Mujiburrahman
BANJARMASINPOST.CO.ID- Kamus bahasa Inggris, Oxford Dictionary, menjadikan “brain rot” sebagai “Word of the Year 2024”. Kata brain rot bisa diterjemahkan menjadi pengerutan atau perusakan otak. “Konsumsi konten digital yang cepat dan dangkal bisa menyebabkan kemunduran fungsi kognitif atau kerusakan otak,” tulis Kompas, 28 Juni 2025 kemarin, mengutip pendapat sejumlah pakar.
Memang sudah menjadi watak kehidupan ini, tak ada yang sempurna. Tak ada yang seratus persen baik, tak ada pula yang seratus persen buruk. Teknologi diciptakan antara lain untuk meningkatkan kecepatan, kekuatan, dan ketepatan manusia dalam mencapai tujuan yang ingin diraihnya.
Teknologi itu alat yang digunakan, dan manusia adalah penggunanya. Karena itu, akibat penggunaan teknologi sangat ditentukan oleh sikap dan keputusan yang diambil oleh manusia. Manusialah yang menentukan, apakah teknologi digunakan untuk kebaikan atau keburukan.
Tanggung jawab atas penggunaan teknologi itu, meskipun sudah jelas, dalam kehidupan sehari-hari seringkali tidak kita sadari, terutama saat kita asyik menggunakan ponsel, menelusuri media sosial. Kita seolah hanyut dan tenggelam dalam mimpi-mimpi, sampai tak terasa waktu berlalu hingga berjam-jam. Suasana hati kita berubah-ubah. Semula kita tertawa menyimak video Tiktok, lalu sedih melihat berita genosida di Gaza di laman Facebook. Semula kita senang dengan komentar positif warganet terhadap unggahan kita, tapi sejurus kemudian kita terluka oleh komentar negatif.
Media sosial, bagaimana pun, adalah bisnis. Pemilik media sosial seperti Tiktok, Threads, Facebook, Instagram, Reels, X, WA, dan lain-lain, menyediakan layanan agar pelanggan membayar. Sadar atau tidak, setiap klik yang kita lakukan berarti uang bagi mereka. Karena itu tak heran jika media sosial memang sengaja dirancang agar penggunanya kecanduan. Kita sengaja dibuat penasaran, ingin tahu apa sikap dan komentar orang atas unggahan kita. Otak kita juga dirangsang dengan tayangan pendek dan menghibur, yang dapat memicu hormon dopamin, menimbulkan rasa senang.
Ketika kita sudah terperangkap dalam jebakan media sosial itu, kita akhirnya mengalami “brain rot” tadi. Kita mulai malas berpikir mendalam, analitis, dan kritis. Kita lebih suka pada informasi yang pendek dan dangkal, dan semakin sulit memusatkan perhatian, berkonsentrasi dalam waktu yang panjang. Kita sulit fokus. Daya ingat kita menurun. Meski belum tua renta, kita sudah pikun dan pelupa. Saking asyiknya dengan godaan media sosial itu, sebagian orang bahkan sampai lupa mengurus dirinya sendiri. Hidupnya tak teratur. Kegiatan tak sesuai jadwal. Tak disiplin.
Karena sudah asyik dengan dunia maya, dunia nyata pun terabaikan. Para pejabat, politisi dan pegawai, membuat (dibuatkan) berbagai konten yang mengesankan bahwa mereka bekerja dan peduli. Sebagaimana artis, mereka juga menampilkan hal-hal pribadi yang mengesankan publik. Dalam kenyataan, mungkin saja mereka tak benar-benar bekerja untuk publik, dan kehidupan pribadi mereka justru berantakan. Begitu pula masyarakat biasa. Yang penting bisa tampil “wah” di media sosial seperti makan di restoran, liburan, hingga memakai pakaian mahal, meskipun harus berhutang.
Dalam jangka panjang, kita menjadi semakin palsu dan bodoh. Kita bangga dengan penghargaan ini dan itu yang diunggah di media sosial, meskipun dalam kenyataan penghargaan itu belum layak kita terima. Kita bahkan mau melakukan pelanggaran etika dan hukum demi pencitraan positif semacam itu. Kita semakin bangga dengan kuantitas sambil mengabaikan kualitas. Jumlah lebih penting daripada mutu. Gelegar sesaat lebih penting dari manfaat yang berkesinambungan. Berpikir dan merenung, menelaah dengan cermat, dan mengkaji dengan teliti, tidak lagi kita lakukan.
Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk mencegah “brain rot”? Yang paling utama kiranya adalah membangun kesadaran dan pemahaman akan manfaat dan mudarat media sosial. Orang sekarang menyebutnya “literasi”. Jika orang sudah memiliki pemahaman yang baik, maka dia diharapkan akan melakukan pengendalian atas konsumsi dan produksi informasi di media sosial. Ibarat makanan, pengguna harus pandai memilih, mana informasi yang bermanfaat dan mana yang mudarat. Saat mengonsumsi dan memproduksi informasi di media sosial, kesadaran ini harus senantiasa hadir.
Kesadaran tersebut juga diharapkan mendorong pendisiplinan. Anak-anak dikontrol agar tidak sebebas-bebasnya mengakses internet dan media sosial. Perbanyaklah interaksi tatap muka yang bermakna. Saat berkumpul bersama keluarga, baik saat berbincang ataupun makan, jauhkanlah diri dari dunia maya. Alangkah baiknya pula, jika setiap hari, pada jam tertentu, kita dapat dengan disiplin mengurangi interaksi di media sosial. Misalnya, waktu antara Magrib dan Isya kita isi dengan ibadah ketimbang mengelus ponsel. Di akhir pekan, berikan lebih banyak waktu untuk keluarga.
Di sisi lain, sering-seringlah mengakses informasi yang baik, mendalam dan bermakna. Ini akan membuat sistem algoritma menggiring kita kepada informasi yang serupa. Jika kita sering membaca artikel bebobot, atau menonton tayangan yang berisi informasi mendalam, maka kita akan meningkatkan manfaat teknologi media sosial ini bagi hidup kita. Ini bukan berarti bahwa kita tak perlu hiburan. Hidup serius terus juga tak baik. Kita perlu tertawa menyimak humor, dan terhanyut meresapi musik, puisi, dan seni lainnya, asalkan tidak terlalu banyak dan berlebihan.
Pemerintah seharusnya juga memerhatikan masalah ini. Menurut Kompas, Malaysia, Perancis, dan Denmark, melarang penggunaan ponsel di sekolah. Di Tiongkok, anak usia di bawah 18 tahun tidak boleh bermain gim daring kecuali jam 20.00—21.00 dan akhir pekan serta hari libur nasional. Inggris, Amerika Serikat, dan Australia, membatasi akses dan usia pengguna media sosial. Perusahaan media sosial dan para pembuat konten sebaiknya juga dikontrol. Silahkan pemerintah dan DPR kita membuat regulasi yang baik dan sesuai dengan kebutuhan kita!
Alhasil, otak akan rusak jika tidak dipakai. You use it or lose it. Begitulah teorinya. Otak adalah wujud fisik yang bisa diamati, sementara kesadaran di balik otak itu tak bisa diamati sama sekali. Bagi kaum beriman, kesadaran itu bersifat spiritual (ruhaniah), yang lebih tinggi dari sekadar berpikir analitis, kritis, dan mendalam. Karena itu, jika manusia mengalami “brain rot”, maka sangat mungkin dia juga mengalami “spiritual rot”, penyusutan kesadaran spiritual!(*)