TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Beberapa waktu lalu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Optimalisasi Penerimaan Negara.
Satgas ini dibuat untuk mendampingi kerja-kerja kementerian dalam meningkatkan penerimaan negara di berbagai sektor.
Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara ini dipimpin langsung oleh Herry Muryanto selaku kepala dan Novel Baswedan selaku Wakil Kepala Satgassus.
Sebelumnya, kedua mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu juga tergabung dalam Satgassus Pencegahan Korupsi.
Herry adalah mantan deputi koordinasi dan supervisi KPK. Adapun Novel adalah mantan penyidik senior KPK.
Saat di KPK, Novel dikenal karena perannya dalam mengungkap berbagai kasus korupsi besar di Indonesia.
Termasuk kasus korupsi e-KTP, Wisma Atlet, dan kasus suap lainnya. Bukan hanya itu, karena kegetolannya mengungkap kasus korupsi, Novel juga pernah mengalami serangan air keras yang melukai wajahnya saat menjalankan tugas.
Selain itu, ia dan beberapa mantan pimpinan KPK juga pernah mengalami teror pemboman di sekitar kediaman.
Lantas, apa dan bagaimana sebenarnya peran Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara yang baru dibentuk oleh Kapolri ini?
Apa saja yang dikerjakan oleh Novel Baswedan dkk yang ada di Satgassus tersebut?
Dalam wawancara eksklusif bersama Tribunnews di Palmerah, Jakarta pada Kamis (3/7) kemarin, Novel membeberkan awal berdirinya Satgasus Optimalisasi Penerimaan Negara tersebut. Berikut wawancara lengkapnya:
Tanya (T): Bagaimana riwayat berdirinya Satgasus Optimalisasi Penerimaan Negara ini, dan bagaimana Anda bisa terjun ke dalam Satgasus ini?
Jawab (J): Satgassus Polri ini sebetulnya dibentuk sejak 2022. Waktu itu saya dan teman-teman "lulus lebih cepat" di KPK dengan TWK yang manipulatif. Tapi pada dasarnya setelah itu Kapolri menawarkan ada kebutuhan terkait pencegahan korupsi. Waktu itu kami dipandang punya keahlian, punya kompetensi yang bisa digunakan untuk pengabdian seperti itu.
Karena konteksnya sama, maka waktu itu saya dan teman-teman (eks KPK) ada 40 sekian orang, setuju dan kami menerima menjadi ASN Polri. Kemudian Kapolri mengarahkan untuk Satgassus ini langsung di bawah Kapolri dan bertugas terkait dengan pencegahan korupsi.
Orang mungkin mengira pencegahan korupsi itu sekedar sosialisasi, padahal pencegahan korupsi itu ruang yang sangat luas sekali. Mencegah korupsi harus berbicara soal regulasi, perbaikan sistem hingga tata kelolanya. Apalagi Polri sendiri awalnya tak punya satuan kerja yang bertugas di bidang pencegahan korupsi.
Berjalan kurang lebih 2 tahun lamanya, tepatnya akhir 2024, terbentuklah Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri yang punya Direktorat yang membidangi pencegahan di bawah arahan Kapolri langsung. Selain itu, sekitar pertengahan 2024, Kapolri sudah mendorong kami agar bisa berkiprah di bidang penerimaan negara. Karena memang persoalan di penerimaan negara itu kan banyak sekali.
(T): Apa bedanya dengan tugas sebelumnya, pencegahan dan penerima negara ini?
(J): Kalau pencegahan korupsi, kita fokusnya ke sistem mendalam. Tapi kalau penerimaan negara, kita fokus bagaimana mendorong agar penerimaan negara itu yang bisa jadi tidak optimal gara-gara tata kelolanya bermasalah, atau ada kebocoran, atau ada hal yang nggak dioptimalkan dalam upaya mendapatkan penerimaan negara, ini bisa dikerjasamakan untuk didorong agar bisa menjadi lebih meningkat kurang lebih.
Kalau bicara pencegahan korupsi, sektornya memang kita bicara terkait dengan masalah good governance, perbaikan tenaga kelola, dan sebagainya.
(T): Jadi penerima negara ini lebih luas ketimbang pencegahan?.
