Ahli Hukum Ini Nilai Justice Collaborator Dijadikan PP Kurang Tepat
GH News June 26, 2025 09:40 AM

Presiden Prabowo Subianto meneken Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2025 yang isinya memberikan penghargaan berupa hukuman ringan hingga bebas bersyarat kepada saksi pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kasus pidana atau justice collaborator (JC). Ahli Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai hal ini kurang tepat.

Abdul Fickar menyebut JC masuk ke dalam ranah peradilan, sehingga menurutnya presiden tidak berhak mencampuri urusan tersebut. Dia menilai bahwa hal ini adalah aksi intervensi.

"JC dalam konteks penjatuhan hukuman itu ranahnya peradilan, jadi presiden sebagai kepala eksekutif tidak bisa mencampuri ranahnya peradilan. Ini intervensi namanya," kata Abdul Fickar kepada wartawan, Kamis (26/6/2025).

Abdul menilai bahwa JC sudah benar diatur dalam UU Tentang Perlindungan Saksi Pelaku dan/Korban. Menurutnya, jika JC diletakkan dalam PP, yang notabenenya di bawah Undang-Undang itu menurutnya tidak sesuai.

"JC seharusnya dan sudah diatur dalam UU, dalam hal ini UU Tentang Perlindubgan Saksi Pelaku dan/Korban. Jadi kalaupun presiden ikut mencampuri, dalam hal ini ikut membuat UU Tentang Perlindungan Saksi korban/Tersangka. Jadi tidak tepat dikeluarkan PP yang tingkatannya di bawah UU untuk mengatur peradilan sebagai kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri," katanya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa menjatuhkan hukuman tentu merupakan wewenang hakim, bukan presiden.

"Menjatuhkan hukuman itu bukan ranahnya presiden sebagai kepala eksekutif, sebagai kepala negara, presiden tidak punya hak mencampuri sebatas memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Di luar itu presiden sebagai kepala negara tidak berwenang," katanya.

Diketahui, Peraturan Pemerintah tentang justice collaborator itu diteken Prabowo pada 8 Mei 2025. Aturan mengenai penghargaan bagi justice collaborator itu tertulis dalam pasal 4. Ada dua penghargaan yang diberikan pemerintah, yakni:
a. keringanan penjatuhan pidana; atau
b. pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

Aturan ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan terhadap saksi pelaku dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Serta menjamin hak saksi pelaku yang telah berstatus sebagai narapidana.

Selama ini pengaturan mengenai mekanisme penanganan secara khusus dan pemberian penghargaan bagi saksi pelaku belum diatur secara komprehensif dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, diperlukan aturan mengenai mekanisme penanganan secara khusus dan pemberian penghargaan bagi saksi pelaku.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.