Grid.ID- Pernikahan kini bukan sekadar soal cinta atau anak. Di tengah dinamika sosial-ekonomi, pernikahan berubah menjadi strategi finansial yang semakin menguntungkan bagi mereka yang tahu cara memainkan peran dalam kemitraan hidup ini.
Dulu pernikahan ditunjukkan untuk yang kaya dan miskin, sehat maupun sakit. Tapi realitanya kini berubah.
Pernikahan lebih sering terjadi di kalangan orang-orang yang sudah mapan secara ekonomi. Mereka yang berpendidikan tinggi dan berpenghasilan besar jauh lebih mungkin menikah.
Tak hanya itu, mereka juga cenderung menikah dengan pasangan yang berasal dari latar belakang sosial serupa. Pernikahan menjadi semacam klub ekonomi eksklusif.
Sementara itu, mereka yang berada di bawah tangga ekonomi justru semakin jarang menikah. Bahkan, di antara mereka yang memiliki disabilitas atau pekerjaan tidak tetap, tingkat pernikahan jauh lebih rendah dan risiko perceraian dua kali lipat lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan lagi tentang berbagi peran rumah tangga, melainkan soal berbagi konsumsi dan gaya hidup.
Seminar-seminar pranikah masa kini bahkan lebih fokus pada keuangan. Banyak pasangan membahas soal akun bank pribadi, aset yang dibawa masing-masing, dan bagaimana pola pengeluaran akan dilakukan bersama.
Pernikahan kini seperti membentuk kemitraan ekonomi. Bahkan ada yang menyebutnya seperti mendirikan bisnis kecil nirlaba yang membosankan namun stabil.
Tren ini sejalan dengan pergeseran budaya. Pasangan kini lebih tertarik menikah karena alasan praktis. Bukan karena cinta membara, tapi karena menyadari bahwa dua penghasilan bisa menunjang gaya hidup yang lebih baik.
Peneliti Genevieve Heard menyebutkan, banyak orang tidak akan mengaku menikah demi uang. Namun realitanya, mereka sadar bahwa menikah dengan pasangan berpenghasilan serupa memberikan keamanan ekonomi.
Angka pun mendukung fakta ini. Di Australia, sebagaimana dikutip dari Financial Review, Jumat (4/7/2025), 67 persen orang yang berpenghasilan di atas 2000 Dolar AS per minggu menikah.
Bandingkan dengan mereka yang berpenghasilan di bawah 400 Dolar AS, hanya 42 persen yang menikah. Bahkan di antara kelompok berpenghasilan rendah, jumlah yang lajang lebih tinggi daripada yang menikah.
Lulusan universitas lebih sering menikah dibandingkan yang hanya lulusan sekolah menengah. Dalam kelompok usia 30–34 tahun, 61 persen perempuan dengan gelar sarjana menikah, sementara hanya 53 persen dari yang hanya tamat sekolah. Dalam waktu sepuluh tahun saja, pernikahan untuk perempuan dengan pendidikan rendah turun drastis.
Tren ini memperlihatkan bahwa pernikahan makin mirip sistem kasta. Dua orang dengan pendidikan dan status ekonomi tinggi lebih cenderung berjodoh.
Generasi muda bahkan lebih kuat mempertahankan pola ini dibanding generasi sebelumnya. Jika ini berlanjut, hubungan romantis dapat memperkuat ketimpangan ekonomi antar generasi.
Pernikahan juga terbukti mampu mempercepat akumulasi kekayaan. Penelitian menunjukkan bahwa pria yang menikah bisa meningkatkan pendapatannya hingga 15 persen.
Untuk wanita, efek ini baru mulai terlihat seiring mengecilnya kesenjangan upah antara pria dan wanita. Tapi yang lebih mencolok adalah kekayaan bersih.
Wanita menikah lima kali lebih kaya daripada wanita lajang. Pria menikah dua setengah kali lebih kaya dibanding pria lajang.
Mengapa begitu? Karena pernikahan bukan hanya soal menggabungkan penghasilan.
Ia juga membawa kesempatan dan perilaku yang mendukung pengumpulan kekayaan. Ada efek akselerasi yang muncul dari komitmen, semangat tim, dan nilai-nilai ekonomi yang terbentuk dalam pernikahan.
Namun, ini juga memperkuat kesenjangan. Direktur Australian Institute of Family Studies, Alan Hayes, mengkhawatirkan bahwa pola pasangan semacam ini akan memperdalam siklus kemiskinan antar generasi.
