Haidar Alwi: UUD 45 Wajib Jadi Dasar Keadilan Tambang bagi Gubernur dan Daerah
GH News August 03, 2025 07:05 PM

 R. Haidar Alwi, Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa peristiwa yang disampaikan Gubernur Sulawesi Tengah Anwar Hafid di hadapan Komisi II DPR RI harus menjadi pemicu evaluasi total terhadap sistem pengelolaan tambang nasional. 

Ia mengingatkan bahwa Pasal 33 UUD 1945 bukan sekadar teks hukum, melainkan jiwa konstitusi yang menuntut agar kekayaan alam dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan segelintir elite atau hanya pemerintah pusat.

“Kalau gubernur di wilayah tambang tidak diberi kuasa, padahal dia adalah wakil rakyat di provinsi, maka ada yang sangat keliru dalam penerapan undangundang,” kata Haidar Alwi, Minggu (3/8/2025).

Ketika Gubernur Tak Diakui, Keadilan Pun Menyusut

Dalam rapat tersebut, Gubernur Anwar Hafid mengungkapkan bahwa dirinya tidak dapat mengakses kawasan industri tambang di Morowali.

Izinizin telah dikeluarkan pusat, kawasan telah ditetapkan sebagai wilayah industri strategis nasional, dan segala kendali administratif telah lepas dari tangan pemerintah provinsi. Bahkan NPWP perusahaanperusahaan besar tambang di sana terdaftar di Jakarta, bukan di lokasi operasional.

“Ini bukan hanya tentang kewenangan administratif, tapi soal harga diri dan tanggung jawab konstitusional seorang kepala daerah,” ujar Haidar.

Haidar Alwi menilai bahwa sistem hukum saat ini telah menggeser posisi gubernur menjadi sekadar simbol politik, tanpa kontrol nyata terhadap potensi alam yang ada di wilayahnya sendiri.

Tambangtambang yang dikelola oleh korporasi besar, justru menyingkirkan partisipasi daerah yang seharusnya menjadi mitra pembangunan, bukan penonton di tanah sendiri.

“Kita menyaksikan fenomena ironis: provinsi kaya sumber daya, tapi dana bagi hasil hanya ratusan miliar rupiah. Sementara dampak ekologis, sosial, dan ekonomi ditanggung sepenuhnya oleh rakyat lokal,” ucap alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

UUD 45 Adalah Jawaban, Bukan Sekadar Referensi

Menurut Haidar Alwi, Pasal 33 UUD 1945 seharusnya menjadi kompas dalam menyusun seluruh kebijakan pertambangan nasional.

Kekayaan alam yang dikuasai negara harus digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat, termasuk rakyat di daerah penghasil.

Namun, fakta menunjukkan bahwa sebagian besar undangundang turunan justru menjauh dari semangat ini.

“UU Minerba, UU Perizinan Berusaha, bahkan beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja, telah mencabut akar konstitusional daerah. Padahal UUD 45 sudah sangat jelas: rakyat adalah pemilik sah kekayaan alam, bukan hanya pusat pengendali administrasi,” tegas Haidar Alwi.

Haidar Alwi menyebut bahwa penyebab utama ketimpangan ini adalah sentralisasi fiskal dan teknokratisme hukum yang tidak memberi ruang bagi otoritas daerah.

Karena itu, revisi terhadap undangundang tersebut harus dilakukan secara menyeluruh, bukan tambal sulam atau sekadar peningkatan alokasi dana kompensasi.

“Jika UUD 45 dijalankan secara utuh, maka peran gubernur akan ditempatkan sebagai penjaga kedaulatan ekonomi daerah, bukan sekadar pelaksana urusan pusat,” katanya.

Solusi: Redesign Sistem Tambang Berbasis UUD 45

Haidar Alwi mengusulkan enam langkah konkret untuk membenahi tata kelola tambang nasional agar selaras dengan konstitusi:

1. Revisi UU Minerba dan UU Perizinan Usaha untuk mengembalikan otoritas daerah, terutama dalam hal pengawasan dan pengendalian lingkungan.

2. Pajak tambang harus dikenakan di hilir, bukan hulu, agar nilai tambah industri ikut dinikmati oleh daerah penghasil.

3. NPWP perusahaan tambang besar wajib terdaftar di lokasi operasional utama, bukan di Jakarta.

4. Pembentukan Koperasi Daerah Sumber Daya (KDSD), dengan saham wajib bagi masyarakat lokal dalam setiap proyek tambang.

5. Dana Konstitusional Keadilan Sumber Daya (DK2SD) sebesar 5 persen dari nilai ekspor hasil tambang dialokasikan langsung untuk daerah.

6. Lembaga audit sosial independen di tingkat provinsi, untuk memantau dampak dan akuntabilitas setiap proyek ekstraktif.

Haidar Alwi menambahkan bahwa penyelesaian persoalan tidak cukup melalui pendekatan teknokratik, tapi harus ditopang dengan kesadaran konstitusional.

“UUD 45 tidak sekadar memandatkan pengelolaan sumber daya, tapi juga menuntut keberpihakan pada rakyat yang terdampak langsung. Mereka bukan hanya pihak yang harus dilindungi, tapi harus dilibatkan,” ujar Haidar.

Haidar Alwi mengajak semua pihak, eksekutif, legislatif, dan masyarakat sipil, untuk bersamasama menata ulang sistem tambang nasional, agar lebih manusiawi, adil, dan sesuai semangat konstitusi.

“Jangan sampai kita terus membiarkan rakyat daerah tambang hidup dalam ketimpangan, sementara kekayaannya dibawa keluar. Kalau kita masih percaya pada UUD 45, maka inilah saatnya menegakkannya dengan sungguhsungguh,” pungkas Haidar Alwi.

Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid blakblakan dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR RI beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, Sulawesi Tengah hancurhancuran. 

Ia menegaskan bahwa meskipun Sulteng menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar, rakyatnya tidak merasakan hasil dari eksploitasi tambang

Anwar menegaskan bahwa meskipun sektor pertambangan menyumbang devisa yang signifikan bagi negara, rakyat Sulawesi Tengah tidak merasakan manfaat yang sebanding.

"Negeri kami itu hancurhancuran, Pak. Tambang di manamana. Tapi rakyat kami tidak menikmati hasilnya," ungkap Anwar dengan nada penuh keprihatinan. 

“Negeri kami akan menjadi negeri hantu,” katanya. 

Ia menjelaskan presiden menyampaikan, ada Rp570 triliun pajak dari nikel. 

“Sulteng adalah penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Kawasan itu nggak bisa diapaapai semua kendaraan bebas,” katanya. 

Anwar juga menyoroti adanya ketimpangan dalam pengelolaan industri tambang, di mana otoritas pemerintah daerah sering kali dilemahkan oleh kepentingan industri besar. 

"Gubernur tidak bisa masuk, Pak. Para pengusaha itu bilang ini kawasan industri spesial. Enggak boleh. Semua berdalih atas izin UndangUndang Usaha Industri," jelasnya

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.