Eks TGPF Ungkap Fakta Pemerkosaan 1998: Mencekam, Korban Trauma, Pertemuan Kostrad Disorot
Acos Abdul Qodir July 01, 2025 02:31 AM

Laporan khusus Tribunnews.com

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut belum ada "fakta keras" terkait pemerkosaan massal dalam Tragedi 13-15 Mei 1998 menuai kecaman luas dari publik, penyintas, dan para aktivis hak asasi manusia.

Mereka menilai pernyataan tersebut mengaburkan fakta-fakta kekerasan seksual yang terdokumentasi secara resmi dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan kesaksian lapangan para korban.

Mantan anggota TGPF Tragedi Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana, menegaskan kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa benar-benar terjadi dan tercatat jelas dalam temuan resmi. 

"Korban yang kami temui itu nyata. Tidak satu dua, tapi puluhan. Mereka mengalami trauma mendalam hingga tak mampu berbicara," ujar Nursyahbani saat ditemui di Jakarta, Kamis (19/6/2025).

Penyangkalan adanya pemerkosaan massal disampaikan Fadli Zon dalam sebuah sesi wawancara terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian yang dipimpinnya. 

Korban Didominasi Perempuan Tionghoa, Banyak Tak Mampu Bicara

Hasil investigasi TGPF mencatat 52 korban perkosaan, 14 korban pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 korban penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. Korban didominasi perempuan Tionghoa.

"Saya pergi (investigasi) di Jakarta ke RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), Tangerang, Surabaya. Laporan itu lebih banyak didapatkan dari dokter, perawat, rohaniawan pendamping, dan satu atau dua orang korban saja. Ada tim yang lain juga sehingga menghasilkan angka 52 korban," kata Nursyahbani.

Ia menambahkan, banyak korban dalam kondisi psikologis berat dan sulit diwawancarai.

Faktor trauma mendalam serta kondisi sosial politik yang mencekam di bawah rezim Orde Baru membuat pengumpulan data sangat sulit.

"Saya bertemu hanya satu atau dua orang itu dalam kondisi psikologis yang sangat tidak stabil. Seperti linglung atau malah juga gangguan jiwa, itu di RSCM dan rumah sakit di Tangerang," ungkapnya.

Situasi Mencekam dan Ketakutan Hambat Proses Investigasi

Selain faktor kondisi para korban, rasa takut terhadap rezim menjadi penghalang utama dalam investigasi TPGF. Bahkan, tenaga kesehatan yang menjadi sumber informasi enggan tampil di publik. 

Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan Nursyahbani, bahwa situasi di Tanah Air saat itu sangat mencekam, sehingga menjadi alasan lain mengapa sebagian korban tidak ingin ditemui.

Sekalipun para dokter, perawat, pendamping ataupun rohaniawan bisa ditemui dan memberikan informasi. Namun, katanya, mereka tidak mau untuk tampil di hadapan publik.

Situasi mencekam tersebut, menurutnya, semakin menjadi-jadi dengan adanya ancaman-ancaman yang diterima sejumlah masyarakat, kasus kematian aktivis Ita Martadinata, dan kematian ribuan orang di beberapa supermarket yang terbakar.

Ia juga membenarkan sebagian korban perkosaan saat itu takut melaporkan tindakan rudapaksa yang mereka alami kepada TGPF lantaran ada unsur dari pemerintahan Orde Baru yang ikut tergabung.

"Masalah kekerasan seksual, yang dalam situasi biasa saja itu sulitnya bukan main untuk mendorong korban untuk melapor, proses di kepolisian yang masih bias gender, apalagi dalam kasus kekerasan seksual pada Mei 98 itu," ungkap Sekretaris Jenderal KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) untuk Keadilan dan Demokrasi tahun 1998-2004 itu.

Ia juga mengungkap, TGPF menemukan fakta menarik bahwa Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Dibyo Widodo, diduga memantau kerusuhan dari helikopter dan meminta bantuan ABRI. Namun, komunikasi diduga terblokir. 

"Kapolri itu pakai helikopter itu meraung-raung di atas udara Jakarta melihat kerusuhan itu dan meminta tentara untuk membantu (pengamanan). Tapi ternyata itu telepon diblokir semua sehingga enggak bisa komunikasi dengan tentara," ungkapnya. 

"Malahan Wiranto Cs itu pergi ramai-ramai ke Malang, kalau tidak salah ada peresmian apa saya agak lupa," imbuhnya.

Rekomendasi Periksa Pertemuan di Kostrad, Fadli Zon Termasuk

PRABOWO DAN FADLI ZON - Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto dan Fadli Zon, di Amman, Jordania, 29 April 1998.
PRABOWO DAN FADLI ZON - Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto dan Fadli Zon, di Amman, Jordania, 29 April 1998. (X @fadlizon)

Nursyahbani mengatakan, dia sependapat dengan pernyataan yang disampaikan aktivis 1998 Ray Rangkuti di sejumlah media beberapa waktu terakhir, bahwa Fadli Zon tidak pernah ikut di dalam gerakan anti Soeharto dan anti Orde Baru pada 1998. Menurutnya, Fadli Zon justru dekat dengan keluarga Cendana.

