TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai Presiden RI Prabowo Subianto memakai perspektif politik dalam pemberian abolisi kepada Mantan Menteri Perdagangan RI (Mendag) Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dan amnesti untuk eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.
Baik Hasto Kristiyanto maupun Tom Lembong sama-sama terjerat kasus korupsi dan hal ini di luar lazimnya pemberian amnesti dan abolisi.
Untuk kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, Fickar menyebut ini menjadi kali pertama dalam sejarah Indonesia, presiden memberikan abolisi dan amnesti untuk terpidana kasus korupsi.
Prabowo memberikan abolisi kepada Tom Lembong melalui Surat Presiden Nomor R-43/Pres/07/2025 tertanggal 30 Juli 2025.
Abolisi ini menghentikan seluruh proses hukum yang sedang berjalan terhadap Tom Lembong, yang divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula kristal mentah pada 18 Juli 2025.
Dengan abolisi, penuntutan dianggap tidak ada, sehingga proses banding yang sedang berjalan dihentikan.
Sementara, Prabowo memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto melalui Surat Presiden Nomor R-42/Pres/07/2025 tertanggal 30 Juli 2025.
Hasto Kristiyanto telah divonis 3,5 tahun penjara pada 25 Juli 2025 terkait kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR untuk Harun Masiku.
Amnesti menghapus seluruh akibat hukum pidana, sehingga Hasto tidak perlu menjalani hukuman atau banding, meskipun status hukum vonis tetap tercatat.
Permohonan amnesti Hasto Kristiyanto dan abolisi Tom Lembong ini telah disetujui DPR pada 31 Juli 2025 dan diresmikan melalui Keputusan Presiden (Keppres) pada 1 Agustus 2025.
Pemberian abolisi Tom Lembong dan amnesti Hasto Kristiyanto dianggap sebagai bagian dari rekonsiliasi politik menjelang HUT RI ke-80.
Abdul Fickar Hadjar menyebut, Presiden RI Prabowo Subianto menggunakan kacamata politik dalam pertimbangan untuk memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong.
Hal ini dia sampaikan saat menjadi narasumber dalam program Tribunnews On Focus yang diunggah di kanal YouTube Tribunnews, Senin (4/8/2025).
Mulanya, Fickar menyebut bahwa amnesti dan abolisi hanya digunakan pada peristiwa-peristiwa politik di masa lalu.
Dalam konteks sejarah Indonesia, amnesti dan abolisi diberikan untuk terpidana kasus makar atau pemberontakan terhadap pemerintah, tuduhan subversi (aktivitas yang dianggap mengancam ideologi negara), atau kasus terkait kebebasan berpendapat (terpidana UU ITE).
Pemberian amnesti dan abolisi bertujuan untuk mendukung rekonsiliasi nasional, menjaga stabilitas politik, atau memenuhi tujuan kemanusiaan.
"Jadi ada kejadian yang berkaitan dengan kegiatan politik. Umpamanya, amnesti atau abolisi yang umumnya diberikan kepada bekas pemberontak, GAM (Gerakan Aceh Merdeka), atau bekas pemberontak di Papua," ujar Fickar.
"Karena di situ memang aspek politisnya lebih kental, perbuatan yang menyebabkan mereka dihukum itu lebih bersifat politis. Pemberontakan itu pasti politis," jelasnya.
Menilik dari sejarah ini, Fickar justru menyebut, ada dimensi atau unsur politis yang dilihat Prabowo dalam konteks kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, yakni dugaan adanya korupsi dengan motif pelemahan lawan politik dan kriminalisasi.
Sehingga, kata Fickar, Prabowo memutuskan untuk memberikan amnesti dan abolisi karena kasus yang menjerat Hasto dan Tom cenderung diwarnai politik.
"Nah, dalam konteks Hasto dan Tom Lembong, menurut saya, kacamata yang digunakan oleh Presiden itu [bersifat politis, red.] gitu ya," kata Fickar.
