Menguak Kejahatan Melalui Jejak Gigitan
Anggra Yudha Ramadianto July 02, 2025 07:20 PM
Ada berbagai jenis barang bukti yang ditinggalkan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Dimulai dari sidik jari, rambut, darah, cairan tubuh, hingga rekaman CCTV. Namun, siapa yang pernah menyangka bahwa gigitan yang membekas pada tubuh korban, baik hidup atau mati, ternyata juga bisa menjadi salah satu sumber informasi penting di TKP?
Umumnya, orang akan menganggap bahwa bekas gigitan hanya luka biasa yang menandakan adanya kekerasan fisik pada bagian tubuh seseorang. Padahal, luka itu bisa menjadi saksi bisu untuk membuka tabir kejahatan dalam proses penegakan hukum.
Dalam tulisan yang berjudul “Interpretation of Bloodstain Evidence at Crime Scene (Practical Aspect of Criminals & Forensic Investigation)", William Eckert menjelaskan bahwa jejak gigitan (bitemark) merupakan bekas gigitan pelaku yang terlihat berupa luka pada kulit korban. Kedalaman luka yang ditimbulkan dari gigitan ini bisa mencapai lapisan di bawah kulit terluar (dermis).
Bentuk jejak gigitan yang terbentuk akan mengikuti bentuk pola lengkung gigi pelaku pada saat menggigit. Jejak gigitan ini umumnya ditemukan pada tubuh korban kekerasan fisik, seperti pada kasus pelecehan seksual, penganiayaan, dan bahkan pembunuhan atau bisa juga ditemukan pada benda tertentu.
Jejak gigitan adalah salah satu objek studi yang dikaji di dalam forensik kedokteran gigi atau forensik odontologi. Menurut Panchbai dalam penelitian yang berjudul “Dental Radiographic Indicators, A Key To Estimation”, forensik odontologi merupakan metode untuk mengidentifikasi identitas seseorang dengan tahapan proses pengumpulan, pemeriksaan, dan pemaparan dari temuan barang bukti berupa gigi. Alphons Quandangen dalam buku “Catatan Forensik Odontologi” mengungkapkan bahwa salah satu ruang lingkup forensik odontologi adalah identifikasi gigitan, baik pada jenazah atau orang hidup.
Dengan demikian, dokter gigi yang memiliki keahlian di bidang forensik odontologi ini memiliki peran penting untuk melakukan identifikasi yang salah satunya melalui analisis jejak gigitan (bitemark analysis).
Ilustrasi Bitemark (Sumber: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bitemark (Sumber: Shutterstock)
Gigi merupakan salah satu organ tubuh manusia yang memiliki kekhasan bentuk pada setiap orang. Sims dan Furnes, dikutip Djohansyah Lukman dalam buku “Ilmu Kedokteran Gigi Forensik”, mengatakan bahwa kemungkinannya sangat kecil seseorang akan memiliki bentuk gigi yang sama dengan manusia lainnya. Probabilitasnya hanya 1:1.000.000.000. Selain itu, setiap orang juga memiliki susunan gigi yang unik.
Mungkin, ada saja orang yang memiliki posisi gigi dengan susunan nyaris ideal. Namun, tidak sedikit juga orang yang memiliki susunan gigi yang belum ideal, seperti adanya gigi yang bercelah satu sama lain (diastema), gigi yang saling bertumpuk (crowding), gigi yang berputar ke arah tertentu (rotation), atau gigi yang bergeser ke posisi tertentu (migration). Adanya variasi susunan gigi itulah yang pada akhirnya akan membentuk pola spesifik tertentu pada saat seseorang menggigit sesuatu. Karakteristik inilah yang justru seharusnya menjadikan bitemark analysis sebagai metode yang efektif untuk mengidentifikasi pelaku dalam suatu kasus kejahatan.
Ahli forensik odontologi menggunakan dua pendekatan untuk melakukan bitemark analysis, yaitu secara manual dan terkomputerisasi. Proses analisis secara manual dimulai dengan memotret luka bekas gigitan dengan teknik khusus. Hasil foto itu tadi kemudian akan dicocokkan dengan cetakan gigi tersangka. Dalam proses pencocokan akan diamati bentuk lengkung gigitan, jarak antar gigi, ciri khas lainnya dengan bantuan alat sederhana, seperti jangka sorong.
