Jakarta (ANTARA) - Tersangka kasus dugaan korupsi proyek user terminal Kementerian Pertahanan (Kemhan) Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi membantah terlibat dalam penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga dalam pengadaan barang dan jasa di proyek tersebut.

Kuasa hukum Leonardi, Rinto Maha, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa kliennya selaku Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemhan pada saat itu, hanya bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dan bukan pengambil keputusan utama.

“Seluruh perencanaan, persetujuan alokasi anggaran, dan pengesahan kontrak berada pada otoritas Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),” katanya.

Leonardi, kata Rinto, justru menerapkan prinsip kehati-hatian dengan bersurat kepada Navayo pada awal 2017 untuk menghentikan pengiriman karena struktur pelaksanaan belum lengkap. Leonardi juga menginisiasi adendum kontrak sebagai langkah administratif korektif.

Rinto juga menyebut penunjukan Navayo sebagai pemenang pengadaan adalah wewenang Pengguna Anggaran dan telah disampaikan akhir tahun 2015 dalam rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo pada saat itu.

Rinto membantah pula bahwa kliennya menandatangani kontrak kerja sama dengan Navayo tanpa tersedianya anggaran Kemhan.

“Leonardi hanya melaksanakan penandatanganan kontrak setelah DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) tersedia, yakni pada Oktober 2016, bukan 1 Juli 2016 pada saat anggaran belum ada,” ucapnya.

Lebih lanjut, Rinto menilai bahwa tidak ada satu rupiah pun yang dibayarkan kepada Navayo dan tidak ada kerugian negara aktual.

Dia menerangkan Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai aparat penegak hukum yang menangani kasus dugaan korupsi proyek ini, menggunakan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (LHP BPKP) tertanggal 2 Agustus 2012 sebagai batu pijakan untuk menetapkan kliennya sebagai tersangka.

Dalam LHP tersebut, disebutkan bahwa tagihan senilai sekitar 16 juta dolar AS yang diajukan Navayo belum pernah dibayarkan oleh Kemhan. Selain itu, seluruh klaim kerugian negara bersifat potensial dan bukan kerugian nyata.

Padahal, kata Rinto, berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 disebutkan bahwa unsur kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi harus nyata, pasti, dan aktual, bukan berdasarkan estimasi atau asumsi.

Rinto juga mengungkapkan bahwa Certificate of Performance (CoP) yang menjadi dasar klaim invois yang dikirimkan Navayo kepada Kemhan, ditandatangani oleh pihak yang berwenang.

“Sesuai Permenhan Nomor 17 Tahun 2014, pihak yang berwenang untuk memeriksa dan menerima hasil pekerjaan penyedia adalah Panitia Penerimaan Hasil Pekerjaan yang diangkat oleh Pengguna Anggaran, bukan klien kami,” katanya.

“Perlu digarisbawahi, diterimanya barang dari penyedia tidak sepengetahuan klien kami dan (Leonardi) tidak menyetujui penerbitan CoP tersebut,” imbuhnya.

Diketahui, Kejagung menetapkan Leonardi sebagai salah satu tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pengadaan user terminal untuk satelit slot orbit 123 BT (bujur timur) pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada tahun 2016 pada Mei 2025.

Direktur Penindakan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Kejagung Brigjen TNI Andi Suci mengatakan bahwa Leonardi selaku PPK di Kemhan menandatangani kontrak kerja sama dengan GK selaku CEO Navayo pada 1 Juli 2016.

“Perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait (Agreement For The Provision Of User Terminal And Related Service And Equipment) senilai 34.194.300 dolar AS dan berubah menjadi 29.900.000 dolar AS,” katanya.

Akan tetapi, penandatanganan kontrak kerja sama tersebut dilakukan tanpa adanya anggaran Kemhan.

​​​​​​​