(J): Pencegahan lebih luas daripada penerimaan negara. Salah satu persoalan pencegahan praktik korupsi itu adalah penerimaan negara yang terhambat atau akan berkurang, kurang lebih begitu. Kalau penerimaan negara dan pencegahan korupsi akan berbeda sektornya.
Contohnya kalau bicara penerimaan negara, kita akan melihat penerimaan negara ini dibagian apa aja sih? Terus kementerian lembaga yang berkontribusi atau berpotensi mendapat penerimaan besar tapi sepertinya kurang optimal itu mana saja.
Jadi dengan begitu kita bisa bekerjasama dan berkolaborasi dengan kementerian lembaga terkait untuk bisa mengoptimalkan.
(T): Apakah Satgassus ini dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan seperti aparat penegak hukum lainnya?
(J): Enggak, enggak. Satgas Khusus ini kami tidak punya kewenangan apa-apa. Oleh karena itu dalam bekerja kami tentunya dengan cara bekerjasama dengan kementerian lembaga.
Itu pun kalau kementerian lembaganya membuka diri. Karena ada juga beberapa bidang kerja yang sepertinya enggak resisten ketika didekati untuk diajak bekerja sama, untuk dibantu bisa mengoptimalkan atau memperbaiki tata kelola yang mungkin kurang optimal.
Dan karena kami enggak diberikan kewenangan, pola pekerjanya pun kami bekerjasama dengan asosiasi barangkali atau pihak-pihak pengawasan eksternal.
Bisa juga informasi dari masyarakat terkait persoalan-persoalan yang berhubungan dengan penerimaan negara.
(T): Jadi hasil pekerjaan Satgassus ini wujudnya apakah rekomendasi atau apa? Dan kemudian diberikan kepada siapa?
(J): Karena kami bidangnya lebih ke preemtif, kepada upaya mencegah dan mengantisipasi, maka yang kami lakukan adalah deteksi.
Kami melakukan kajian-kajian, lalu melakukan aksi dan beberapa membuat rekomendasi serta melakukan monitoring apakah rekomendasi itu dilaksanakan.
Rekomendasi itu nanti akan dibuat, ditandatangani oleh Kapolri, disampaikan kepada pimpinan kementerian atau lembaga yang terkait dengan rekomendasi itu, juga ditembuskan kepada Presiden.
Dan memang persoalannya begini, beberapa masalah yang kita temukan itu seringkali bukan karena satu kementerian atau lembaga yang kemudian bermasalah sendiri.
Kita seringkali melihat ada persoalan bagaimana antar kementerian dan lembaga koordinasinya kurang optimal. Sehingga permasalahan terkait penerimaan negara menjadi persoalan. Terutama terkait dengan masalah regulasi.
(T): Tanda Anda sebutkan juga ada Kortas Tipidkor. Lalu apa hubungan Kortas Tipidkor dengan Satgassus Penerimaan Negara? Apakah ada korelasinya?
(J): Ketika berbicara penerimaan negara, itu biasanya terjadi praktek, penerimaan negara yang nggak optimal, praktik-praktik koruptif.
Praktek koruptif itu belum tentu korupsi. Tapi koruptif itu bisa dicegah. Dan Kortas punya Direktorat Bidang Pencegahan. Sehingga belum sampai terjadi korupsi.
Tapi beberapa kejadian atau keadaan, itu praktek koruptifnya sudah sampai terjadi tindak pidana korupsi. Ketika terjadi seperti itu, kami bisa koordinasi dengan Kortas untuk mendorong mereka bekerja, melakukan tugasnya, penindakan dalam konteks ini adalah penyidikan dan seterusnya.
Jadi dalam konteks kerjasama tentu kami berkolaborasi karena sektor penerimaan negara ini adalah masalah dalam penerimaan negara, adalah salah satu bagian dalam upaya-upaya pencegahan korupsi dan dalam keadaan tertentu, itu bisa ditemukan adanya tindak pidana korupsi. Sehingga koordinasinya pasti akan berjalan dengan sehari-hari.
(T): Apakah nantinya rekomendasi Satgassus ini bisa diterima oleh pihak Kortas Tipidkor untuk dijadikan landasan penyelidikan sebuah kasus?
(J): Seharusnya, kalau kita bicara aturan perundang-undangan, semua pegawai negeri yang bekerja, menemukan adanya kejahatan, wajib melapor kepada penyidik. Jadi ini bunyi Pasal 108, Ayat 3, Undang-Undang No. 881 tentang KUHAP.