Ia mengungkapkan bahwa TGPF merekomendasikan agar pertemuan di kantor Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 14 Mei 1998 diperiksa lebih lanjut. Pertemuan itu diduga dihadiri Letjen Prabowo Subianto, Fadli Zon dan beberapa tokoh lainnya.

Diketahui, pada saat tragedi kerusuhan Mei 1998, Prabowo Subianto menjabat sebagai Pangkostrad.

"Malah seingat saya rekomendasi pertama dari TGPF itu adalah memeriksa pertemuan di kantor Kostrad yang dihadiri oleh Pak Prabowo dan Fadli Zon, ada juga disebut beberapa nama termasuk almarhum Adnan Buyung Nasution," ungkapnya.

Ia menegaskan, kerja TGPF saat itu hanya sebulan sehingga tidak cukup waktu untuk mendalami isi pertemuan tersebut.

Namun, temuan mereka memverifikasi laporan awal dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK), yang sudah lebih dulu diserahkan ke Komnas HAM pada 9 Juni 1998.

Sebab, menurutnya, ada sejumlah pihak yang mempertanyakan metodologi yang digunakan TRUK dalam membuat laporannya soal tragedi tersebut.

Ketidaknyamanan Korban, Banyak yang Mengadu ke LSM

Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, yang saat itu aktif di PBHI, juga menyampaikan bahwa sebagian korban lebih nyaman melapor ke LSM seperti LBH atau PBHI.

"Yang di TGPF mungkin banyak ya di Komnas HAM ini.Tapi di kami ada beberapa lah ya. Tidak sampai lima orang tapi di PBHI waktu itu. Untuk mengadukan, melaporkan hal-hal gitu. Dan kami catatkan. Tapi boro-boro bisa dicatatkan. Karena kadang-kadang bicara saja sudah nangis duluan. Susah untuk ini (korban menceritakan). Itu kan soal manusia," jelas Hendardi, saat ditemui Tribunnews.com di Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Ia menambahkan, kehadiran tentara, polisi, dan jaksa dalam struktur TGPF membuat sebagian korban enggan melapor. Bahkan, ada korban yang memilih melarikan diri ke luar negeri ketimbang melanjutkan pengaduan.

"Ya karena begini, di TGPF juga kan ada tentara juga di situ. Ada dari, saya lupa, ada dari mungkin Jaksa, ada dari polisi, ada apa itu. Orang enggak selalu semua nyaman. Tapi mungkin mereka lebih nyaman lapor ke LBH atau ke PBHI, atau ke LSM lain," tambah Hendardi.

Atas alasan-alasan yang disampaikannya tersebut, Hendardi menegaskan, walaupun kasus pemerkosaan pada Mei 1998 tersebut tidak diadili secara hukum. Namun, ada temuan-temuan dari berbagai pihak yang menjadi saksi kekejian peristiwa tersebut yang membenarkan bahwa kasus pemerkosaan Mei 1998 itu benar-benar terjadi.

Sehingga, Hendardi menegaskan, Fadli Zon harus menyampaikan permintaan maaf kepada publik, terutama para korban dan keluarga korban atas pernyataannya yang dinilai mengaburkan peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998.

"Jadi, saya kira penulisan sejarah semacam ini atau ucapan-ucapannya yang menyangkal pemerkosaan dan sebagainya itu harus dia tarik kembali dan bahkan harus minta maaf kepada publik, kepada korban dan keluarga korban," tegasnya.

Kritik Amnesty: Dia Tidak Punya Kewenangan

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, saat ditemui di Jakarta, pada Kamis (19/6/2025). Usman menyatakan Menteri Kebudayaan Fadli Zon tidak memiliki otoritas untuk menyatakan benar atau tidaknya peristiwa pemerkosaan massal 1998 terjadi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, saat ditemui di Jakarta, pada Kamis (19/6/2025). Usman menyatakan Menteri Kebudayaan Fadli Zon tidak memiliki otoritas untuk menyatakan benar atau tidaknya peristiwa pemerkosaan massal 1998 terjadi. (Ibriza Fasti Ifhami)

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid juga menyesalkan pernyataan Fadli Zon.

Menurutnya, Fadli tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan ada atau tidaknya kekerasan seksual pada Mei 1998. 

"Saya menyesalkan sikap Menteri Kebudayaan atas fakta peristiwa perkosaan massal 1998. Saya tidak mengerti dia menyangkal perkosaan massal dengan didasarkan pada ada atau tidaknya bukti," kata Usman, saat ditemui Tribunnews.com di Jakarta, Kamis (19/6/2025). 

