TIMESINDONESIA, MATARAM – Banjir yang terjadi di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat, dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan persoalan tata kelola lingkungan dan pembangunan perkotaan tidak bisa ditangani secara sporadik parsial.
Sebagai ibu kota provinsi sekaligus pusat pemerintahan dan aktivitas ekonomi, Mataram menghadapi hilir mudik urbanisasi yang tinggi, dan degradasi lingkungan.
Dalam perspektif kebijakan publik, penyelesaian masalah banjir menuntut pendekatan kolaboratif atau collaborative governance yang melibatkan pemerintah provinsi dan pemerintah kota secara terintegrasi dan sinergis.
Melihat peristiwa banjir (6 Juli 2025) yang menerjang tiba-tiba, membelalakkan kita semua. Berdampak luas di Mataram. Mungkin perlu dilihat sumber persoalannya dari hulu hingga hilir secara komprehensif.
Hulu lihat hutan dan ekosistemnya, pada tingkat menengah lihat saluran sungai dan tanggul pinggirannya, sementara pada tingkat hilir berkaitan dengan sampah.
Selain itu, tata kota yang perlu banyak rongga ekologi dari napas kota. Semakin lama rongga napas kota termasuk jalan-jalan dan drainase, terasa lebih sesak dari sebelumnya.
Pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kota Mataram sebagai ibu kota perlu berkolaborasi (collaborative governance). Merumuskan, menyusun, merencanakan dan merealisasikan kebijakan ekologik yang bisa dirasakan langsung masyarakat manfaatnya. Berdampak bagi penataan kota yang lebih ekologik.
Banjir tidak terjadi lagi dan warga puas dengan kerja pemerintah. Misalnya diperlukan roadmap kebijakan penanggulangan banjir yang digerakkan secara partisipatif serta menyertakan teknologi ramah lingkungan.
Secara teoritis maupun praktis, penanganan banjir memerlukan kolaborasi yang memadai antarlembaga, baik pemerintahan maupun nonpemerintahan. Terlebih lagi, menurut riset Ramadhan dan Matondang (2016), BPBD masih terbatas dalam pengembangan SDM yang benar-benar memahami kebencanaan.
Setiap stakeholder perlu duduk bersama dalam satu forum dengan agensi publik LSM, swasta, dan dinas-dinas terkait untuk menguatkan pengambilan keputusan berorientasi konsesus yang sifatnya mendengar aspirasi.
Selain itu, mengakomodasi alat bantu teknologi melalui manajemen orkestrasi penangangan banjir yang diinisiasi oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kota bersama elemen-elemen partisipatif.
Proses koordinasi kolektif inilah yang disebut collaborative governance, yang kemudian dipopulerkan Ansell dan Gash (2008). Karena menyaratkan adanya kerja sama antarlembaga. Istilah tersebut dikenal pula sebagai kolaborasi lintas sektor (Bryson et al., 2006), atau tata kelola jaringan (Provan dan Kenis, 2008).
Salah satu bukti keberhasilan collaborative governance untuk menangani banjir terungkap dalam riset Neise dan Diez (2018-2019) di Jakarta dan Semarang. Sebuah riset komparatif Ghozali et al. (2016) tentang penanganan banjir di Ayutthaya (Thailand) dan Samarinda (Indonesia) juga menunjukkan collaborative governance membantu pemerintah mengukur risiko banjir, termasuk tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi masyarakat.
Menunjukkan bagaimana partisipasi perusahaan swasta berkontribusi dalam mengurangi risiko banjir. Collaborative governance bisa mengatasi berbagai hambatan di masyarakat seperti perbedaan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat tentang penanganan banjir, keterbatasan literasi teknis dan pengetahuan masyarakat terdampak, dan keterbatasan kapasitas pemerintah dalam merumuskan kebijakan tepat sasaran untuk mitigasi.
Banjir bukan hanya isu teknis infrastruktur drainase atau sampah, tetapi merupakan masalah kebijakan publik yang kompleks lintas kewenangan. Banjir di Mataram dipicu oleh sejumlah faktor antara lain alih fungsi lahan dan pembangunan kawasan tanpa kontrol tata ruang yang ketat, kurangnya integrasi sistem drainase antarwilayah, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga lingkungan, dan bias jadi karena keterbatasan anggaran dan kapasitas teknis pemerintah.