Jadi kalau bicara terkait dengan tadi, kalau ada kejadian melapor, sebetulnya bukan kewajiban kami sebagai Satgasus saja, tapi semua pegawai negeri ketika mengetahui adanya dugaan kejahatan, termasuk dalamnya adalah tindak pidana korupsi, maka wajib untuk melaporkan. Sehingga kewajiban itu selain mengikat kepada PNS lain, juga kepada kami.
Jadi jangan nanti dianggapnya seolah-olah hanya kami yang punya kewajiban. Tidak, semua pegawai negeri wajib.
(T): Belakangan muncul pembahasan kejahatan keuangan di bidang sumber daya alam dan lingkungan atau Green Financial Crime. Apakah ada korelasi dari Satgassus atau tidak.
(J): Terkait penerimaan negara di sektor sumber daya alam, memang banyak sekali potensi yang tidak optimal. Baik itu di sektor ekspor maupun pajak.
Ataupun beberapa dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP), karena kalau PNBP yang mengelola kementerian ESDM barangkali ya. Jadi tiga sektor itu yang bisa terjadi potensi penerimaan tidak optimal, terus kemudian di tiga tempat itu yang terjadi persoalan.
Tapi terlepas dari itu, bisa jadi masalahnya itu bukan hanya regulasinya yang kurang baik, kurang optimal.
Bukan hanya terkait dengan sistem atau tata kelolanya yang kurang baik. Tapi bisa jadi ada niat jahat, ada kejahatan di sana.
Nah, ketika itu terjadi adalah kejahatan, ada orang yang punya niat jahat mendapatkan keuntungan dengan cara menghindarkan kewajiban untuk penerimaan negara, maka itu kejahatan.
Jadi sebetulnya sektornya memang ada kaitan, pasti ada kaitan. Tentunya kaitannya adalah kalau pajak ya Ditjen Pajak.
Tapi kalau terkait ekspor adalah Ditjen Bea Cukai. Kalau terkait dengan PNBP, kemungkinan besar adalah terkait dengan Kementerian ESDM dan yang memonitor atau mengawasi itulah Itjen Kementerian Keuangan. Nah, bidang-bidang itu tentunya kami koordinasi.
Tapi memang sementara ini kami belum masuk ke Ditjen Bea Cukai, karena Dirjennya baru. Saya juga belum sempat berbincang dengan beliau.
Sementara dengan Dirjen Pajak, dengan Itjen Kementerian Keuangan, dengan Kementerian ESDM, kami sudah mulai menyusun langkah-langkah untuk melakukan upaya terkait mendorong penerimaan negara yang lebih baik.
(T): Apakah Satgasus pernah mengkaji atau meneliti dugaan fraud terkait ekspor batu bara. Isunya PNBP ditentukan berapa kalori yang diekspor namun pada kenyataannya ketika diekspor, kalorinya akan diubah menjadi kecil.
(J): Yang melakukan kajian itu sudah banyak sebenarnya. KPK saya kira sudah pernah. PPATK pernah juga membuat analisis-analisis terkait dugaan-dugaan, tapi dari perspektif aliran dana.
Dan tentunya Itjen Kementerian keuangan juga sudah punya beberapa kajian soal itu.
Sehingga kami bisa berkolaborasi dan bekerjasama dengan beberapa kementerian untuk mendorong praktik-praktik itu bisa dieliminasi, bisa dihilangkan lebih baik lagi, dan juga ditindak hal-hal yang masih terjadi ataupun yang telah terjadi.
(T): Menurut Anda, terkait dengan menentukan, 'oh ini derajat kalorinya sekian, untuk royaltinya sekian'. Itu sebenarnya Bea Cukai atau siapa.
(J): Itu yang melakukan surveyor. Memang seringkali ada permainan di sana. Dan saya kira kita juga beberapa diskusi dari Kementerian ESDM dari bidang-bidang terkait, kita berharap nanti pelan-pelan bisa mendorong masuk ke sana untuk mencegah dengan cara perbaikan praktik tata kelola atau bikin regulasi yang lebih baik.
Tapi praktik-praktik yang telah terjadi mesti harus dikejar, karena itu kejahatan yang tidak boleh kemudian dimaklumi, Itu kejahatan serius, pastinya.
