiliki niat korupsi.

Ia menyebutkan, dalam kasus penjual pecel lele di trotoar, unsur dalam pasal itu tetap bisa diakali agar semua terpenuhi:

1. Penjual dianggap melanggar hukum karena trotoar bukan untuk berdagang,

2. Penjual memperoleh keuntungan pribadi,

3, Negara dianggap dirugikan karena fasilitas umum jadi rusak atau terganggu.

Padahal, kata Chandra, praktik semacam itu jelas bukan esensi dari tindak pidana korupsi.

Selain meminta Pasal 2 Ayat (1) dihapus, Chandra juga mendorong agar Pasal 3 direvisi.

Ia mengusulkan agar frasa "setiap orang" dalam pasal itu diubah menjadi "pegawai negeri" atau "penyelenggara negara".

Perubahan itu, menurutnya, akan selaras dengan semangat Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC), yang lebih menekankan pada penyalahgunaan jabatan publik.

"Kesimpulannya adalah Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tipikor, kalau saya berpendapat, untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi," tegas Chandra.

Ia juga menyebut bahwa korupsi seharusnya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang punya kewenangan, bukan rakyat biasa yang hanya mencari nafkah.

Sidang uji materi ini diajukan sebagai respons terhadap kekhawatiran bahwa UU Tipikor terlalu lentur dan bisa disalahgunakan. 

Sementara itu, Rasa syok tak dapat ditutupi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Ardiansyah, dan anak buahnya saat menggeledah rumah koruptor.

Bahkan anak buah Febire nyaris pingsan kala itu.

Usut punya usut, di sana mereka menemukan uang tunia miliaran rupiah, tergeletak di lantai.

Totalnya tak main-main, yaitu Rp920 miliar.

Diketahui koruptor tersebut adalah mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar.

Informasi berita menarik lainnya di Google News TribunJatim.com

“Anak buah kami mau pingsan menemukan uang sebanyak itu tergeletak di lantai saat itu,” ujar Febrie dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/5/2025).

Meski terkejut, tim penyidik tetap menjalankan prosedur ketat demi keamanan barang bukti, termasuk saat membawa uang dalam jumlah sangat besar tersebut.

“Satu ikat uang itu wajib disaksikan oleh keluarganya, ketua RT, dan tidak boleh dihitung kecuali oleh orang bank. Ini supaya clear and clean ketika barang tersebut bisa dibawa,” kata Febrie.

Penemuan uang itu menjadi salah satu bukti awal penting dalam penyidikan kasus suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang tengah didalami oleh tim jaksa.

Zarof Ricar kini sedang menjalani proses hukum atas dugaan permufakatan jahat melakukan suap dan gratifikasi terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung pada periode 2023 hingga 2024.

Namun, dugaan TPPU terhadap Zarof tidak hanya terjadi pada rentang waktu tersebut.

Berdasarkan dokumen penyidikan, aktivitas TPPU diduga dilakukan sejak Zarof masih aktif sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dari 2012 sampai 2022.

“Jadi bukan tahun 2023 sampai tahun 2024, bukan, Pak. Kalau saya bacakan di sini, TPPU-nya selama dia menjabat sebagai ASN, yaitu 2012 sampai 2022,” jelas Febrie.

Penyidik juga masih menyelidiki asal-usul uang tunai yang ditemukan di rumah Zarof Ricar.

“Tantangan kami adalah membuktikan sebanyak ini dari siapa saja, kemudian ke siapa, dan apakah uang ini digunakan untuk suap atau titipan dari hakim atau penegak hukum lain. Ini masih dalam proses,” kata Febrie.

Dalam pengembangan kasus TPPU, delapan rumah mewah dan tujuh bidang tanah milik Zarof telah disita jaksa.

Hampir seluruh aset yang diduga diperoleh selama masa jabatannya kini telah dibekukan.

Febrie berharap Zarof dapat bersikap kooperatif dan membuka informasi terkait aliran dana serta pihak-pihak yang terlibat.

“Zarof sekarang sedang kita kejar TPPU-nya. Kita berharap dia mau bercerita banyak, termasuk di persidangan,” ujarnya.

Febrie juga meminta dukungan dari Komisi III DPR RI untuk mengawal penegakan hukum kasus ini.

“Percayalah, Pak, bahwa kita berupaya keras untuk melakukan pembuktian tersebut. Saya senang betul kalau dikontrol Komisi III secara terbuka. Terus terang kami butuh dukungan Komisi III,” tutup Febrie.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.