Untuk pendekatan yang lebih modern akan memanfaatkan teknologi digital. Foto luka bekas gigitan dan model gigi dianalisis dengan menggunakan software komputer yang mampu membuat simulasi tiga dimensi dan membandingkan pola secara akurat. Pendekatan ini memberikan tingkat presisi yang lebih tinggi dan sekaligus mengurangi unsur subjektivitas. Namun, hasil akhirnya tetap tergantung pada kualitas data awal dan kemampuan mengoperasikan software yang digunakan untuk menganalisis. Artinya, baik metode manual ataupun digital, keduanya tetap membutuhkan pengalaman dan ketelitian agar dapat memperoleh hasil yang akurat.
Hasil bitemark analysis dapat digunakan sebagai alat bukti hukum, khususnya untuk kasus pidana kekerasan fisik. Meski demikian, hingga saat ini belum ada dasar hukum yang mengatur secara khusus mengenai penggunaan metode itu dalam proses penegakan hukum. Dasar hukumnya masih mengacu pada ketentuan umum terkait alat bukti yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 184 KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Keterangan ahli dalam Pasal 186 KUHAP dijelaskan sebagai apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan itu tentunya diberikan berdasarkan keahlian yang dimilikinya berkaitan dengan sesuatu hal atau ilmu tertentu.
Pada konteks bitemark analysis, dokter gigi ahli forensik odontologi akan memberikan keterangan dengan menguraikan analisisnya berdasarkan keahliannya untuk menilai fakta-fakta yang tidak bisa dijelaskan secara umum oleh orang awam, termasuk hakim. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dokter gigi ahli forensik odontologi akan menjabarkan informasi mengenai identifikasi individu pemilik gigitan, jenis kelamin, usia, dan bahkan kemungkinan rasnya. Secara teknis, hasil analisis tersebut akan menyatakan apakah pola gigi tertentu cocok dengan pola gigi yang dimiliki oleh seseorang yang diduga sebagai tersangka. Secara substansial, keterangan tersebut akan membantu hakim dalam memahami fakta-fakta yang memerlukan pengetahuan atau keterampilan teknis tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hasil bitemark analysis merupakan alat bukti hukum yang dapat dikategorikan sebagai keterangan ahli.
Vanesa dalam penelitian “Kegagalan Analisis Bitemark Dalam Identifikasi Forensik” mengatakan bahwa penggunaan bitemark analysis tidak selalu berhasil mengungkap kejahatan. Bahkan, terdapat beberapa kasus salah vonis akibat dari kesalahan menyimpulkan hasil analisis pola gigitan. Salah satunya adalah kasus Keith Allen Harward yang dinyatakan bersalah pada tahun 1982 karena dianggap membunuh seorang pria dan memperkosa istri pria tersebut. Akhirnya, Harward dibebaskan setelah dipenjara selama 34 tahun setelah dilakukan kaji ulang melalui tes DNA.
Kesalahan analisis dan interpretasi jejak gigitan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti lokasi gigitan, gerakan korban saat digigit, kondisi kulit, proses penyembuhan luka, dan keterampilan para analis. Bahkan, waktu pengambilan sampel pun juga akan mempengaruhi hasil analisis. Pada korban hidup, misalnya, semakin lama waktu pengambilan dari sejak pertama kali kejadian maka bentuk luka akan semakin terdistorsi oleh proses penyembuhan. Itulah kenapa para pakar menyarankan agar terlebih dahulu fokus mengambil sampel DNA dari air liur yang terdapat pada area sekitar gigitan yang ditemukan pada korban. Dengan catatan bahwa sampel DNA belum terkontaminasi oleh zat lain, seperti air ataupun sabun. Dengan demikian, alangkah baiknya apabila hasil bitemark analysis ini tidak dijadikan sebagai alat bukti utama, tetapi sebagai alat bukti pendukung.
Berangkat dari berbagai kelebihan dan keterbatasannya, bitemark analysis sebaiknya dipandang secara proporsional dalam proses penegakan hukum. Metode itu memang dapat menjadi petunjuk awal yang berguna, terutama bila dikombinasikan dengan bukti lain seperti sampel DNA. Namun, hanya menjadikannya sebagai satu-satunya dasar vonis tanpa dukungan bukti lainnya dapat berisiko menimbulkan kesalahan fatal dalam sistem peradilan. Oleh karena itu, penting kiranya bagi aparat penegak hukum, dokter gigi ahli forensik odontologi, hingga masyarakat luas untuk memahami bahwa keahlian harus digunakan secara hati-hati demi menjaga integritas keadilan dan mencegah lahirnya vonis-vonis yang keliru di kemudian hari.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.