(T): Apakah ada pengkajian terkait dugaan fraud soal permainan pasokan batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sehingga menimbulkan kerugian negara yang besar?
(J): Emang itu kebangetan. Bukan hanya dia main dari sisi harga, tapi merusak mesin-mesin PLTU itu.
Belum lagi masalah dampak pencemarannya akan lebih berat. Jadi saya tentunya mendengar, walaupun nggak tahu detilnya, setahu saya sudah ada proses penyelidikan yang dilakukan oleh pemerintah aparat penegak hukum. Sepertinya Kortas, ya.
Tentunya kita berharap prosesnya dilakukan dengan komprehensif sehingga aktor intelektualnya pun sudah dapat dan kerugian negara, dampak dari kejahatan itu bisa dipulihkan.
Ini yang menurut saya bagus dan tentunya karena itu sedang proses penyelidikan, kita nggak masuk di situ dulu.
(T): Kembali ke fungsi Satgassus, apa fokus pekerjaan yang saat ini ditangani?
(J): Ketika awal-awal kami fokus ke bidang energi dan pangan. Walaupun kemudian ada permintaan dari Kementerian Sosial untuk bantuan sosial, kami masuk juga. Dan ada beberapa kementerian dan lembaga terkait yang kami masuk.
Terkait energi, kami, contohnya, masalah tambang, jaminan reklamasi. Jaminan reklamasi ini kan tata kelolaannya sengkarut lah.
Bahkan kalau ditanya siapa yang punya catatan soal jaminan reklamasi, ini juga nggak jelas.
Apalagi ada upaya pihak-pihak tertentu mengambil dari uang yang seharusnya menjadi jaminan reklamasi, itu seharusnya dipakai untuk menutup lubang-lubang tambang yang tidak ditutup oleh orang-orang yang seharusnya, atau pemilik-pemilik izin usaha pertambangan (IUP) yang seharusnya menutup.
Ada beberapa lagi yang lain yang dilakukan, dan tentunya polanya itu kami lebih banyak mencoba mendeteksi permasalahan, berbicara dengan kementerian terkait, lalu kita ajak mereka kolaborasi dan bekerja sama melakukan langkah-langkah.
Biasanya langkah-langkah ini tidak hanya berkaitan dengan satu kementerian saja, karena masih ada kaitan dan perlu kerjasama dengan banyak pihak.
Jadi, penerimaan negara ini kan sebetulnya kita bisa klasterkan. Yang pertama, pajak, kedua bea cukai, ketiga PNBP dan penerimaan lain.
(T): Jadi, fokusnya tiga saja? Pajak, bea cukai, penerimaan negara bukan pajak?
(J): Penerimaan negara bukan pajak pun banyak sekali. Saya lupa jumlah totalnya, tapi itu luar biasa banyak.
Sehingga kami coba kerjasama dengan Ijen Kementerian Keuangan. Karena yang monitoringnya mereka.
Dan mereka membuat pola kerja dengan secara bertahap. Sekarang ini kami sedang masuk ke sektor ESDM, KKP, dan Perhubungan. Itu pun adalah poin yang dijadikan fokus dari Itjen Kementerian Keuangan.
Dan kami kerjasama dengan mereka. Di masing-masing kementerian itu, kami kerjasama dengan Irjen Kementeriannya dan Dirjen-Dirjen Pelaksana.
Sehingga kita lihat apa sih permasalahannya. Terus beberapa hal yang mungkin ada persoalan-persoalan. Kita membuat kajian-kajian untuk memfokuskan permasalahan. Untuk bisa dirapikan dalam konteks regulasi dan tata kelola.
(T): Apa benar selama ini Bea Cukai adalah instansi yang kurang kooperatif terhadap Satgas ini?
(J): Memang Bea Cukai ini challenging. Karena kalau kita lihat, potensi penerimaan yang banyak hilang itu salah satunya di Bea Cukai, dan Bea Cukai itu bayangkan, kita bukan hanya bicara penerimaan negara, tapi kedaulatan.
Ada tiga hal terkait dengan Bea yang pertama, Cukai ada juga.
Kedua terkait upaya negara untuk membatasi. Yang ketiga adalah upaya negara melarang barang-barang tertentu masuk.
