Misri Dalam Panggung Perempuan di Tengah Darah, Kekuasaan, dan “Female Breadwinner”
GH News July 13, 2025 12:03 PM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tentu masih hangat dalam ingatan publik kisah kematian Brigadir Yosua Hutabarat, yang dibunuh oleh atasannya pada tahun 2022 lalu. Kini publik terasa “dejavu” dengan kisah tersebut yang terjadi baru-baru ini. Kisah “dejavu” ini terpotret ulang di sebuah vila di Gili Trawangan, di mana air kolam yang tenang menyimpan luka dan kisah kelam, bukan hanya tentang kematian Brigadir Muhammad Nurhadi, seorang anggota Propam Polda NTB, tetapi juga tentang kebisuan, kekuasaan, dan perempuan yang dipinggirkan. 

Dalam kisah tragis ini, satu nama menyeruak, yaitu Misri Puspita Sari. Ia bukan jaksa, bukan perwira, bukan pejabat. Ia hanyalah seorang “perempuan penghibur”, yang tiba-tiba berdiri di tengah badai kebenaran yang hendak ditenggelamkan. Namun dari keterasingan sosialnya, Misri bukan sekadar saksi mata. Ia adalah saksi yang menyimpan ingatan tentang malam saat kekuasaan kehilangan nurani dan aparat penegak hukum berubah menjadi algojo.

Kematian Brigadir Nurhadi bukan semata pembunuhan seorang manusia, tapi pembunuhan atas akal sehat dalam tubuh kekuasaan. Brigadir Nurhadi diduga dibunuh oleh dua atasannya, yang semestinya menjunjung hukum, bukan memelintirnya. Dan Misri menjadi saksi terakhir yang mungkin bisa mengurai kebenaran. Bagi sebagian orang, Misri bukan siapa-siapa. Tapi bagi keadilan, mungkin ia satu-satunya untuk membuka tabir gelap pembunuhan.

Di tengah pusaran kasus ini, figur Misri, seorang “perempuan penghibur” yang juga menjadi saksi kunci dalam pembunuhan tersebut, sekaligus ia menjadi tulang punggung keluarganya atau “female breadwinner”. Kehadiran Misri pada kasus tersebut adalah pintu masuk untuk menelaah realitas sosial tentang stigmatisasi perempuan, ketimpangan kuasa, dan peran ganda yang dibebankan kepada mereka para perempuan dalam masyarakat patriarkal. 

Sosok Misri muncul sebagai representasi nyata dari dua arus besar dalam kajian sosiologi, yakni dominasi kekuasaan dalam institusi patriarkal dan realitas sosial seorang “female breadwinner” di lingkungan yang keras dan maskulin. Ia bukan hanya “perempuan penghibur” dari korban dan pelaku, tetapi juga pengungkap tabir kematian yang semula ingin diselubungi.

Profesi yang dijalankan Misri sebagai “perempuan penghibur” sering kali menjadi sasaran moralitas publik. Pandangan bahwa profesi penghibur identik dengan ketidakbermoralan telah menjadi bagian dari konstruksi sosial yang menghakimi tanpa empati. Dalam konteks ini, masyarakat cenderung mengabaikan konteks struktural yang melahirkan profesi tersebut, yaitu kemiskinan, minimnya pendidikan, keterbatasan akses pekerjaan layak, dan dukungan moral secara manusiawi.

Dalam kerangka sosiologi Emile Durkheim, norma dan moral sosial memang penting untuk kohesi, tetapi ketika norma digunakan untuk menindas yang lemah dan membela kekuasaan yang salah, maka norma itu kehilangan fungsi moralnya. Kisah Misri mengajak kita untuk meninjau ulang moralitas sosial yang sering kali lebih represif daripada adil.

Misri kini terjebak dalam labirin kekuasaan formal. Sosiolog Max Weber menyebut bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya meski mendapat perlawanan. Dalam kasus ini, dua atasan korban yang diduga sebagai pelaku menampilkan wajah gelap dari dominasi struktural dalam institusi yang hirarkis. Aparat keamanan seperti kepolisian tidak hanya menjadi simbol otoritas formal, tetapi juga ruang praktik kekuasaan informal yang dapat disalahgunakan.

Dalam struktur kepolisian yang hierarkis dan cenderung tertutup, subordinasi sering kali menciptakan relasi yang timpang. Ketika seorang bawahan seperti Brigadir Nurhadi berselisih atau dianggap “mengganggu” sistem internal yang disfungsional, kekuasaan menjadi alat represif. Dugaan bahwa pembunuhan ini dirancang oleh dua atasan menunjukkan bagaimana kekuasaan tidak netral, dan dapat menjadi mekanisme eliminasi terhadap mereka yang dianggap mengancam status quo.

