Fenomena Rohana dan Rojali Marak di BTC Pangkalpinang, Cermin Daya Beli Masyarakat Melemah
M Zulkodri August 05, 2025 06:30 AM

BANGKAPOS.COM--Ratusan pengunjung tampak berlalu-lalang di pusat perbelanjaan modern Bangka Trade Center (BTC) Pangkalpinang, Senin (28/7/2025).

Namun, meski ramai, mayoritas pengunjung hanya berjalan-jalan tanpa membawa kantong belanja.

Fenomena ini dikenal dengan istilah “Rohana” (Rombongan Hanya Nanya) dan “Rojali” (Rombongan Jarang Beli), yang tengah viral di media sosial.

Istilah ini merujuk pada pengunjung yang datang ke mal hanya untuk melihat-lihat atau sekadar bertanya, tanpa melakukan transaksi pembelian.

“Lihat-lihat aja sih, sambil ngisi waktu. BTC enak, adem dan ramai. Harganya memang lebih mahal dari online, tapi enggak jauh banget,” ujar Mesie (19), mahasiswa Universitas Bangka Belitung, saat ditemui bersama tiga rekannya.

Senada dengan Mesie, Selvi (20) mengatakan dirinya sering datang ke BTC hanya untuk sekadar jalan-jalan atau bersantai sambil makan bersama teman.

“Ekonomi sekarang lagi sulit, jadi memang enggak banyak belanja. Tapi kalau momen besar seperti Lebaran, kami biasanya beli juga,” ungkapnya.

Daya Beli Melemah

Fenomena Rohana dan Rojali juga dirasakan langsung oleh para pedagang di BTC.

Liana, pedagang pakaian bayi dan anak-anak, mengaku penjualan terus menurun sejak kasus korupsi timah senilai Rp271 triliun mencuat ke publik.

“Sekarang banyak yang cuma lihat-lihat atau tanya-tanya. Lebih sepi dari waktu COVID-19,” ujar Liana.

Meski demikian, Liana tetap berusaha bersikap ramah dan positif.

“Enggak apa-apa, yang penting masih ada yang datang. Rezeki sudah ada yang atur, tugas kami melayani dengan baik,” tambahnya.

Hal serupa dirasakan Yuri, pedagang alat mengaji dan busana muslim.

Ia menyebut keramaian hanya terasa saat libur panjang atau menjelang hari besar keagamaan.

“Sekarang banyak yang cuma jalan-jalan. Tapi kalau ada yang cocok, bisa langsung beli juga. Jadi tetap semangat saja,” katanya.

Penjual Makanan Lebih Stabil

Berbeda dengan pedagang pakaian, Siti penjual camilan seperti sosis dan makanan ringan mengaku usahanya masih cukup stabil.

“Kalau makanan cepat saji kan murah, jadi orang tetap beli. Apalagi kalau hari libur, lumayan ramai,” ujarnya.

Menurut Siti, fenomena Rohana dan Rojali tidak terlalu berdampak pada dagangannya.

Fenomena Lama, Tapi Kini Lebih Terasa

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menyebut fenomena Rohana dan Rojali bukanlah hal baru, namun intensitasnya meningkat pasca pandemi.

“Sudah ada sejak dulu, tapi kini makin terasa karena daya beli belum pulih, terutama di kalangan menengah ke bawah,” ujarnya dikutip Kompas.com.

Alphonzus menegaskan bahwa fenomena ini belum mengguncang sektor pusat perbelanjaan secara keseluruhan, namun memperingatkan efek domino bila daya beli tak segera membaik.

Para pengelola pusat perbelanjaan kini berlomba menggelar promo untuk menarik minat belanja masyarakat, terutama menjelang Natal dan Tahun Baru.

Pemerintah Anggap Wajar

Menteri Perdagangan Budi Santoso menilai fenomena Rohana dan Rojali adalah hal wajar dalam pola konsumsi masyarakat modern.

“Itu biasa saja. Orang bisa pilih belanja online atau langsung ke toko. Banyak juga yang datang hanya untuk bandingkan barang sebelum beli online,” jelasnya.

Menurutnya, konsumen ingin memastikan kualitas barang asli sebelum membeli, sehingga mengecek langsung di toko merupakan bagian dari strategi belanja mereka.

