Cornelis Desak Reformasi Energi Total: Negara Jangan Jadi Penonton di Tanah Sendiri
GH News July 15, 2025 11:03 AM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di tengah ancaman defisit fiskal dan ambisi besar pemerintahan Prabowo-Gibran menuntaskan program strategis nasional, sektor energi justru masih menjadi ladang subur praktik koruptif. 

Menyikapi situasi ini, Dr. (H.C.) Cornelis, M.H., Anggota Komisi XII DPR RI dari Dapil Kalimantan Barat, tegas menyampaikan dalam rapat kerja bersama Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia: “Negara harus berhenti menjadi penonton di tanahnya sendiri”

Dalam rapat maraton yang membahas tentang revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, Cornelis secara gamblang menyuarakan kritik atas lemahnya tata kelola sektor energi nasional. 

“Cukup alot kami bahas UU Migas dan listrik, karena ini menyangkut keadilan energi dan kedaulatan bangsa,” ucap Cornelis.

UU Energi Harus Jadi Senjata Hukum Lawan Korupsi

Cornelis menegaskan bahwa revisi dua undang-undang ini tidak boleh menjadi sekadar perombakan administratif, melainkan harus menjadi senjata hukum untuk menghentikan praktik korupsi sistemik yang telah lama mencengkeram sektor migas dan kelistrikan. 

Ia mengutip laporan dugaan korupsi di Pertamina yang mencapai Rp900 triliun, dan mempertanyakan: “SKK Migas ke mana saja?”

“Ini bukan hanya soal harga minyak, ini soal bagaimana negara dipermainkan oleh elite yang berlindung di balik celah regulasi,” tandasnya.

Menurut Cornelis, keberadaan SKK Migas harus dievaluasi total. Ia juga menyoroti minimnya transparansi dalam pengelolaan blok migas serta praktik rente yang menjamur dalam proses pengadaan hingga distribusi energi.

Realisasi Anggaran Minim, Kinerja Program Energi Mandek

Sorotan Cornelis mendapat pembenaran dari paparan resmi Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN). Dari total pagu ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk program strategis tahun 2025, mayoritas mengalami realisasi sangat rendah.

Misalnya, program penyusunan neraca energi nasional, Pagu Rp 284,9 juta, realisasi hanya Rp 7,1 juta. Program komunikasi dan kehumasan DEN: Pagu Rp 1,4 miliar, realisasi hanya Rp 44,5 juta dan program evaluasi ketahanan energi: Pagu Rp 779,2 juta, realisasi hanya Rp 26,3 juta.

Lebih jauh, Cornelis mengkritik lambannya penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan belum tersusunnya bauran energi nasional Semester I Tahun 2025. 

“Kalau data saja tidak selesai, bagaimana bisa bicara transisi energi? Ini semua memperlihatkan lemahnya perencanaan dan pengawasan lintas sektor,” ujarnya dengan nada kritik tajam.

Sementara itu, sebagai wakil dari Kalimantan Barat, Cornelis membawa fakta bahwa masih banyak wilayah di Kalbar yang gelap gulita saat malam. 

Ia menyebut ketimpangan pasokan listrik dan rendahnya investasi migas di daerah-daerah terpencil sebagai bentuk nyata pengabaian pusat terhadap daerah penghasil.

“Di tengah sumber daya alam yang melimpah, rakyat Kalimantan hanya kebagian sisa. Ini ironi energi kita. UU ini harus membalikkan situasi dari eksploitasi menjadi distribusi,” tegasnya.

Komisi XII DPR RI, menurut Cornelis, berkomitmen mendorong sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah agar persoalan akses energi tak lagi menjadi masalah laten di wilayah luar Jawa.

Komisi XII Tetap Awasi dengan Ketat

Rapat yang berlangsung dari pagi hingga malam ini juga diisi dengan permintaan tegas dari Komisi XII agar seluruh catatan dan pertanyaan dijawab secara tertulis oleh Badan Keahlian DPR RI sebelum 28 Juli 2025. 

Ketua dan Wakil Ketua Komisi XII menegaskan bahwa proses revisi undang-undang ini akan dikawal ketat, dengan pengawasan melekat agar pemerintah tidak bermain-main dengan kepentingan publik.

“Ini bukan sekadar revisi pasal, ini revisi paradigma. Kami ingin undang-undang yang melindungi rakyat, bukan memperpanjang napas kartel energi,” ucap Cornelis disambut dukungan mayoritas anggota Komisi.

Menuju Kemandirian Energi

Meski pemerintah gencar mengusung narasi transisi energi dan net-zero emission, realitas di lapangan masih timpang. Hingga kini, bauran energi nasional masih dikuasai oleh: Batubara 40,48%, Minyak 29,15%, Gas 15,69%, EBT (Energi Baru dan Terbarukan) hanya 14,68%.

Cornelis menilai angka ini jauh dari target ideal dan menandakan belum adanya keberanian politik pemerintah dalam mendorong energi bersih dan berkeadilan. Ia menuntut strategi implementatif, bukan hanya slogan.

Rapat kerja ini juga menjadi momentum penting bagi DPR RI untuk menunjukan perannya sebagai mitra kritis pemerintah. 

“Kalau kita gagal sekarang, kita akan mewarisi kehancuran sistemik. Energi harus dikelola sebagai hak rakyat, bukan komoditas elit,” tutup Cornelis, menandai babak baru perjuangan menuju kedaulatan energi nasional. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.