Selain cuaca yang ekstrem, Agam Rinjani juga menyebut kurangnya alat menjadi penyebab lambatnya evakuasi Juliana Marins di Gunung Rinjani.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Agam Rinjani menceritakan bagaimana dirinya dan tim SAR mengevakuasi jenazah Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang jatuh di jurang Gunung Rinjani. Pria bernama asli Abdul Haris Agam itu mengungkapkan bagaimana cuaca ekstrem benar-benar menyulitkan penyelamatan.
Setidaknya butuh waktu lima hari bagi tim SAR untuk mengevakuasi Juliana Marins yang jatuh di Gunung Rinjani pada Sabtu, 21 Juni 2025. Jenazah Juliana berhasil diangkat ke puncak empat hari kemudian, tepatnya pada Rabu, 25 Juni 2025.
Sebagaimana disebut di awal, cuaca ekstrem menjadi faktor utama evakuasi Juliana berlangsung cukup lama. Selain tentu saja karena peralatan evakuasi yang belum maksimal.
Dilaporkan Kompas.com, kabut tebal menghalangi kinerja tim SAR mencapai titik lokasi korban di jurang dengan kedalaman sekitar 600 meter. "Saat kondisi kabut, mata harus betul-betul fokus. Tiba-tiba ada batu jatuh di sini, di sana, kami seperti dilempari batu," ungkap Agam Rinjani, yang adalah operator tur Gunung Rinjani dalam bincang-bincang bersama Consina di Toraja Coffee House Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
Seperti kita tahu,Agam adalah orang yang mengangkut jenazah Juliana dari jurang. Ketika itu Agam membantu Unit SAR Gabungan dan berada di barisan terdepan saat proses evakuasi. Sebagaimana disebut di awal, menurut Agam, cuaca bukan satu-satunya penghambat pergerakan saat membantu korban.
Benar, Agam berbicara tentang alat bantu evakuasi.
Soal alat bantu evakuasi itu Agam punya cerita. Ketika itu dia ditunggu-tunggu oleh tim SAR gabung di Gunung Rinjani. Selain karena kemampuannya mengevakuasi korban, saat itu, dia juga diminta membawa tali tambahan.
Agam mengambil tambahan tali 600 meter di Kantor SAR NTB sebelum tiba di Gunung Rinjani pada Senin (23/6). Tak sekadar mengambil, Agam juga harus membeli tambahan tali sepanjang 200 meter untuk berjaga-jaga jika tali yang disiapkan masih kurang.
"Kami sering berdiskusi, harusnya ada shelter emergency di atas (puncak) untuk menyiapkan alat evakuasi," saran Agam. Shelter tersebut mestinya diisi dengan tali dan alat bantu evakuasi lainnya sehingga tidak perlu menunggu lama untuk evakuasi korban jatuh. "Kemarin ada korban, baru dibawa (tali) ke atas. Lumayan berat itu tali, membawa semua sampai ke atas membutuhkan waktu lama," tambah dia.
Walaupun rencana itu sudah digulirkan sejak lama tapi bukan perkara mudah menyediakan peralatan evakuasi lengkap di Puncak Rinjani. "Orang-orang di sana punya rasa kepemilikan yang tinggi. Jadi, (peralatan evakuasi) kadang dimiliki oleh orang-orang ini," guyon Agam.
Demi mempermudah akses, menurut Agam, saat ini membutuhkan manajemen penyelamatan yang baik sebelum menyiapkan berbagai fasilitas lengkap di Gunung Rinjani. "Kecelakaannya sudah setiap minggu atau setiap bulan, harusnya itu menjadi pelajaran," tambahnya.
Terlepas dari itu, Agam berharap, pemerintah bisa melibatkan diri lebih banyak dalam mencegah terjadinya kecelakaan di Gunung Rinjani. "Harapannya, kalau bisa zero insiden. Bagaimana tingkat kecelakaan di itu berkurang karena sebagai relawan, saya dan teman-teman terus membantu korban yang ada," kata Agam.
Salah satu caranya, lanjut Agam, dengan mendiskusikan konsep konsep pendakian yang aman dan nyaman bagi semua pendaki, baik turis asing maupun domestik. Jangan lupa juga untuk menambah fasilitas nyaman di beberapa titik jalur pendakian, seperti kebersihan toilet yang hingga kini masih menjadi tanggung jawab bersama.