BPS Klaim Daya Beli Cenderung Stabil

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat daya beli masyarakat selama tahun 2024 hingga 2025 cenderung stabil atau terjaga. Meski terjadi inflasi dan deflasi dalam rentang waktu itu, dan mempengaruhi daya beli masyarakat, BPS menilai perlu dilihat lebih dalam kelompok pengeluaran mana saja yang mengalami inflasi atau deflasi.

“Dan selama inflasi berada pada rentang target yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, maka seyogyanya daya beli masyarakat akan terjaga atau stabil,” tulis Kepala BPS Babel, Toto H Silitonga dalam jawaban tertulisnya kepada Bangka Pos, Rabu (30/7).

Toto menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi inflasi atau deflasi yang berpengaruh pada daya beli masyarakat di Babel. Pertama, faktor musiman khususnya cuaca. Sebagai provinsi kepulauan, beberapa kelompok pengeluaran khususnya makanan sangat dipengaruhi oleh faktor musim.

“Misalnya saat gelombang tinggi harga komoditas laut akan cenderung lebih mahal. Saat musim hujan/curah hujan tinggi, harga sayuran hijau akan naik karena banyak petani gagal panen. Saat musim panen harga beras akan turun dan lain sebagainya,” tuturnya

Kedua, momen Hari Besar Keagamaan. Toto mengatakan adat istiadat dan budaya Babel yang unik menyebabkan banyaknya momen peringatan seperti Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, Cengbeng, Maulid, 1 Muharam, Sembahyang Kubur, Ruahan dan momen lainnya yang sangat mempengaruhi konsumsi masyarakat.

Ketiga, tahun ajaran baru dan musim kelulusan atau ujian. “Tahun ajaran baru akan mempengaruhi kelompok pengeluaran pada kelompok pendidikan seperti pengeluaran untuk les, pembelian seragam dan perlengkapan sekolah,” kata Toto.

Keempat, kebijakan Pemerintah. Adanya kebijakan pemerintah seperti penyesuaian tarif BBM, tarif Listrik, Transportasi khususnya angkutan udara sangat berpengaruh pada daya beli dan konsumsi masyarakat.

Kelima, Toto menyebut kondisi perekonomian baik lokal maupun global akan mempengaruhi daya beli dan pola konsumsi masyarakat.

Dengan tren inflasi atau deflasi yang menggambarkan daya beli masyarakat Babel cenderung stabil atau terjaga, Toto menyebut perlu studi atau penelitian khusus agar dapat menyimpulkan secara pasti apakah ada korelasi antara penurunan daya beli dan aktifitas berbelanja Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) di masyarakat Babel.

Dia hanya memastikan pihaknya telah melaksanakan tugas untuk memotret kondisi lapangan untuk melihat perubahan harga barang dan jasa pada periode tertentu di masyarakat.

Sebelumnya, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menekankan bahwa perilaku seperti Rojali belum tentu mencerminkan kemiskinan secara langsung. Namun, menurutnya, fenomena Rojali dan Rohana adalah sinyal tekanan ekonomi, terutama yang dirasakan oleh kelompok masyarakat rentan.

“Fenomena Rojali memang belum tentu menunjukkan kemiskinan, tapi tetap relevan sebagai gejala sosial. Ini bisa menandakan adanya tekanan ekonomi di lapisan tertentu,” ujar Ateng dilansir Kompas.com, Sabtu (26/7).

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, BPS mencatat bahwa kelompok masyarakat dengan pengeluaran tinggi pun kini mulai menahan konsumsi.

Namun, Ateng menjelaskan, penurunan konsumsi di kelompok atas belum berimbas langsung pada angka kemiskinan nasional karena kelompok ini tidak masuk dalam kategori rentan.

“Memang ada kecenderungan menahan belanja di kelompok atas. Tapi ini tidak serta-merta mengubah statistik kemiskinan nasional,” imbuhnya.

Menurut laporan BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2025 tercatat 23,85 juta orang, atau setara 8,47 persen dari total penduduk. Angka ini turun 200 ribu orang dibandingkan September 2024. Namun, tren berbeda justru muncul di wilayah perkotaan. (x1/kompas.com)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.