TRIBUNJATIM.COM - Masalah krisis air bersih membuat warga Kampung Kiarajaya, Desa Margamulya, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menjerit.
Sebab, sudah lebih dari dua dekade atau 20 tahun kondisi masalah krisis air bersih ini dibiarkan tanpa respons konkret dari pemerintah daerah maupun provinsi.
Mereka lantas meminta Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, turun tangan menangani masalah krisis air bersih.
Pasalnya, Dedi Mulyadi pernah berjanji akan mengalirkan air bersih dalam waktu satu bulan, saat kegiatan Apel Anti Premanisme di kawasan industri Karawang International Industrial City (KIIC) pada 27 Maret 2025.
Namun hingga kini, janji tersebut belum juga terealisasi.
"Kami menunggu aksi nyata dari Pak Gubernur KDM," kata Ketua RT setempat, Siti Fadilah (30), pada Jumat (27/6/2025).
Ia menambahkan, akibat kondisi krisis air bersih ini, pernah ada satu keluarga alami demam berdarah dengue (DBD).
Sebab warga saat musim hujan terpaksa menampung air hujan untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
Akan tetapi, di balik upaya tersebut, mereka harus menanggung risiko penyakit.
“Satu keluarga kami pernah kena DBD gara-gara tampung air hujan. Tapi kami bisa apa?” katanya.
Sebelumnya, Dedi Mulyadi memang pernah berjanji bakal mengatasi persoalan krisis air bersih di kampung yang tak jauh dari kawasan industri terbesar Indonesia tersebut.
"Mana Pak, ini kami masih kesusahan air. Belum ada juga tindakan," sindir Siti.
Ia menambahkan bahwa lebih dari 300 kepala keluarga mengalami kekurangan air bersih.
Sehingga warga harus mengantre di sumur yang berada di tengah area pemakaman.
"Setiap hari kondisinya seperti ini. Kami antre dan berebut air. Kami mohon kepada pemerintah untuk turun tangan. Air itu kebutuhan dasar,” katanya.
Ia berharap agar pemerintah segera menangani kondisi ini.
Sebab, lebih dari dua dekade kondisi ini dibiarkan tanpa respons konkret.
"Kita biarkan saja, enggak ada hal apa dilakukan baik dari pemerintah daerah maupun provinsi," katanya.
Seorang warga, Imas (35) mengungkapkan, ratusan warga Kampung Kiarajaya bergantung pada sumur di tengah area pemakaman umum sebagai sumber air untuk kebutuhan air bersih.
Pantauan di lokasi, sejumlah warga berbondong-bondong ke lokasi pemakaman meski harus mengantre berjam-jam untuk mendapatkan satu ember air.
Tak ayal, dari mereka juga berdesakan, berebut hanya demi memenuhi kebutuhan dasar berupa air bersih.
“Kalau musim kemarau begini, air sumur kering. Kalau musim hujan, airnya malah kotor. Kulit jadi gatal-gatal, dan air harus direbus dulu,” ujar Imas.
Sehingga, kata Imas, baik musim kemarau maupun hujan tetap alami penderitaan.
Warga tetap harus bergantung pada air tangki seharga Rp20.000 per muatan.
Akan tetapi, belum ada upaya pemerintah daerah setempat terkait kondisi ini.
"Pengeluaran bulanan lebih dari Rp500.000 hanya untuk membeli air isi ulang guna keperluan minum dan memasak," tandasnya.
Kini warga Kampung Kiarajaya, Desa Margamulya, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, menagih janji Dedi Mulyadi.
Saking kesalnya, warga menagih janji ketika antre mengambil air bersih di sumur tengah area pemakaman pada Jumat.
Sambil membawa ember maupun galon, warga terus menyebut-nyebut nama Dedi Mulyadi terkait persoalaan krisis air di wilayahnya.
Ada warga pula membuka kertas bertuliskan 'Pak Dedi Mulyadi, Kita Masih Kesusahan Air, Tolong Pak'.
Sementara di Jawa Timur, warga di Dusun Lalangan, Desa Suling Wetan, Kecamatan Cermee, Kabupaten Bondowoso, mengeluhkan kesulitan air bersih.
Seorang warga bernama Siti (33) menjelaskan, masalah ini sudah berlangsung cukup lama dan semakin memburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Sumber-sumber air yang biasanya diandalkan warga, seperti sumur-sumur dangkal dan mata air kecil, mengalami penyusutan drastis bahkan mengering.
Lebih-lebih saat ini sudah memasuki musim kemarau pada April 2025.
"Dulu, meskipun kemarau, air sumur masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari."
"Tapi sekarang, harus menunggu berjam-jam baru bisa menimba sedikit air, itu pun kualitasnya tidak selalu bagus," ujar Ibu Siti, Rabu (30/4/2025).
Kondisi ini juga berdampak terhadap pertanian warga.
Hasan, warga Desa Suling Wetan menjelaskan, dirinya dan petani lain terpaksa menunda bercocok tanam.
Bahkan, mengalami gagal panen karena kekurangan air untuk irigasi.
"Kalau tidak ada air, bagaimana kami bisa bertani? Ini sudah sangat menyulitkan," keluhnya.
Saat dikonfirmasi, Kepala Desa Suling Wetan, Ahmad, menyatakan pihaknya telah menerima laporan dari warga dan sedang berupaya mencari solusi.
Bahkan, pemerintah desa sudah berkoordinasi dengan Kecamatan dan Kabupaten untuk mencari solusi jangka pendek dan jangka panjang.
"Ada beberapa opsi yang sedang dipertambangkan," ujarnya.
Beberapa opsi dimaksud yakni, pengiriman bantuan air bersih menggunakan tangki, pengeboran sumur dalam, atau perbaikan infrastruktur sumber air yang ada.
"Tapi solusi ini perlu waktu dan anggaran yang tidak sedikit," ujarnya.
Meski kerap terjadi kekeringan, desa ini tak masuk data 15 desa yang rawan kekeringan tahun 2024 di BPBD.
Kalaksa BPBD Bondowoso, Sigit Purnomo menjelaskan, pihaknya melakukan pemetaan ulang dari kecamatan tentang desa yang rawan mengalami bencana kekeringan untuk tahum 2025.
Karena itulah, kemungkinan data desa rawan kekeringan bertambah.
Untuk memastikan titik-titik yang masuk kategori kekeringan tersebut bisa mendapatkan droping air bersih.
"Sementara untuk anggaran pihak BPBD Kabupaten Bondowoso terus melakukan koordinasi dan sinergi dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jatim melalui BNPB dan BPBD Provinsi Jatim," pungkasnya.