Nasib Nelayan di Indonesia Harga Jaring Capai Miliaran, BBM Mahal, dan Bantuan Tak Sampai
rival al manaf July 01, 2025 07:30 PM

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Suasana lantai tiga Balai Besar Penangkapan Ikan (BBPI) di kawasan Tanjung Emas, Semarang, tampak ramai. 

Di ruangan tersebut perwakilan nelayan dari berbagai wilayah di Jawa Tengah berkumpul, namun bukan sekadar untuk menghadiri forum resmi. 

Mereka membawa harapan, kekhawatiran, dan unek-unek yang sudah lama terpendam.

Di bawah tema Sinergi dan Inovasi dalam Pelayanan BBPI untuk Mendukung Pengelolaan Penangkapan Ikan yang Berkelanjutan, para nelayan akhirnya punya kesempatan menyampaikan langsung berbagai kendala yang mereka alami kepada pihak terkait dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Namun, di balik tema besar itu, terkuak kenyataan pahit yang harus mereka hadapi di laut maupun darat.

Siswo Purnomo, perwakilan dari Paguyuban Nelayan Mitra Nelayan Sejahtera Juwana, memulai dengan persoalan alat tangkap. 

Dengan nada tenang namun penuh tekanan, ia menjelaskan betapa mahalnya harga jaring untuk kapal-kapal besar.

“Bayangkan, jaring purse seine untuk kapal 100 GT harganya bisa mencapai Rp 1 miliar. Tapi kualitasnya belum tentu bagus kalau tidak sesuai spesifikasi,” ujar Siswo, Selasa (1/7/2025).

Jaring yang tak sesuai spesifikasi tidak hanya menyulitkan di lapangan, tapi juga mempercepat kerusakan. Bahan yang rapuh akan mudah rusak karena terpapar panas dan air laut. 

Menurutnya, jaring purse seine seharusnya bisa bertahan tiga tahun, tapi tetap harus ada perawatan setiap tahunnya dan biaya perawatan bisa mencapai 50 persen dari harga baru.

“Makanya kami berharap ada sertifikasi resmi alat tangkap dari BBPI. Jangan sampai nelayan rugi karena beli alat tangkap yang ternyata cepat rusak,” pintanya.

Keluhan lain datang dari Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah, Riswanto. 

Ia menyoroti dampak kondisi global yang tidak menentu, terutama dalam hal biaya operasional.

“Sekitar 70 persen biaya operasional kami itu untuk bahan bakar. Ketika harga naik dan distribusinya tidak pasti, kami sangat terdampak,” katanya.

Menurut Riswanto, selain harga BBM, masalah lain yang tak kalah pelik adalah alat tangkap yang mahal dan tidak efisien. 

Padahal, efisiensi alat sangat penting agar nelayan bisa menangkap ikan secara tepat sasaran tanpa merusak ekosistem.

“Alat tangkap itu ada yang pasif, ada yang aktif. Setiap daerah punya karakteristik nelayan yang berbeda-beda. Misalnya di Juwana ada yang pakai purse seine sampai cinet. Keahlian manusianya juga beda-beda, jadi perlu pendekatan yang sesuai,” jelasnya.

Karena itulah, HNSI berharap BBPI bisa menjadi mitra strategis, bukan hanya sebagai lembaga riset atau pelatihan, tapi juga sebagai penyedia rekomendasi alat tangkap yang layak, bersertifikasi, dan tahan lama.

- Bantuan Sosial yang Tak Menyentuh Nelayan

Lebih lanjut, Riswanto juga menyuarakan kekecewaannya terhadap distribusi bantuan sosial tunai (BST) atau subsidi yang menurutnya belum berpihak pada nelayan.

“Pekerja sektor lain dapat BSU, tapi nelayan dan anak buah kapal (ABK) justru tidak dapat. Kami minta kebijakan khusus untuk nelayan. Kalau bisa, distribusinya dipercepat,” ujarnya.

Ia berharap BBPI bisa menjadi jembatan agar suara nelayan terdengar hingga ke pemerintah pusat.

Menurutnya forum yang digelar BBPI menjadi bukti bahwa nelayan tidak hanya butuh alat, tapi juga perlindungan dan pengakuan. 

"Nelayan keluar melawan ombak, mereka juga sedang menghadapi tantangan struktural yang tak kalah besar harga alat yang tinggi, ketidakpastian subsidi, dan kurangnya dukungan kebijakan yang tepat sasaran," imbuhnya. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.