Wacana Pembangunan Masif Pulau Padar, Peneliti BRIN: Libatkan Masyarakat!
GH News August 09, 2025 08:10 PM
Jakarta -

PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) berencana membangun 619 fasilitas dan sarana prasarana (sarpras) wisata di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Rencana ini menuai banyak kontra dari berbagai kalangan.

Ragam kritikan pun datang meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan ini. Rentetan penolakan juga dilakukan oleh warga, aktivis hingga pengamat lingkungan.

Dikutip dari salah satu warga di TN Komodo, Alimudin, menilai pemerintah tidak adil. Dia menuding Kementerian Kehutanan hanya memberikan lahan sekitar 27 hektare untuk 2.000 warga di Desa Komodo. Sebaliknya, kata dia, perusahaan mendapatkan lahan sepuluh kali lebih luas.

"Bagaimana masyarakat tidak sakit hati. Ini kan ketidakadilan agraria yang dirasakan oleh masyarakat di kawasan ini," kata Alimudin, Minggu (3/8).

Alimudin mengisahkan bahwa masyarakat Komodo dulu memiliki perkebunan sentral di Loh Liang, Pulau Komodo. Namun, pemerintah memindahkan mereka untuk kepentingan konservasi di taman nasional. Salah satu pemindahan warga itu terjadi pada 2001. Ketika itu, otoritas merevisi aturan zonasi di Taman Nasional Komodo.

Sejak itu pula warga kehilangan akses untuk menangkap ikan. Imbasnya mata pencaharian mereka juga berubah, dari nelayan menjadi penyedia kapal wisata. Dalam studi yang dilakukan menunjukkan bahwa nelayan sulit bersaing dengan pemilik kapal wisata karena kapal yang mereka miliki dianggap tidak memenuhi standar keamana

Dalam kesempatan ini, salah satu peneliti BRIN, Destika Cahyana mengatakan selagi masih sesuai aturan, tidak ada maslah. Serta perlu sekali setiap kebijakan dan rencana melibatkan unsur sosial atau masyarakat setempat.

"Kalau secara status lahannya itu sudah sesuai aturan, itu sebetulnya no problem, mau dibangun vila juga ya sepanjang tidak merusak lingkungan dan habitat komodo. Itu yang pertama,"

"Kemudian yang kedua, tetap harus melibatkan masyarakat setempat. Karena seringkali sebetulnya persoalan sosial yang jadi problem itu," kata Destika saat dihubungi detikTravel, Jumat (8/8/2025).

Destika yang juga ahli tanah mengatakan bahwa penting sekali pembangunan memperhatikan keseimbangan. Jangan sampai nanti menjadi tanah terbuka yang berujungnya erosi dan membuat kerusakan.

"Nah, terus kalau dari segi tanah yang penting itu di saat pembangunan dibuat proporsi antara yang tetap hijau dengan bangunan, agar pemukiman itu tidak menjadi tanah terbuka. Sehingga entar kalau sudah terbuka terjadi erosi, terjadi macam-macam, entar merusak lingkungan, merusak ke lautnya," paparnya.

Selanjutnya, dia menyarankan pemerintah untuk melibatkan masyarakat secara formal. Bila dilakukan dengan benar, pembangunan ini bida membawa dampak positif bagi perekonomian.

"Kalau saran saya, keterlibatan masyarakat itu harus dibuat formal. Dibuat formal itu dengan misalnya sekarang kan ada koperasi merah putih, kemudian ada BUMDes kayak gitu kan. Justru itu sebenarnya sebuah peluang sebetulnya, karena kalau enggak dibangun juga itu kan kan Taman Nasional Komodo jadi pusat perhatian internasional juga kan? Kalau kita biarkan saja tidak ada benefitnya, sepanjang kita tetap menjaga semuanya dan melibatkan masyarakat," tutupnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.