Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) mengkritisi sejumlah poin penting dalam Revisi UndangUndang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
DPR telah menyepakati revisi UU tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah menjadi usul inisiatif DPR.
"AMPHURI menggarisbawahi bahwa UU yang baik bukan sekadar mengatur, tetapi menjamin keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi semua pemangku kepentingan," tulis DPP AMPHURI dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Jumat (1/8/2025).
AMPHURI menyampaikan tiga isu utama yang dinilai sangat strategis dan perlu menjadi perhatian publik terkait RUU Tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Pertama, soal kuota haji khusus. AMPHURI menekankan dalam pengaturan soal haji khusus jangan ada pasal karet seperti yang tertuang dalam pasal 8 Ayat 4 yang mengatur kuota haji khusus paling tinggi 8 persen.
AMPHURI menilai bahwa frasa “paling tinggi” dalam penetapan kuota haji khusus bersifat elastis, tidak mengikat, dan rawan dimanipulasi.
"Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum dan mengancam keberlangsungan layanan haji khusus yang telah terbukti berjalan baik selama lebih dari satu dekade," tulis AMPHURI.
Berdasarkan fakta di lapangan, realisasi kuota haji khusus selama ini berkisar 78 persen dan dikelola Penyelenggara Ibadah haji Khusus (PIHK) secara profesional, tanpa gangguan berarti terhadap penyelenggaraan haji nasional.
Pengurangan kuota secara sepihak tanpa dasar objektif dan evaluatif merupakan bentuk pembatasan hak jamaah untuk memilih layanan ibadah yang sah dan berkualitas.
Atas catatan tersebut, AMPHURI merekomendasikan agar ketentuan dalam pasal 8 Ayat 4 diubah menjadi "Kuota haji khusus ditetapkan sekurangkurangnya 8 persen dari kuota nasional".
"Dengan rumusan tersebut, negara tetap memiliki ruang pengawasan, namun memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi jemaah dan penyelenggara," tulis keterangan AMPHURI.
Kedua, AMPHURI menyoroti soal umrah mandiri.
Umrah mandiri diatur dalam pasal 86 Ayat 1 RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menyebut “Umrah dapat dilakukan secara mandiri”
AMPHURI memandang bahwa pengaturan mengenai jemaah umrah mandiri dalam RUU ini tidak memiliki definisi, batasan, maupun mekanisme perlindungan yang jelas.
Hal ini berisiko membuka peluang percaloan, penyelenggaraan liar, serta merusak tatanan ekosistem penyelenggaraan umrah yang selama ini diatur melalui PPIU resmi.
Di saat UU Nomor 8 Tahun 2019 menempatkan jemaah sebagai subjek yang harus dilindungi.
Konsep “mandiri” justru mendorong mereka untuk menjadi pihak yang berjuang sendiri, tanpa perlindungan hukum, jaminan layanan, atau kejelasan tanggung jawab.
Terkait hal tersebut, AMPHURI dengan tegas menyatakan bahwa terminologi “mandiri” harus dihapus dari batang tubuh RUU.
"Umrah harus diselenggarakan secara profesional dan bertanggung jawab melalui lembaga resmi PPIU. Jika tetap dipertahankan, maka pemerintah justru membuka ruang legalisasi praktik liar yang tidak bisa diawasi, tidak bisa dijamin, dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban," tulis AMPHURI.
Ketiga, AMPHURI menyoroti hilangnya pengakuan terhadap asosiasi.
AMPHURI menyayangkan draf RUU Penyelenggaraan Haji dan Umrah sama sekali tidak mencantumkan peran asosiasi penyelenggara haji dan umrah dalam struktur pengawasan, evaluasi, maupun kemitraan kebijakan.
Padahal, selama ini asosiasi seperti AMPHURI telah memainkan peran vital dalam menyusun standar layanan dan kode etik PIHK/PPIU, menjadi jembatan antara pelaku usaha dan regulator, melakukan pengawasan internal, serta menyuarakan kepentingan jemaah secara kolektif. Tanpa pengakuan formal terhadap asosiasi, RUU ini berpotensi menghilangkan ruang partisipasi masyarakat sipil dan memperbesar sentralisasi kekuasaan dalam pengelolaan ibadah yang sangat sensitif.
"AMPHURI mengusulkan agar dimasukkan satu pasal baru tentang peran asosiasi, yang secara tegas menyatakan bahwa Pemerintah dan Badan Penyelenggara Haji dan Umrah wajib melibatkan asosiasi resmi dalam proses penyusunan kebijakan, pengawasan layanan, dan evaluasi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah," tulis AMPHURI.
AMPHURI pun menegaskan pihaknya tidak sedang meminta perlakuan istimewa, melainkan menuntut adanya regulasi yang adil, proporsional, dan berpihak kepada jemaah.
Menurut AMPHURI, penyelenggaraan ibadah bukan hanya urusan administratif, tetapi menyangkut keimanan, kepercayaan publik, dan profesionalitas pelayanan.
Atas berbagai catatan penting tersebut AMPHURI menyerukan tiga hal:
Mengawal pembahasan RUU ini secara objektif dan kritis, Menyuarakan kepentingan jamaah sebagai subjek utama regulasi, Menjadi mitra literasi publik untuk menciptakan tata kelola haji dan umrah yang lebih adil, akuntabel, dan manusiawi. Sekilas Tentang AMPHURIAsosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) lahir dari meleburnya tiga asosiasi travel haji dan umrah yang ada di Indonesia atas arahan Menteri Agama Maftuh Basyuni pada tahun 2006.
Ketiga asosiasi itu diantaranya Asosiasi Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji (AMPUH), Asosiasi Muslim Perusahaan Penyelenggara Umrah dan Haji (AMPPUH) dan Serikat Penyelenggara Umrah dan Haji (SEPUH).
AMPHURI sebagai satusatunya asosiasi penyelenggara haji dan umrah yang telah meraih sertifikat ISO 9001:2015 (Sistem Manajemen Mutu) dari Bureau Veritas.
Selain membentuk kepengurusan di pusat, AMPHURI adalah satusatunya asosiasi haji dan umrah yang memiliki pengurus di daerah atau perwakilan di berbagai daerah. (*)