"Walaupun dua-duanya tindak pidananya korupsi. Kejahatan korupsi kan belum pernah ada yang diamnesti atau abolisi. Karena itu, tekanan atau penggunaan dua hak prerogatif presiden ini lebih pada kejadian-kejadian yang bersifat politis," tambahnya.
"Menurut analisa saya, ketika Presiden sebagai kepala negara menggunakan lembaga amnesti dan lembaga abolisi ini terhadap Hasto dan Tom Lembong, maka sebenarnya dimensi politisnya yang dia lihat, gitu," imbuhnya.
Selanjutnya, Fickar menjelaskan bahwa pertimbangan abolisi kepada Tom Lembong adalah karena adanya kriminalisasi.
Fickar menyebut, Tom Lembong tidak memiliki mens rea sehingga seharusnya diputus ontslag atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Namun, karena tetap dijatuhi vonis, Tom Lembong diberi abolisi oleh Prabowo karena tidak melakukan perbuatan kriminal.
"Bisa jadi, menurut Pak Presiden, Tom Lembong itu tidak melakukan kesalahan yang bersifat kriminal sebenarnya. Kalau lihat persidangannya, lebih pada kriminalisasi terhadap kebijakannya," ujar Fickar.
"Kasus Tom Lembong itu kriminalisasi terhadap kebijakan karena ternyata di dalam proses persidangan tidak ada bukti yang mengaitkan bahwa dengan kebijakan itu Tom Lembong memperkaya diri," imbuhnya.
"Karena, di dalam putusan pengadilan negeri, disebut dia tidak ada mens rea atau niat jahat ketika dia mengeluarkan kebijakan itu. Kebijakan itu menguntungkan sebagian orang," tambahnya.
"Tapi. kemudian hakimnya tetap menghukum. Padahal sebelum putusan, saya bilang ini pasti lepas, ini pasti ontslag. Perbuatannya dianggap ada, tapi bukan tindak pidana gitu. Mestinya, itu yang dikenakan kepada Tom Lembong. Tapi, ternyata tetap dihukum, kemudian dia mengajukan banding. Jadi Tom Lembong itu dianggap tidak melakukan perbuatan kriminal sehingga dia tidak pantas dihukum. Nah, karena itu dia diberikan abolisi," papar Fickar.
Selanjutnya, Fickar menjelaskan, Prabowo kemungkinan memandang tindakan suap yang dilakukan Hasto Kristiyanto dalam membantu Harun Masiku bersifat politis, bukan murni korupsi sebagai tindakan kriminal.
Apalagi, umum diketahui bahwa dibutuhkan biaya yang besar untuk menjadi anggota DPR.
Namun, karena Hasto tidak langsung mengajukan banding dan dianggap menerima putusan, presiden mungkin melihat kasusnya sudah berkekuatan hukum, sehingga diberikan amnesti.
"Terhadap Hasto, ada dua tuduhan ya. Satu korupsi, satunya menghalang-halangi penyidikan. Yang satu tidak terbukti, tapi yang terbukti adalah korupsinya, yaitu membantu Harun Masiku yang ingin jadi anggota DPR," kata Fickar.
"Mungkin, Presiden melihat begini, kan sudah menjadi rahasia umum, tidak ada orang yang berkampanye atau ikut partai politik, ingin menjadi anggota DPR, tidak mengeluarkan biaya," jelasnya.
"Nah, karena itu mungkin dianggap perbuatannya lebih bersifat politis," tambahnya.
"Tetapi karena Hasto tidak melakukan upaya hukum ya, begitu diputus belum melakukan banding, walaupun masih pikir-pikir. Kemudian, mungkin itu dilihat oleh stafnya Pak Presiden sebagai tindakan menerima putusan gitu. Jadi seolah-olah dianggap putusannya Hasto itu sudah mempunyai kekuatan hukum untuk dijalankan," tandasnya.
(Rizki A.)