Karena sifatnya lintas wilayah lintas kewenangan, upaya penanggulangan banjir tidak bisa hanya mengandalkan Pemerintah Kota Mataram ke bawah saja. Diperlukan peran aktif dan kolaborasi erat dengan Pemerintah Provinsi NTB sebagai pengelola wilayah yang lebih luas dan pemilik kewenangan perencanaan strategis regional serta keterlibatan pihak swasta dan agensi masyarakat.
Oleh karenanya, adalah bentuk tata kelola yang menekankan keterlibatan berbagai aktor, baik antarinstansi pemerintah maupun antara pemerintah dan masyarakat sipil.
Dalam konteks Mataram sebagai ibu kota provinsi, model ini relevan karena air tidak mengenal batas kota. Sistem aliran air hujan dan sungai yang melalui Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, hingga wilayah pesisir membutuhkan koordinasi lintas daerah.
Dari sisi tata ruang, RTRW Kota Mataram perlu terukur agar pengendalian alih fungsi lahan di hulu maupun daerah tangkapan air bisa dilakukan secara efektif. Pemerintah Kota Mataram memiliki keterbatasan anggaran dalam pembangunan infrastruktur pengendali banjir seperti kolam retensi, saluran drainase utama, hingga rehabilitasi daerah aliran sungai. Pemerintah provinsi dapat menyinergikan bantuan keuangan daerah provinsi untuk mendukung proyek strategis tersebut.
Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh dalam kerangka kebijakan kolaboratif mengatasi banjir antara Provinsi NTB dan Kota Mataram antara lain pertama, Penyusunan Kebijakan Bersama Penanggulangan Banjir.
Pemerintah provinsi dan kota perlu membentuk tim kerja terpadu dalam menyusun Rencana Aksi Penanggulangan Banjir Mataram, yang memuat program jangka pendek dan jangka panjang dengan pembagian peran kerja yang jelas dan terperinci.
Kedua, Penguatan Sistem Informasi dan Peringatan Dini Banjir. Pemanfaatan teknologi informasi secara terintegrasi antara BPBD provinsi dan kota untuk memberikan peringatan dini dan respons cepat terhadap banjir.
Ketiga, Pemulihan dan Perlindungan Kawasan Resapan Air. Pemerintah provinsi bias menginisiasi konservasi kawasan hulu dan sempadan sungai melalui program revitalisasi Daerah Aliran Sungai yang melibatkan kota dan kabupaten sekitarnya.
Keempat, Pendanaan Kolaboratif. Melalui Dana Alokasi Khusus, bantuan keuangan daerah, serta kerja sama dengan sektor swasta dan donor, Pemerintah Provinsi NTB dapat memperkuat kapasitas keuangan Kota Mataram dalam membangun infrastruktur pengendali banjir.
Kelima, Partisipasi Komunitas dan Para Ahli. Kolaborasi ini tak cukup hanya antarpemerintah. Perguruan tinggi, LSM, dan komunitas lingkungan di Mataram dapat diajaklibatkan untuk edukasi publik, riset kebijakan, hingga aksi lapangan seperti penghijauan dan bersih-bersih sungai.
Menghadapi tantangan banjir yang makin nyata di Kota Mataram, pendekatan collaborative governance antara Pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kota Mataram bukan hanya pilihan, melainkan suatu keharusan.
Kolaborasi bukan hanya menyatukan sumber daya, tetapi juga menyinergikan visi dan komitmen lintas lembaga untuk menyelamatkan Mataram dari bencana ekologis yang semakin mengancam. Dengan kebijakan publik yang partisipatif dan terkoordinasi, Mataram dapat menjadi kota yang tangguh terhadap bencana lingkungan dan kewilayahan.
Saya percaya bahwa tiap kebijakan publik perlu keterlibatan multipihak yang kompeten. Dalam hal peristiwa banjir, kolaborasi kewenangan pemerintah dengan melibatkan saja orang-orang berpengalaman yang ahli tata kota, infrastruktur teknologi dan hidrometereologi.
Gerakkan warga, dan kita lihat proses dan hasilnya beberapa waktu kemudian. Ini penting, karena menyangkut hajat hidup orang banyak dengan segala dampak sosial yang ditimbulkannya. Semua warga, pasti tak ingin jadi korban dari tiap bencana. (*)
***
*) Oleh : Dr. H. Muhammad Ali, M.Si., Pengamat Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Mataram.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.