Oleh: Zayanti Mandasari, Asisten Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Kalsel dan Aktif Sebagai Ketua Divisi Hukum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia Daerah Kalsel
BANJARMASINPOST.CO.ID - LAMPU merah di Jalan S Parman Banjarmasin, merupakan salah satu titik yang hampir setiap pagi dan sore, kita dapat menemui anak usia sekolah sedang meminta-minta dengan bermacam cara.
Ada yang mendatangi pengendara dengan menadahkan tangannya sambil mengatakan, “bu gasan makan bu” (bu, untuk makan bu); ada juga yang memakai kostum karakter; membersihkan kendaraan (baik mobil/motor) dengan kain lap; atau mencat tubuhnya dengan cat berwarna silver dan berjalan menghampiri pengendara sembari membawa kaleng/kotak kardus kecil. Fenomena ini semakin sering terlihat.
Melihat fenomena tersebut, Penulis teringat maraknya anak-anak yang juga turun ke jalan untuk meminta-minta saat kita tengah dilanda Covid-19. Kala itu jumlah anak yang turun ke jalan sangat banyak, dari yang awalnya hanya 2 orang kemudian menjadi lebih dari 7 orang. Kondisinya seperti berulang dengan yang terjadi sekarang.
Awalnya hanya beberapa anak, dan sekarang jumlahnya kian banyak. Dalam satu kesempatan Penulis secara pribadi sempat bertanya kepada dua orang anak yang ternyata memang masih usia sekolah (8 dan 9 tahun).
Keduanya mengatakan pagi sekolah, dan sore berada di jalanan untuk membantu orangtua. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat ada jarak sekitar 4 tahun pascacovid-19. Lantas mau sampai kapan ini terjadi?
Konsep Perlindungan Anak
Membahas tentang perlindungan, tentu tak terlepas dari aturan sebagai bentuk ‘intervensi’ positif pemerintah terhadap suatu hal yang memang dibutuhkan masyarakat, tak terkecuali masalah perlindungan anak, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 1 misalnya, mendefinisikan Perlindungan Anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Secara lebih khusus lagi jika berbicara tentang anak terlantar, maka jelas UUD NRI 1945 sebgaai dasar hukum tertinggi di negara ini, sudah secara jelas menyatakan dalam Pasal 34 ayat (1) bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Dalam konteks ini, memaknai frasa dipelihara, negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yang masuk dalam kondisi fakir miskin dan anak terlantar, termasuk memastikan anak-anak terlantar mendapatkan kehidupan yang layak.
Dengan kata lain, negara memiliki tanggung jawab dalam hal penyediaan makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya, serta perlindungan terhadap hak-hak mereka.
Jika dilihat dalam kosep perlindungan anak di atas, maka harusnya fenomena berulang anak menjadi pekerja di jalan, bahkan terkesan terjadi eksploitasi anak di depan mata kita, harusnya tak boleh terus menerus terjadi. Mengingat mandat dari ketentuan di atas adalah wajib untuk memberikan kebutuhan-kebutuhan anak, tak terkecuali anak terlantar.
Lebih lanjut jika dilihat dalam Pasal 20 UU Perlindungan Anak, dirincikan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orangtua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Lantas apakah setiap pihak yang bertanggung jawab sudah melaksanakan tanggung jawabnya sesuai porsi masing-masing? Dan apakah sudah dijalankan secara maksimal?.
Solusi Perlindungan Anak ke Depan
Mari kita cermati bersama, membawa anak turut serta meminta-minta di jalan memang paling banyak pasti dilatarbelakangi oleh keterbatasan ekonomi orangtua, menyebabkan tidak ada pilihan, selain melibatkan anak untuk bekerja, karena seluruh kebutuhan hidup termasuk sekolah, membutuhkan biaya, sementara orangtua tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Dan acapkali hal tersebut terjadi secara penuh kesadaran orang tua tidak menyadari bahwa menyuruh anak berkerja, adalah bentuk ekploitasi terhadap anaknya sendiri, mengingat usia anak yang seharusnya belum pantas untuk bekerja.
Dalam konteks ini dapat kita ambil kesimpulan terkait peran negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi orangtua si anak, sehingga dapat menimati penghidupan yang layak, pekerjaan yang aman dan penghasilan yang memadai.
Dengan kata lain, penyediaan lapangan pekerjaan bagi orangtua adalah salah satu jalan untuk mencegah terjadinya eksploitasi anak.
Alternatif lain selain penyediaan lapangan pekerjaan, bisa dalam bentuk bantuan sosial, dimana instansi terkait dapat mendata dan kemudian mengusulkan keluarga dari anak-anak terlantar atau anak yang diduga dieksploitasi tersebut masuk dalam ketegori penerima bantuan sosial.
Edukasi melalui komunikasi kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan sosial juga sangat diperlukan.
Tak hanya sampai pada masalah sosial, masalah pendidikan juga kerap menajdi alasan orangtua membawa anak ikut bekerja di jalan.
Padahal jelas, jika sekolah di bawah naungan pemerintah, maka tidak diperbolehkan untuk melakukan pungutan biaya kepada peserta didik. Namun faktanya masih sering terjadi permintaan sumbangan yang ternyata adalah pungutan kepada peserta didik.
Buktinya, hingga tahun 2025, masih terdapat laporan pengaduan terkait permintaan sumbangan namun terkategori pungutan di sekolah. Perlu peran dari instansi yang mempunyai domain dalam penyelenggaraan pendidikan, baik untuk memastikan penyelenggaraan layanan pendidikan yang benar-benar sesuai dengan ketentuan, maupun melakukan pendataan anak terlantar yang ikut ke jalan.
Apakah anak-anak tersebut tidak atau sudah putus sekolah, sehingga dapat mencari solusi terhadap permasalahan yang tengah dihadapi.
Tak hanya pemenuhan kebutuhan secara materi, dan pendidikan, edukasi kepada orangtua atau keluarga untuk memahamkan bahwa anak membutuhkan perlindungan dan pemenuhan haknya sebagai anak juga menjadi tugas berat bagi instansi yang mempunyai domain itu.
Masalah lain yang juga perlu diperhatikan adalah pascapenertiban anak terlantar atau anak yang beraktivitas meminta-minta di jalan.
Pihak terkait diharapkan dapat berkoordinasi dengan instansi yang memang mempunyai fungsi pembinaan, sehingga bukan hanya selesai pada pendataan. Namun masalah lain yang mungkin melatarbelakangi anak tersebut kemudian meminta-minta di jalan, juga harus ikut diselesaikan.
Tentunya seluruh kegiatan yang memang melibatkan banyak instansi terkait tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan, bukan hanya momentum, sehingga benar-benar dapat memutus rantai kekerasan dan eksploitasi anak, khususnya di jalan. (*)