Misri: Tubuh Perempuan dan Kekuasaan

Michel Foucault melihat tubuh bukan sekadar entitas biologis, melainkan medan kuasa. Tubuh perempuan, khususnya yang bekerja di sektor hiburan malam seperti Misri, sering menjadi objek regulasi moral, kontrol sosial, dan penghakiman publik. Perempuan dalam profesi ini kerap mengalami double marginalization, ia terpinggirkan karena profesinya, dan sekaligus rentan menjadi korban dalam sistem kekuasaan yang tak berpihak.

Dalam kasus ini, keberadaan Misri di lokasi pembunuhan mengungkap bagaimana tubuh perempuan dijadikan komoditas sekaligus saksi bisu kekerasan maskulin yang disamarkan dalam sistem formal. Ia tidak hanya menyaksikan peristiwa tragis itu, tetapi juga memikul beban sosial sebagai “perempuan penghibur” yang kesaksiannya mungkin akan diragukan karena stigma moral yang dilekatkan padanya. Dalam banyak narasi masyarakat patriarkal, perempuan sering ditempatkan dalam posisi subordinat, apalagi di lingkaran militer atau kepolisian. Namun, Misri tidak hanya mengambil peran sebagai pelengkap cerita, tetapi harus dan dapat menjadi aktor utama dalam mendobrak keheningan dan membongkar konstruksi seputar kematian Brigadir Muhammad Nurhadi.

Sosiolog Pierre Bourdieu menyebut habitus sebagai struktur mental dan sosial yang membentuk tindakan seseorang. Dalam habitus masyarakat patriarkal, perempuan biasanya tidak dilatih untuk melawan institusi maskulin. Namun dalam ruang kekuasaan ini, Misri harus tampil membuktikan bahwa peran sosial bisa digugat. Ia harus menjadi bukti bahwa dominasi simbolik dapat dilawan melalui narasi kebenaran, keadilan, dan keberanian.

Female Breadwinner dan Realita Sosial Ekonomi Perempuan

Sebagai female breadwinner, Misri menjalani peran ganda. Ia pencari nafkah sekaligus penyintas dalam masyarakat yang tidak sepenuhnya memberikan ruang aman bagi perempuan. Peran ini memperlihatkan pergeseran sosial, di mana perempuan, terutama dari kelas bawah, terpaksa mengambil peran ekonomi utama akibat keterbatasan sistem dukungan sosial atau struktur keluarga yang rapuh.

Namun, posisi ini tidak datang tanpa harga. Dalam banyak kasus, perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga justru menghadapi diskriminasi ganda. Di mana secara ekonomi mereka rentan, secara sosial mereka dianggap menyimpang dari norma peran gender tradisional. Misri adalah refleksi dari dinamika ini. Ia dihimpit oleh kebutuhan hidup, terjebak dalam struktur pekerjaan yang distigmatisasi, tetapi tetap harus menjalankan fungsi perawatan dan tanggung jawab ekonomi bagi keluarganya.

Misri yang menjadi cermin realita female breadwinner, dalam struktur sosial modern Indonesia, peran ini makin sering dijumpai, namun tetap menyimpan beban sosial yang berat. Ketika laki-laki sebagai tulang punggung keluarga meninggal karena kekerasan sistemik, perempuan sering dipaksa mengambil peran ganda, yaitu merawat, mengadvokasi, dan bertahan. Realita ini mencerminkan ketimpangan jaminan sosial dan ketahanan keluarga dalam menghadapi tragedi yang berasal dari dalam sistem kekuasaan itu sendiri. 

Misri adalah cermin dari berbagai paradoks sosial yang dihadapi perempuan di Indonesia hari ini. Pekerja informal yang distigmatisasi, saksi kunci yang diragukan, dan female breadwinner yang dijalani dalam ruang yang berbahaya. Dalam tubuh dan suaranya terkandung narasi tentang kelas, gender, kekuasaan, dan perjuangan untuk tetap manusia di tengah sistem yang dehumanistik.

Lebih dari sekadar saksi, suara Misri dapat menjadi simbol keberanian dari pinggiran masyarakat. Ia adalah cermin dari betapa pentingnya keberanian sipil – khususnya perempuan –di tengah gelapnya dominasi struktural. Misri juga menjadi kisah representasi simbol bahwa dalam realita female breadwinner, kekuatan perempuan bisa melampaui batas-batas yang selama ini diciptakan oleh sistem patriarki dan kekuasaan yang semena-mena. Misri adalah perlawanan yang lahir dari luka, keberanian yang tumbuh dari kehinaan, dan cahaya kecil yang menantang gelapnya dominasi kekuasaan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.