Di Sini Sejarah Masih Terbelenggu
Jafar Suryomenggolo August 06, 2025 08:34 PM

“Maaf, pintu itu tidak boleh dibuka!” tegas petugas perpustakaan. Mengapa begitu? Banyak bahan sejarah kita yang masih dianggap “terlarang” dan karenanya, tidak dapat diakses masyarakat luas.

Di tengah keramaian jalan Malioboro yang sesak pedagang dan turis, terdapat Jogja Library Center (JLC) yang menawarkan ruang tenang nan teduh bagi masyarakat umum guna menelusuri dan membaca bahan-bahan sejarah.

JLC menempati gedung dua lantai yang awalnya merupakan firma percetakan dan penerbitan ternama di Yogyakarta, yaitu Drukkerij & Uitgeversfirma v/h H.Buning—atau Firma Percetakan dan Penerbitan, dahulu H. Buning. Firma ini kemudian mengalami merger-akuisisi dengan Kolff & Co. yang berpusat di Batavia menjadi N.V. Boekhandel en Drukkerij Kolff-Buning pada 1934.

Perusahaan tersebut mencetak dan menerbitkan berbagai barang cetakan, brosur, dan buku dalam bahasa Melayu, Belanda, dan Jawa. Contohnya, sebelum merger-akuisisi, pada 1931 Firma Buning pernah mencetak brosur 46 halaman yang disusun Ki Hadjar Dewantara berisi translasi surat-surat Pakualaman (dari aksara Hanacaraka ke aksara Latin): Beoefening van letteren en kunst in het Pakoe-Alamsche geslacht (Sastra dan Budaya Pakualaman). Setelah merger-akuisisi, pada 1935 PT Kolff-Buning pernah mencetak brosur 16 halaman yang disusun oleh Ki Hadjar Dewantara tentang ajaran Taman Siswa, dalam bahasa Belanda: Een en ander over “Nationaal Onderwijs” en het Instituut “Taman Siswa” te Jogjakarta (Penjelasan mengenai “Pendidikan Nasional” dan Lembaga “Taman Siswa” di Yogyakarta).

Pada masa penjajahan tentara Jepang, gedung ini diambil alih dan dijadikan kantor berita Domei, yang tugas utamanya menyebarkan berita-berita (yang telah disensor) dan propanganda ala ideologi perang Asia Timur Raya. Setelah proklamasi kemerdekaan 1945, dijadikan percetakan negara di bawah Kementerian Penerangan. Pada 1952, dijadikan perpustakaan negara.

Saya mengunjungi tempat ini untuk pertama kalinya pada Juli 2004. Saat itu, resminya bernama Perpustakaan Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tapi lebih dikenal umum sebagai Perpustakaan Nasional Yogyakarta. Maklum, papan nama “Perpustakaan Nasional” masih melekat di tampak muka gedung, sejak ditetapkan pada 1978.

Saat 2004 itu, suasana dalam gedung masih terlihat suram dibandingkan riuhnya pedagang emperan di depannya. Juga, tidak ada pengunjung selain saya seorang. Setelah memeriksa daftar koleksi surat kabar dan majalah, saya melihat ada sebuah kabin kayu yang cukup besar di tengah ruangan. Pintu kabin terkunci gembok. Petugas perpustakaan menegaskan pintu itu tidak boleh dibuka. Melihat raut keheranan di muka saya, ia menerangkan bahwa di dalam kabin itu ada “bahan-bahan terlarang”.

Kabin tersebut menyimpan (menahan?) berbagai barang cetakan (koran, buku, buku anak-anak, dan sebagainya) yang dianggap “komunis”, “Marxis”, atau “kiri”. Semuanya dikumpulkan setelah Oktober 1965, diikat dengan tali rafia dan ditumpuk sembarangan. Lama terbengkalai di dalam kabin yang sempit dan lembab, kondisi semua bahan tersebut sangat memprihatinkan: lapuk dan berbau. Bahkan, kabin itu telah menjadi rumah yang ideal bagi jamur, rayap, kecoak, dan tikus yang kotorannya berserakan di atas dan bawah buku.

Kemudian hari, saya menemukan bahwa foto kabin terkunci tersebut dijadikan sampul depan buku Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (diterjemahkan ke bahasa Inggris: Social Science and Power in Indonesia), sebuah bunga-rampai yang disunting oleh Vedi Hadiz dan Daniel Dhakidae (2005). Analoginya cukup jelas bahwa kabin terkunci tersebut menggambarkan berbagai kendala dan tantangan dalam membangun dan mengembangkan kajian ilmu sosial kritis di bawah pengawasan otoriter ideologi dominan ala Orde Baru (1965-1998). Bila bahan-bahan sejarah masih terbelenggu, bagaimana ilmuwan kita akan mampu menghasilkan karya-karya yang mendobrak paham kolot dan memberikan pemahaman yang utuh?

