Resign usai Mengabdi 5 Tahun, Mantan Pegawai Jadi Pemetik Buah di Australia, Gaji Rp300 Ribu per Jam
Arie Noer Rachmawati June 28, 2025 08:30 PM

TRIBUNJATIM.COM - Inilah kisah mantan pegawai bank banting stir jadi pemetik buah.

Tak tanggung-tanggung, ia menjadi pemetik buah di Australia dengan gaji Rp300 ribu per jam.

Adalah Merianti (30).

Merianti memutuskan resign setelah hampir lima tahun bekerja sebagai customer service di sebuah bank di Indonesia.

Merianti akhirnya memilih banting setir dan menjajal peruntungan di Australia.

Lulusan jurusan Manajemen dari universitas di Pontianak, Kalimantan Barat, itu kini bekerja sebagai pemetik dan penyortir buah di Australia dengan penghasilan hingga Rp 300.000 per jam.

Pilihan itu ia ambil lewat program Working Holiday Visa (WHV), program resmi Pemerintah Australia yang memungkinkan warga negara tertentu bekerja sambil berlibur.

"Alasan utamanya tentu karena ekonomi. Tapi selain itu, aku juga punya keinginan kuat untuk merasakan suasana dan budaya yang berbeda, ingin coba hidup di luar zona nyaman dan cari pengalaman baru di luar negeri," ujar Merianti, dikutip dari Kompas.com, Jumat (27/6/2025).

Selama satu setengah tahun tinggal di Australia, Merianti telah menjajal berbagai pekerjaan.

Mulai dari waitress, cuci piring, kerja di gudang, hingga pekerjaan fisik seperti memetik apel dan raspberry, pernah dilakoni Merianti.

Kini, ia bekerja sebagai penyortir buah.

“Pekerjaanku memang berpindah-pindah sesuai musim dan kebutuhan syarat untuk perpanjangan visa. Urutannya kurang lebih mulai dari hospitality, warehouse lalu pindah ke pekerjaan fisik seperti farm untuk perpanjangan visa, dan sekarang kembali lagi ke pekerjaan sorting buah di area regional," jelasnya.

Merianti, warga negara Indonesia yang mengikuti program WHV di Australia.
Merianti, warga negara Indonesia yang mengikuti program WHV di Australia. (Dok.pribadi)

Berbeda dari Indonesia, proses melamar kerja di Australia jauh lebih sederhana.

“Tetap pakai CV, tapi formatnya lebih simple. Cuma berisi data diri, pengalaman kerja, dan kontak. Tanpa perlu foto, ijazah, atau dokumen tambahan seperti di Indonesia. Biasanya CV langsung dikasih ke tempat kerja dalam bentuk kertas, tanpa amplop juga enggak masalah,” kata dia.

Beberapa perusahaan juga menerapkan sistem uji coba langsung.

“Salah satu yang paling terasa adalah sistem rekrutmennya. Di Australia, beberapa tempat kerja menerapkan sistem trial, biasanya 3 jam, untuk menilai kemampuan kita langsung di lapangan," ujar dia.

"Sedangkan di Indonesia, prosesnya lebih panjang dan sering kali hanya menilai dari ijazah atau nilai akademis, bukan skill kerja,” ucap Merianti.

Dengan upah minimum 30,13 dolar Australia per jam atau sekitar Rp 331.000, Merianti mengaku bisa mencukupi biaya hidup, sewa tempat tinggal, dan menabung.

Pembayaran gajinya dilakukan mingguan atau dua mingguan.

"Di Australia, kedisiplinan itu sangat penting. Kalau sering telat, bisa dianggap enggak bertanggung jawab dan berisiko diberhentikan," kata dia.

"Tapi di sisi lain, mereka juga sangat adil. Datang on time, pulang juga on time. Bahkan, kalau harus lembur, tetap dibayar sesuai jam kerja. Break time juga wajib diberikan," tuturnya lagi.

Selama bekerja di Australia, Merianti tidak pernah merasakan diskriminasi.

“Mereka punya aturan ketat soal bullying dan harassment, jadi siapa pun yang melanggar bisa langsung dilaporkan,” katanya.

Pesan untuk Anak Muda Indonesia

Bagi anak muda Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri, Merianti berpesan untuk aktif mencari informasi.

“Kumpulkan informasi sebanyak mungkin, lalu ikuti prosesnya dengan sabar," kata Merianti.

"Sebab, pada akhirnya ketika sudah berada di luar negeri pun harus bisa melakukan apa-apa secara mandiri,” pungkasnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.