Pengalaman Dijambret
Irfani Rahman August 04, 2025 08:33 AM

Mujiburrahman

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

BANJARMASINPOST.CO.ID, JAKARTA- Jumat, 25 Juli 2025. Usai Salat Subuh, sekitar jam 05.30, saya bergegas keluar kamar hotel, lalu check out. Saya ingin segera ke Bandara Soekarno Hatta. Tak seperti biasanya, saat itu tak ada taksi yang menunggu penumpang di sekitar hotel. “Apakah perlu saya bantu memesan taksi pak,” tanya resepsionis hotel. “Oh tidak, saya buru-buru. Saya coba cari sendiri,” kataku.

Saya pun keluar hotel, menuju jalan raya. Di tepi jalan, saya melambai-lambaikan tangan ke tiap taksi yang lewat. Ternyata tak ada yang mau berhenti karena sudah berisi penumpang. Saya mulai gugup.

Penerbangan saya ke Pontianak terjadwal jam 07.00, yang berarti akan dipanggil masuk pesawat jam 06.30. Pada saat itu muncul pikiran untuk memesan taksi secara daring. Saya ambil ponsel dari saku celana.

Saat asyik mencari aplikasinya, tanpa saya sadari, tiba-tiba secepat kilat dua orang bersepeda motor datang dan merenggut ponsel saya. Saya terkejut dan sempat berteriak “Hei” sambil melihat wajah penjambret yang dibonceng temannya. Dia tampak masih muda. Kira-kira belasan tahun saja.

Saya tertegun dan tak tahu harus berbuat apa. Tepi jalan tempat saya berdiri masih sepi. Namun ada seorang ibu yang melihat kejadian itu. “Aduh kasian Bapak. Di Jakarta ini, tak boleh pegang ponsel di tepi jalan. Rentan dijambret,” katanya dengan empati. “Iya bu, saya tidak tau,” kataku.

Saya berpikir sejenak, apa yang mesti dilakukan. Saya putuskan untuk kembali ke hotel, siapa tahu orang hotel bisa membantu saya. Saat berjalan gontai, tiba-tiba sebuah taksi lewat. Saya langsung melambaikan tangan. Taksi itu berhenti. Saya masuk. “Mau ke mana Pak?” tanya sopir. Saya diam sebentar. “Kita ke bandara pak. Saya baru saja dijambret orang. Ponsel saya diambil,” kataku.

Sopir taksi itu bertanya lagi, “Jam berapa pesawat Bapak?” “Ini sudah mepet, jam 07.00.” “Aman pak. Kita masih sempat,” katanya santai. Kami pun berbincang di mobil sepanjang jalan. Menurut sopir taksi itu, andai saya melakukan perlawanan, boleh jadi akibatnya lebih fatal. Kadangkala penjambret menggunakan senjata tajam.

“Sebenarnya ponsel saya itu sudah tua. Sudah saya pakai lima atau enam tahun. Baterainya juga sudah lemah. Memang sudah saatnya diganti. Yang saya khawatirkan hanya data pribadi saya di dalamnya. Untungnya, saya tidak menggunakan aplikasi bank di ponsel itu. Jadi, soal uang, saya aman. Paling yang hilang, nomor-nomor kontak,” kataku.

Sopir taksi ini memang profesional. Sambil ngobrol, mobilnya meluncur cepat. Sekitar 30 menit, kami sudah memasuki wilayah bandara. Tapi, bagaimana saya bisa masuk, sementara tiket saya ada di ponsel? Pak sopir memberi solusi. “Bapak akan saya antar ke kantor layanan Citilink, dekat dengan pintu masuk check in. Di sana Bapak melapor,” katanya. Begitulah, saya pun melapor. Saya serahkan KTP. Petugas mencari kode booking saya, lalu memberikannya ke saya.

“Bapak langsung cetak di mesin depan itu, untuk Boarding Pass. Waktu Bapak tinggal lima menit,” katanya. Saya bergegas menuju mesin dan check in. Boarding Pass saya keluar. Saya akhirnya melepas nafas lega.

Saya terus masuk menuju ruang keberangkatan. Saya bergabung di antrean panjang pemeriksaan keamanan. Satu per satu penumpang diperiksa dan dipindai, hingga giliran saya. Setelah melewati pemeriksaan, waktu tersisa sekitar 10 menit sebelum boarding. Saya membuka laptop, mencoba terhubung ke internet gratis di bandara.

Ternyata berhasil! Saya bisa membuka e-mail, dan mencatat kode booking untuk tiket lanjutan penerbangan saya dari Pontianak ke Sintang. Saya juga membuka WhatsApp. Ternyata juga bisa! Saya langsung mengirim pesan ke istri, agar mengurus pemblokiran nomor saya, dan memberi tahu kawan-kawan agar jangan sampai ada penipuan atas nama saya. Istri saya menjawab, memastikan akan bertindak. Kini saya lebih lega. Saya lalu naik pesawat.

Di perjalanan, saya merenung. Dalam waktu singkat dan menegangkan, banyak hal terjadi, namun akhirnya semua bisa diatasi. Membayangkan wajah anak muda penjambret itu, saya tidak marah, tetapi kasihan. Apakah anak seusia itu mau menjambret jika kebutuhan dasarnya seperti sandang, papan, pangan, pendidikan, dan kesehatan, sudah terpenuhi? Hampir bisa dipastikan, dia itu anak miskin.

Ponsel tua saya itu, mungkin bisa membantunya untuk makan beberapa hari. Setelah itu, dia harus menjambret lagi. Dia adalah pelaku kejahatan sekaligus korban. Dia korban ketimpangan, antara lain akibat korupsi di negeri ini yang jumlahnya berjuta lipat dari harga ponsel yang dicurinya.

Saya juga introspeksi. Mengapa peristiwa ini terjadi pada saya? Secara teknis, ketika bepergian saya hampir tidak pernah ditemani asisten, antara lain untuk penghematan. Penjambretan itu mungkin salah satu risikonya. Selain itu, selama ini saya sering berpidato bahwa ponsel itu adalah alat, bukan tuan kita. Jika kita menjadikannya tuan, maka ia akan menjadi berhala.

Berhala adalah sesuatu yang diciptakan manusia, kemudian manusia tunduk kepadanya. Kejadian ini mengajarkan pada saya bahwa kita memang sangat tergantung pada ponsel. Namun, karena difungsikan sebagai alat, kita bisa menggantinya dengan yang lain. Dalam kejadian ini, saya menggantinya dengan laptop.

Pengalaman ini juga membuktikan bahwa, apa yang kita miliki, cepat atau lambat, akan pergi. Karena itu, apa yang kita miliki, jangan sampai memiliki kita. Meletakkan nilai diri kita pada apa yang kita miliki sama dengan berpegang pada dahan yang rapuh.

Nilai diri kita yang sejati terletak pada hati kita dan perbuatan kita. Hati yang baik, melahirkan perbuatan yang baik, dan sebaliknya. Itulah diri kita yang sejati, yang tak bisa dicuri oleh siapapun, dan akan kita bawa sampai mat! (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.