Usai 2004, perpustakaan mengalami renovasi selama setahun sehingga gedung tersebut kemudian ditetapkan sebagai Cagar Budaya pada 2007 dan menjadi Jogja Library Center pada 2010. Kini, perpustakaan dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti mini theater, ruang baca, dan kedai internet. Bagian dalam gedung menjadi terang dan terlihat modern. Juga, ada satu pojok “Kyoto Book Corner” sebagai bagian dari program kerjasama antara Yogyakarta dan Kyoto sebagai kota budaya. Sekarang, pengunjung lebih banyak daripada saat 2004 lalu, dan didominasi orang muda.

Sebagai bagian dari proyek renovasi tersebut, kabin kayu dibersihkan dan beberapa bahan dipindahkan di dalam wadah plastik. Bagian dalamnya menjadi terlihat lebih bersih. Namun, hingga awal Agustus 2025, kabin tersebut masih terkunci dan pengunjung perpustakaan tidak diizinkan untuk membukanya, apalagi memeriksa dan membaca bahan-bahan yang tersimpan di dalamnya. Apa gunanya renovasi dan tampak modern jika bahan-bahan sejarah masih terbelenggu aturan kuno sejak 1965, selama 60 tahun ini?

Bahan sejarah dan arsip yang terbelenggu juga masih kita temukan di Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta: masih “terlarang”, berkas tidak dapat ditemukan meski terdaftar di katalog, map kosong tanpa arsip, dan sebagainya. Ironisnya, petugas perpustakaan sebagai pelayan masyarakat yang bertugas merawat bahan-bahan sejarah malah mengawasi pembatasan dan pelarangan sehingga pada akhirnya, masyarakat tidak dapat memeriksa dan membaca bahan-bahan tersebut. Dan pada saat yang bersamaan, bahan-bahan tersebut menjadi terbelengkalai, lapuk dimakan zaman dan menyusut menghilang dari ingatan kita bersama.

Kondisi di Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara lain yang telah membuka arsip dan berbagai bahan sejarah yang dulu dianggap“terlarang”. Misalnya, di Brazil dan Chile, dua negara di Amerika Selatan yang juga mengalami kudeta militer: Brazil pada 1964 dan Chile pada 1973.

Sejak 2004, pemerintah Brazil telah menegaskan bahwa masyarakat luas berhak membaca semua arsip tanpa ada larangan. Pada 2007, Mahkamah Agung di Brazil telah memerintahkan militer negara itu untuk membuka semua arsip militer sepanjang masa diktator militer 1964-1985. Lebih lanjut, pada 2013 semua arsip siap didigitalisasi sehingga bisa bebas diakses masyarakat luas. Bahkan, pemerintah Brazil mendesak pemerintah Amerika Serikat untuk juga membuka arsip-arsip negara yang terkait dukungan Amerika atas rejim diktator di Brazil.

Sejak 1998 Chile membuka arsip-arsip DINA (Dirección de Inteligencia Nacional / Badan Intelijen Nasional) yang pada masa diktator militer Augusto Pinochet (1973-1990) melakukan berbagai pelanggaran HAM atas nama keamanan nasional. Tak lama kemudian, pemerintah Amerika Serikat menyusul dengan membuka beberapa arsip negara yang terkait Chile. Lebih lanjut, pada 2009, didirikan Museo de la Memoria y los Derechos Humanos (Museum Memori dan Hak-hak Azasi Manusia) yang menyimpan semua bahan dan arsip tentang pelanggaran HAM dan kekerasan negara yang terjadi pada masa diktator militer itu.

Indonesia perlu belajar dari Brazil dan Chile. Kudeta militer di Chile pada 1973 dinamakan Operación Yakarta (Operasi Jakarta) karena meniru kudeta militer pada 1965 di Jakarta. Namun, Chile lebih dulu membuka bahan dan arsip terlarang daripada Indonesia. Kini Indonesia perlu meniru langkah-langkah pembebasan bahan dan arsip terlarang kita ala Chile: El método de Santiago.

Jika kita masih tidak dapat mengakses bebas bahan-bahan sejarah, apa gunanya Kementerian Kebudayaan menyusun buku besar Sejarah Indonesiayang digadang-gadang akan kelar pada 17 Agustus 2025 ini?

Jafar Suryomenggolo, penulis buku Serikat Buruh 1945-1948 (2024) dan Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita (2022).

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.