"Saya tidak mengerti, mengapa dia mengatakan itu? Dia bukanlah otoritas yang ditugaskan untuk melakukan penyelidikan atas perkosaan massal 1998," tandasnya.

Nursyahbani menambahkan, justru pemerintah lalai menindaklanjuti rekomendasi TGPF.

Menurutnya, alih-alih mengadili kasus pelanggaran hak asasi manusia tersebut, pemerintah justru menyangkal kebenaran terjadinya tragedi tersebut.

Padahal, kata Nursyahbani, laporan TGPF telah merekomendasikan pemerintah untuk segera menindaklanjuti kasus-kasus berkaitan Kerusuhan Mei 1998 yang dapat diungkap secara yuridis pihak-pihak mana saja yang terlibat.

"Kalau sekarang Fadli Zon bilang tidak ada bukti legal, bukti hukum bahwa kasus perkosaan itu ada, ya enggak mungkinlah, baik itu TRUK maupun TGPF kan bukan aparat hukum. Justru rekomendasinya TGPF agar ditindaklanjuti itu tidak dilakukan dalam 27 tahun terakhir. Kok malah sekarang disangkal?" tegas Nursyahbani.

Mengapa Disebut 'Massal'? Ini Penjelasannya

Eks anggota TGPF Kerusuhan Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana, menegaskan bahwa penyebutan "pemerkosaan massal" dalam tragedi Mei 1998 bukan tanpa dasar. Ia menyebut peristiwa itu sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan meluas.

"Massal itu berdasarkan fakta kejadiannya menyebar, bukan hanya di Jakarta, tapi juga di daerah lain," ujar Nursyahbani.

Ia juga menjelaskan bahwa dalam sejarah Indonesia, etnis Tionghoa kerap dijadikan sasaran ketika krisis melanda, sebagaimana terjadi pada kerusuhan 1998 pasca-krisis ekonomi yang membuat rupiah anjlok drastis.

"Kalau dulu Tionghoa memang mendapatkan privilege dari pemerintah kolonial Belanda, VOC, sebagai penarik pajak, sebagai kapiten. Dan ketika ada masalah sosial, mereka yang gampang disudutkan dengan kepanikan sosial dan kepanikan moral," jelasnya.

Nursyahbani menambahkan, dalam konflik sosial-politik di berbagai negara, pemerkosaan sering dijadikan alat penaklukan. “Perkosaan adalah senjata perang. Dan itu termasuk di dalam satu trauma sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” tegasnya.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menekankan bahwa istilah “massal” mengacu pada definisi “widespread” atau meluas dalam hukum internasional tentang kejahatan berat.

"Pendefinisian terhadap perkosaan massal itu harus dilihat dari perspektif hukum internasional hak asasi manusia. Kata 'massal' itu bukan seperti 'sunatan massal', kata massal itu diambil dari 'widespread' atau 'meluas' di dalam pendefinisian tindak pidana yang sangat serius di dalam hukum internasional, yaitu kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida," jelas Usman.

Ia mencontohkan bahwa kerusuhan tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di Solo, Medan, dan Surabaya.

"Kalau pun satu orang perempuan menjadi korban perkosaan, itu sudah sebuah tragedi, apalagi dilakukan oleh sekelompok orang sebagaimana dikatakan TGPF yaitu gang rape," ujarnya.

Usman mengingatkan bahwa perlindungan terhadap korban dan penegakan keadilan adalah hal utama, dan bahwa rekomendasi TGPF untuk membubarkan praktik premanisme hingga kini belum dilaksanakan.

Fadli Zon: Saya Tak Menegasikan Penderitaan Korban

Dalam klarifikasinya, Fadli Zon menegaskan bahwa ia tidak menihilkan penderitaan korban.

"Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini," kata Fadli Zon melalui keterangan tertulis, Senin (16/6/2025).

"Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998," ujarnya menambahkan.

Fadli menyebut data saat itu tidak konklusif.

"Berbagai tindak kejahatan memang terjadi, termasuk kekerasan seksual. Tapi istilah 'massal' harus digunakan hati-hati," ujarnya.

Ia juga mengklaim bahwa penulisan ulang sejarah oleh kementeriannya justru bertujuan menegaskan kontribusi perempuan dalam sejarah.

"Isu perempuan telah diakomodasi dalam buku ini hingga Mei 2025. Kami terbuka pada dialog publik," tuturnya.

Namun, respons publik dan para aktivis menunjukkan bahwa luka lama belum sembuh, dan upaya menyangkal sejarah hanya menambah penderitaan penyintas.

Discalimer: Keterangan mengenai pertemuan di kantor Kostrad pada 14 Mei 1998 sebagaimana disampaikan oleh Nursyahbani Katjasungkana belum mendapat konfirmasi dari pihak-pihak yang disebut.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.