TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghci menegaskan pada hari Selasa (1/6/2025) bahwa Iran hanya akan memulai kembali perundingan nuklir dengan Amerika Serikat jika menerima jaminan penuh bahwa AS tidak akan melakukan serangan militer lebih lanjut di wilayah Iran selama proses negosiasi berlangsung.
"Saya tidak yakin negosiasi akan dimulai kembali secepat itu. Agar kami dapat memutuskan untuk kembali terlibat, pertama-tama kami harus memastikan bahwa Amerika tidak akan kembali menyerang kami dengan serangan militer selama negosiasi," kata Abbas Araghchi kepada CBS News AS.
Pernyataan ini muncul di tengah dialog yang dikonfirmasi oleh Gedung Putih pada hari Senin (1/7/2025).
Di mana utusan Timur Tengah Presiden AS Donald Trump, Steve Witkoff tengah melakukan pembicaraan dengan pejabat Iran setelah tercapainya gencatan senjata yang mengakhiri konflik berdarah selama 12 hari.
Araghci menegaskan bahwa Iran tidak akan dengan mudah melepaskan program pengayaan nuklirnya yang dianggap sebagai 'masalah kebanggaan dari kejayaan nasional'.
“Kami menunjukkan dan membuktikan selama perang yang dipaksakan selama 12 hari ini bahwa kami memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri, dan kami akan terus melakukannya jika ada agresi yang dilancarkan terhadap kami,” ujar Araghchi, dikutip dari Anadolu Ajansi.
Pemerintahan Trump tengah berupaya merundingkan kembali kesepakatan nuklir yang dibatalkan oleh Presiden AS tersebut, yang awalnya ditandatangani pada 2015 oleh pendahulunya.
Kesepakatan tersebut mengatur pembatasan pengayaan uranium Iran hingga di bawah 3,67 persen untuk penggunaan bahan bakar pembangkit listrik nuklir komersial, sebagai imbalan atas pelonggaran sanksi ekonomi, dikutip dari Al Jazeera.
Setelah penarikan AS dari perjanjian ini, Iran merespons dengan meningkatkan kadar pengayaan uranium hingga 60 persen, jauh di atas ambang batas sipil tapi masih di bawah tingkat senjata nuklir.
Trump menyatakan bahwa serangan AS yang menghantam situs nuklir Iran telah “merusak” program tersebut, dan pejabat senior AS menyebutnya sebagai hambatan besar bagi Iran untuk menghidupkan kembali fasilitas nuklirnya.
Namun, Araghchi menepis klaim tersebut, menyatakan kepada CBS bahwa “teknologi dan sains untuk pengayaan tidak bisa dihancurkan dengan pengeboman.”
“Jika ada kemauan dari pihak kami, kami akan segera memperbaiki kerusakan dan menebus waktu yang hilang," kata Araghci.
Sejak serangan AS dan Israel, Iran menghentikan kerja samanya dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyebut perilaku kepala IAEA sebagai “destruktif” terhadap negaranya.
Resul Serdar, jurnalis Al Jazeera yang melaporkan dari Teheran, menyatakan bahwa ketegangan antara Iran dan IAEA meningkat.
Iran menyatakan hanya akan mengizinkan kembalinya inspektur IAEA setelah mendapatkan jaminan keamanan atas lokasi nuklir yang diserang AS dan Israel.
Menteri luar negeri negara-negara Kelompok Tujuh (G7) mendukung gencatan senjata antara Iran dan Israel serta mendesak dilanjutkannya negosiasi antara Teheran dan Washington.
“Kami menyerukan dimulainya kembali perundingan yang menghasilkan kesepakatan yang komprehensif, dapat diverifikasi, dan berkelanjutan yang membahas program nuklir Iran,” kata pernyataan bersama para menteri luar negeri G7 pada Senin (1/7/2025).
Mereka juga mengimbau semua pihak untuk menghindari tindakan yang dapat semakin mengganggu stabilitas kawasan.
Konflik antara Israel dan Iran meletus pada 13 Juni ketika Israel melancarkan serangan udara terhadap fasilitas militer dan nuklir Iran yang menewaskan sedikitnya 935 orang dan melukai lebih dari 5.300 lainnya.
Sebagai balasan, Iran meluncurkan serangan rudal dan pesawat tak berawak ke wilayah Israel, menewaskan 29 orang dan melukai ribuan lainnya.
Konflik diperparah dengan serangan udara AS terhadap fasilitas nuklir Fordo, Natanz, dan Isfahan milik Iran.
Konflik tersebut akhirnya mereda berkat gencatan senjata yang disponsori AS dan mulai berlaku pada 24 Juni.
(Farra)