Fenomena serupa terlihat di AS, di mana menjadi ibu tunggal menjadi isu kelas sosial. Di sana, hanya 10 persen ibu lulusan universitas yang hidup tanpa suami, sedangkan di kalangan ibu lulusan SMA angkanya mencapai 36 persen.
Dengan semakin banyak perempuan yang berpendidikan tinggi dan bekerja, mereka cenderung menikah dengan sesama lulusan universitas atau rekan kerja. Akibatnya, pernikahan lintas kelas sosial menjadi semakin langka. Lingkungan tempat tinggal dan pendidikan yang makin tersegregasi juga mempersempit kesempatan untuk berjumpa lintas kelas sosial.
Penelitian besar tentang uang dan cinta menunjukkan bahwa pria kini tidak hanya menerima perempuan yang bekerja, tapi juga menginginkan pasangan yang tetap aktif secara ekonomi. Hanya 12 persen pria yang merasa tidak nyaman bila penghasilan istrinya lebih tinggi. Bahkan 40 persen dari pria yang istrinya tidak bekerja berharap pasangan mereka tetap mencari penghasilan.
Dalam hal ini, menjadi ibu rumah tangga dianggap sebagai kemewahan. Kebanyakan perempuan bekerja meski telah memiliki anak.
Tekanan ini, menurut konselor Barbara Darling, justru banyak datang dari para suami. Peran tradisional dalam pernikahan sudah berubah. Sekarang banyak pasangan lebih memilih outsourcing untuk urusan rumah tangga, seperti pengasuhan anak, memasak, dan perawatan rumah.
Menurut dua ekonom dari Wharton School, Betsey Stevenson dan Justin Wolfers, kini pernikahan bergerak dari tempat berbagi produksi ke berbagi konsumsi. Mereka menyebutnya “pernikahan hedonik”, yaitu pernikahan yang dibangun dari kesamaan nilai, aktivitas, dan minat, bukan sekadar perbedaan fungsi seperti zaman dulu.
Sayangnya, perubahan ini membuat pria dari kelas ekonomi bawah makin sulit menikah. Hilangnya pekerjaan bergaji tetap, naiknya pekerja lepas, dan sistem kesejahteraan justru membuat pria berpenghasilan rendah kurang menarik di mata perempuan. Secara rasional, perempuan memilih tidak menggantungkan masa depan pada pria dengan prospek ekonomi buruk.
Bahkan jika pria tersebut sudah pernah menikah dan harus membayar tunjangan anak, posisinya makin sulit. Sebagian besar pria dalam skema tunjangan penghasilan berada di kelompok berpendapatan rendah. Ini membuat mereka membawa beban finansial ke hubungan baru dan memperburuk peluang untuk menikah kembali.
Namun ada kabar baik. Meskipun jumlah pernikahan menurun, tingkat perceraian juga turun.
Artinya, pernikahan yang terjadi cenderung lebih stabil. Tapi ini juga memperkuat fakta bahwa pernikahan kini menjadi institusi eksklusif bagi kalangan elite.
Uang adalah sumber konflik paling umum dalam pernikahan. Masalah keuangan juga menjadi salah satu penyebab utama perceraian.
Statistik menunjukkan bahwa pria berusia 40–44 tahun dengan penghasilan di bawah $400 seminggu memiliki tingkat perceraian 17 persen. Sementara mereka yang berpenghasilan di atas 1600 Dollar AS hanya 9 persen.
Waktu kerja juga memengaruhi stabilitas pernikahan. Anehnya, pria yang hanya bekerja paruh waktu dua kali lebih mungkin bercerai dibandingkan pria yang bekerja lebih dari 50 jam seminggu. Artinya, bukan banyaknya jam kerja yang jadi masalah, tapi sedikitnya penghasilan yang bisa memperkeruh hubungan.
Jika pernikahan adalah usaha bersama dan bukan semata-mata urusan hati, maka tidak heran bila mereka yang paling banyak menikah adalah mereka yang paling kaya. Dari 200 orang terkaya di Australia, 85 persen di antaranya menikah. Hanya satu orang dalam daftar itu yang menjalani hubungan tanpa ikatan resmi.
Dengan semua data ini, satu hal jadi jelas: pernikahan bukan hanya soal cinta. Bagi banyak orang, pernikahan adalah cara cerdas untuk membangun stabilitas finansial, memperkuat posisi sosial, dan menciptakan masa depan yang lebih kaya secara harfiah.