Kalau pengawasannya itu tidak dilakukan dengan baik, atau tugas-tugas kewajibannya tidak dilakukan dengan baik, dampaknya kedaulatan ini nggak akan tercapai.
Bayangkan, ketika negara berkepentingan menjaga produktivitas dalam negeri.
Sektor pangan, kita bicara petani, yang harus dijaga ketika jangan sampai ketika panen itu impor masuk. Tapi kemudian praktik barang masuk itu tidak bisa atau dibiarkan.
(T): Maksudnya barang ilegal?
(J): Iya, ilegal. Dan itu biasanya ilegal itu, ada yang benar-benar ilegal, ada yang kongkalikong dengan pejabat terkait. Nah ini yang persoalan.
Hal-hal begitu menjadi permasalahan dan tentunya bukan hanya sektor pangan, tapi kita lihat beberapa waktu yang lalu tekstil kita hancur-hancuran gara-gara masalah itu. Masalah besi, besi baja.
Di Indonesia banyak perusahaan-perusahaan tekstil, sementara di China juga banyak produksi tekstil yang mereka mendapatkan insentif dari negaranya.
Kalau kemudian dibiarkan barang dari sana bersaing secara langsung dengan produksi dalam negeri, habislah.
Kenapa? Seandainya mereka mau jual harga pokok produksi pun, mereka sudah dapat untung. Kenapa? Karena ada insentif.
Di Indonesia, ketika kemudian dibiarkan, mau bersaing mau jual harga berapa?
Belum lagi dari bahan baku, dari mesin, banyak lagi hal lain yang membuat kita akan kalah. Dampaknya kalau kalah, ini bukan sekadar usaha atau produksi kita turun, tapi masalahnya PHK yang luar biasa banyak.
Jadi banyak hal yang kemudian dampaknya itu efek dominonya luar biasa. Maka memang menurut saya, hal ini perlu mendapatkan pengawasan yang lebih baik.
Tentu kita bersyukur, sekarang Dirjen Bea Cukainya baru. Kita berharap dirjennya baru, semangat baru.
Dan mesti kooperatif lah. Dan kami juga hadir, kalaupun kami nanti beberapa waktu ke depan akan hadir, tentunya dalam konteks membantu dan mendukung agar bisa kepentingan negara benar-benar bisa dilaksanakan dengan pelaksanaan tugasnya di Bea Cukai
(T): Hal terakhir yang ingin disampaikan terkait Satgassus ini?
(J): Di postur APBN kita, pajak dan bea cukai itu sekitar 82,5 persen. Dan 17,5% PNBP. Bayangkan kita punya sumber daya alam yang begitu luar biasa, ada BUMN-BUMN, semua ada di situ tuh sektornya tuh, dan kita hanya 17 sekian persen dari penerima.
Kecil sekali. Jadi kita harus bisa meningkatkan.
Walaupun fakta yang terjadi di pajak dan bea cukai juga masih banyak ruang mestinya digunakan walaupun di tengah segala permasalahan.
Dan memang sudah menjadi rahasia umum lah terkait penerimaan negara ini pasti akan sedikit banyak intervensi atau benturan dengan orang yang punya pengaruh, orang-orang kuat, gitu ya.
Tapi mesti kita sadar bahwa kepentingan negara ini mesti harus diperjuangkan.
Karena pada dasarnya ketika kita berbuat untuk kepentingan penerimaan negara, juga termasuk upaya memberantas korupsi di antaranya, maka kita sedang memikirkan atau berpihak kepada kepentingan negara, kepentingan masyarakat secara luas.
Sebaliknya, orang yang berbuat korupsi, berbuat curang, dan segala macam, itu tuh mereka pada dasarnya orang yang sedang menzalimi diri sendiri. Jadi kita tolong. Caranya tolong apa? Hentikan.
Dengan begitu, kita akan semangat untuk bekerja dan tidak perlu takut dengan siapapun. Karena pada dasarnya semua orang-orang itu adalah sama-sama dengan kita, sama-sama manusia dan kita punya Tuhan yang Maha Kuasa.
Sepanjang kita melakukan dengan kejujuran, dengan baik, dan profesional, pastilah kita sendiri yang untung.
Oleh karena itu, kita perlu melakukan dengan semangat dan terus meningkatkan kolaborasi dan kerjasama agar upaya kebaikan yang kita lakukan bisa berhasil.(tribun network/abd/dod)