Mujiburrahman
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin
SUATU hari, saya berbincang dengan IBG Dharma Putra, seorang dokter, mantan birokrat, dan penulis. Saya mengeluhkan sikap sebagian (besar?) pemimpin yang takut bersikap tegas bahkan plin-plan, meskipun peraturan dan kebijakan yang harus diikuti sudah jelas. Dia ingin disukai semua orang, dan ingin selalu dianggap sebagai pahlawan. Ia tak berani berkata “tidak”. Akibatnya, persoalan menjadi menggantung, atau dia membuat keputusan yang kontradiktif. Lain waktu, dia bahkan melempar keputusan kepada atasannya, agar yang disalahkan si atasan, bukan dia.
Menurut dokter Dharma, masalah ini mirip dengan perbedaan antara “ksatria” dan “brahmana”. Ksatria adalah pemimpin, penegak hukum, dan penentu kebijakan, sedangkan brahmana adalah tokoh agama, penasihat yang memberi petunjuk tentang kebaikan dan menghindari kejahatan. Jika dalam situasi tertentu seorang brahmana diangkat menjadi pemimpin, maka dia harus menjadi ksatria. Dia harus tegas berkata “ya” atau “tidak”, tak peduli orang suka atau benci. Kalau dia tetap seperti brahmana, yang hanya berusaha menyentuh hati manusia, maka akan terjadi kekacauan.
Kontras ksatria-brahmana itu mirip dengan umara-ulama. Umara adalah bentuk jamak dari “amîr”, orang yang diberi kewenangan untuk memerintah. Alqur’an menyebutnya “ulil amri”, pemegang perintah. Sebenarnya makna dasar kata “amîr” adalah “yang diperintah”. “Amîr al-mu’minîn” berati orang yang diperintah oleh kaum beriman. Adapun “‘ulama” adalah bentuk jamak dari “alim” artinya orang yang berilmu. Jadi ulama bisa disamakan dengan akademisi atau cendekiawan. Namun, karena dulu ilmu yang paling dominan adalah ilmu agama, maka ulama adalah ahli agama.
Sebenarnya, di mana-mana dalam sejarah umat manusia, terjadi pembedaan antara penguasa dan cendekiawan, politisi dan akademisi. Cendekiawan Maroko, Muhammad Abed al-Jabiri, pernah mengatakan bahwa pada periode awal sejarah Islam, ulama dan umara itu nyaris identik. Namun, lama kelamaan, keduanya menjadi kelompok yang berdiri sendiri. Ketika orang-orang Arab menduduki kekuasaan, orang-orang non-Arab memilih menumpahkan energi dan meluangkan waktu untuk ilmu. Akibatnya, orang-orang Arab menjadi umara, dan orang-orang non-Arab menjadi ulama.
Tentu saja, pembedaan itu tidak permanen. Keduanya dapat silih berganti. Ada ulama yang menjadi umara, atau akademisi yang menjadi politisi. Ada pula politisi yang pensiun beralih profesi menjadi akademisi. Yang penting adalah, setiap peran menuntut tanggung jawab masing-masing. Jika takut mengambil keputusan dan tak berani tegas, lebih baik jangan menjadi pemimpin, ksatria alias umara. Jika tidak memahami dan mencintai ilmu dan kebijaksanaan hidup, dan tidak sanggup menjadi teladan dalam kebaikan dan kejujuran, janganlah menjadi ulama dan cendekiawan.
Kalau direnungkan lebih jauh, sikap tegas atau tidak seorang pemimpin itu ada hubungannya dengan masalah kompromi dan prinsip. Sebagai orang yang diberi kewenangan memutuskan sesuatu untuk orang banyak, seorang pemimpin tentu harus mendengarkan kepentingan berbagai pihak. Dalam situasi tertentu, dia harus berkompromi, dan dalam situasi lainnya dia harus tegas dan berani berkata “tidak”. Jika dia seorang pemimpin sejati, maka dia hanya akan bersedia berkompromi selama tidak melanggar prinsip-prinsip moral dan tidak merugikan kepentingan orang banyak.
Masalahnya, seorang penguasa/politisi/amir seringkali adalah orang yang segenap usaha dan tujuan hidupnya hanyalah kekuasaan belaka. Yang penting dia mendapatkan dan/atau mempertahankan kekuasaan, apapun bersedia dia lakukan. Politisi seringkali oportunis, yaitu siap dan sigap mengambil kesempatan untuk meraih apa yang diinginkan, tak peduli sesuai hukum dan moral atau tidak. Sikap serupa juga dapat menghinggapi ulama/cendekiawan/akademisi. Demi prinsip moral, berapa banyak di antara mereka yang sanggup menolak tawaran posisi dan uang dari penguasa/pengusaha?
Demikianlah, kita bertemu dengan masalah perenial yang sama, yang selalu hadir dalam diri manusia sepanjang masa, yaitu pilihan moral, tak peduli apakah kita ksatria atau brahmana, umara atau ulama, politisi atau akademisi. Pilihan moral itu akan berdampak pada kehidupan pribadi, masyarakat dan umat manusia. Dalam setiap zaman, sesuai tabiat manusia yang memiliki kebebasan moral, kita akan menemukan kedua-duanya: yang memilih yang baik atau buruk, yang benar atau salah, yang adil atau zalim. Yang membedakan adalah, manakah di antara keduanya itu yang paling dominan?
Sudah menjadi hukum sejarah, yang kuat dan dominan itu biasanya menang. Pada suatu masa, para penguasa/politisi/amir bersekongkol dengan cendekiawan/ulama/akademisi untuk mengeruk keuntungan pribadi, meskipun merugikan kepentingan publik. Lantas, apakah mereka yang bersikap tegas, mempertahankan prinsip-prinsip moral, sudah tak berguna? Tidak! Yang baik, benar dan adil itu tetaplah ada, meskipun banyak orang menolaknya. Suatu hari, suatu masa nanti, apa yang baik, benar, dan adil itu, tampil ke depan, dan menghinakan mereka yang mencampakkannya.
Dalam Al-Qur’an, yang benar itu disebut al-haqq, yaitu yang benar (the truth) dan yang nyata (the real), sedangkan yang salah disebut al-bâthil, yaitu yang palsu dan ilusif. Seperti kata Y.B. Mangunwijaya, kita tak boleh berslogan “right wrong, my country,” karena “right or wrong is right or wrong!” Yang menjadi soal adalah, seberapa lama kita mampu bersabar dan teguh berpegang pada yang baik, benar, dan adil itu? (*)
Sebagai orang yang diberi kewenangan memutuskan sesuatu untuk orang banyak, seorang pemimpin tentu harus mendengarkan kepentingan berbagai pihak. Dalam situasi tertentu, dia harus berkompromi, dan dalam situasi lainnya dia harus tegas dan berani berkata “tidak”. Jika dia seorang pemimpin sejati, maka dia hanya akan bersedia berkompromi selama tidak melanggar prinsip-prinsip moral dan tidak merugikan kepentingan orang banyak.